Oleh: Arina Sayyidatus Syahidah (Aktivis Dakwah Muslimah)
Partisipasi pemilih muda, termasuk Gen Z, menjadi perhatian utama dalam berbagai ajang pemilu dan pilkada di Indonesia. Berdasarkan data yang dirilis oleh KPU Jawa Tengah, jumlah pemilih pemula dan muda mencapai 52 persen dari total pemilih di wilayah tersebut. Dalam Pilkada Serentak 2024, KPU Jateng menargetkan tingkat partisipasi sebesar 77,5 persen, lebih rendah dibandingkan tingkat partisipasi pada Pemilu Februari 2024 yang mencapai 82 persen. Melalui program seperti “Goes to Campus,” KPU berusaha meningkatkan kesadaran pemilih muda dengan menggelar berbagai acara, mulai dari sosialisasi, lomba debat, hingga konser musik. Menurut Akmaliyah, Kepala Divisi Sosialisasi KPU Jateng, besarnya jumlah pemilih muda membuat mereka menjadi kunci dalam menentukan pemimpin daerah. Namun, partisipasi pemilih muda ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti pengetahuan, kebutuhan ekonomi, dan perhatian calon terhadap isu-isu yang relevan dengan mereka, seperti pendidikan, lapangan kerja, dan isu lingkungan.
Di sisi lain, sejumlah kandidat pemilu mulai menyadari pentingnya mendekati Gen Z melalui platform yang mereka kenal. Ridwan Kamil, misalnya, menggunakan media sosial seperti TikTok untuk berkomunikasi lebih intens dengan generasi muda. Pendekatan ini terbukti efektif, sebagaimana terlihat dari hasil survei Litbang Kompas yang menunjukkan bahwa 40,6 persen Gen Z mendukung pasangan Ridwan Kamil-Suswono dalam kontestasi politik tertentu. Ridwan Kamil menyebut bahwa memahami cara “nongkrong” Gen Z, termasuk aktif di media sosial, adalah kunci membangun koneksi yang lebih baik dengan mereka.
Di Jawa Timur, calon gubernur Tri Rismaharini juga menunjukkan pendekatan yang unik terhadap Gen Z dengan menggandeng Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) untuk mengembangkan potensi mereka. Risma menceritakan pengalamannya membimbing anak muda yang dianggap “nakal,” seperti anak yang gemar ngebut di jalan. Dengan memberikan fasilitas berupa sirkuit balap, Risma berhasil mengubah potensi negatif menjadi prestasi yang positif, hingga anak tersebut menjadi pembalap internasional. Hal ini menunjukkan bahwa dengan arahan dan fasilitas yang tepat, Gen Z dapat berkembang secara signifikan.
Menjelang Pilkada 2024, fakta menunjukkan bahwa para calon kepala daerah semakin gencar mendekati Gen Z dengan berbagai strategi dan janji menarik. Gen Z, yang jumlahnya sangat signifikan dalam demografi pemilih, menjadi sasaran utama karena mereka dianggap sebagai kelompok yang dapat menentukan arah kemenangan. Pendekatan seperti program “Goes to Campus” yang dilakukan oleh KPU Jateng, keaktifan Ridwan Kamil di media sosial, hingga cerita inspiratif dari Tri Rismaharini menunjukkan upaya untuk meraih simpati generasi muda dengan menyesuaikan gaya komunikasi dan kebutuhan mereka. Namun, di balik janji dan retorika tersebut, perlu disadari bahwa pola semacam ini sering kali menjadi alat pragmatis dalam sistem demokrasi.
Dalam demokrasi yang diterapkan saat ini, suara Gen Z dianggap sebagai “aset politik” yang sangat dibutuhkan untuk memenangkan kontestasi pilkada. Para kandidat menawarkan berbagai program yang terlihat relevan, seperti pendidikan, lapangan kerja, dan isu lingkungan, demi menarik perhatian. Namun, berdasarkan pengalaman masa lalu, janji-janji ini sering kali hanya menjadi alat kampanye tanpa realisasi nyata pasca-kemenangan. Nasib generasi muda cenderung stagnan atau bahkan memburuk setelah pilkada usai, terutama jika kebijakan yang diambil tidak benar-benar menjawab kebutuhan mereka secara struktural. Gen Z harus memahami bahwa dalam demokrasi yang berorientasi pada kekuasaan, keberadaan mereka lebih sering dilihat sebagai “angka suara” daripada individu dengan aspirasi yang benar-benar didengar. Analisis ini juga diperkuat dengan realitas bahwa sistem demokrasi seringkali gagal menciptakan perubahan mendasar. Sebagai contoh, tingkat partisipasi pemilih muda yang tinggi pada Pemilu 2024 di Jateng tidak serta-merta menjamin perbaikan signifikan dalam kebijakan untuk generasi muda. Bahkan ketika pemilih muda mendominasi suara, hasilnya masih bergantung pada sejauh mana kandidat benar-benar berkomitmen terhadap janji kampanye mereka. Sistem demokrasi memberi ruang bagi kandidat untuk fokus memenangkan suara, tetapi sering kali tidak memiliki mekanisme kuat untuk memastikan janji tersebut terealisasi setelah terpilih.
Karena itu, Gen Z harus lebih kritis dan tidak mudah terbuai oleh retorika dan janji manis para kandidat. Generasi muda perlu mempertanyakan sejauh mana komitmen dan kapasitas calon dalam memenuhi kebutuhan mereka secara nyata, bukan hanya sekedar berbicara dalam kerangka “yang penting menang.” Selain itu, Gen Z juga harus memahami bahwa perbaikan sistemik tidak bisa sepenuhnya bergantung pada pilkada atau pergantian pemimpin. Dibutuhkan langkah yang lebih komprehensif untuk membawa perubahan yang berkelanjutan bagi generasi mereka. Dengan demikian, dalam menghadapi Pilkada 2024, Gen Z perlu bersikap cerdas dan berprinsip. Partisipasi mereka harus didasarkan pada kesadaran politik yang matang, bukan sekadar mengikuti arus atau terpesona oleh janji yang belum tentu terealisasi. Hanya dengan begitu, mereka dapat memanfaatkan momentum ini untuk menciptakan perubahan yang lebih berarti.
Dalam sistem sekuler demokrasi yang diterapkan saat ini, Gen Z lebih sering dipandang sebagai aset ekonomi daripada generasi yang harus dilayani kebutuhannya secara mendasar. Pendekatan yang dilakukan oleh para politisi dan kandidat dalam Pilkada 2024, seperti menyasar Gen Z dengan janji-janji pekerjaan, pendidikan, dan jaminan sosial, menunjukkan bagaimana kelompok ini dilihat semata sebagai modal politik dan ekonomi untuk menopang keberlangsungan sistem. Setelah suara mereka diraih, perhatian terhadap kesejahteraan mereka sering kali memudar, sebagaimana yang terjadi di masa-masa sebelumnya. Hal ini menjadi bukti nyata kegagalan sistem sekuler demokrasi dalam mengelola urusan generasi muda, karena sistem ini lebih berorientasi pada kepentingan jangka pendek daripada kesejahteraan jangka panjang.
Berbeda dengan sistem demokrasi sekuler, Islam memandang Gen Z, dan seluruh umat, sebagai amanah yang harus dikelola sesuai dengan syariat. Dalam sistem Islam, negara tidak hanya melihat generasi muda sebagai bagian dari statistik ekonomi atau suara pemilu, melainkan sebagai generasi penerus peradaban yang harus dipersiapkan dengan baik melalui pendidikan berbasis aqidah yang shahih, jaminan ekonomi yang adil, dan pemenuhan kebutuhan dasar sebagai hak setiap individu. Negara Islam, atau Khilafah, akan memastikan bahwa setiap kebijakan yang diterapkan bertujuan untuk memelihara kemaslahatan umat, termasuk Gen Z, sesuai dengan panduan syariat. Islam memandang pengelolaan urusan umat sebagai tanggung jawab negara yang terpusat pada penerapan hukum Allah secara menyeluruh (kaffah). Negara yang berasaskan akidah Islam akan memastikan bahwa pendidikan, pekerjaan, dan jaminan sosial bukan sekadar janji politik, tetapi kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemimpin sebagai pelayan umat. Dalam Islam, pemimpin memiliki tanggung jawab langsung kepada Allah SWT atas amanah yang diberikan kepadanya, sehingga kebijakan yang diambil selalu berorientasi pada kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan kelompok tertentu atau kapitalisasi sumber daya ekonomi.
Dengan memahami perbedaan mendasar ini, Gen Z harus menyadari bahwa kehidupan sejahtera tidak akan terwujud melalui sistem demokrasi sekuler yang hanya memperlakukan mereka sebagai alat untuk meraih kekuasaan. Sebaliknya, mereka membutuhkan negara yang berasaskan akidah Islam sebagai landasan utama, yang mampu mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan keberkahan melalui penerapan Islam secara menyeluruh. Hanya dengan tegaknya Khilafah, kehidupan umat, termasuk Gen Z, dapat dikelola dengan adil dan sesuai dengan fitrah manusia. Oleh karena itu, perjuangan untuk menegakkan sistem Islam bukan hanya tanggung jawab sebagian umat, tetapi menjadi keharusan bagi semua generasi, termasuk Gen Z, yang menginginkan perubahan nyata dan keberlanjutan kesejahteraan dalam kehidupan. Gen Z harus menjadi pelopor dalam memperjuangkan sistem ini agar mereka tidak hanya menjadi aset ekonomi, tetapi benar-benar dimuliakan sesuai dengan posisi mereka sebagai khalifah di muka bumi.
Sebaliknya, Islam kaffah memberikan jalan perjuangan yang hakiki. Dengan penerapan syariat secara menyeluruh, Islam memastikan seluruh aspek kehidupan diatur berdasarkan hukum Allah SWT yang adil dan sempurna. Sistem politik Islam tidak hanya menawarkan janji, tetapi memberikan kepastian bahwa seluruh kebutuhan umat, termasuk Gen Z, dipenuhi dengan landasan aqidah shahih. Dalam sistem ini, kepemimpinan berfungsi sebagai pelayan umat yang bertanggung jawab kepada Allah SWT, bukan sekadar alat untuk meraih kekuasaan. Gen Z memiliki tanggung jawab besar untuk memahami sistem Islam dan ikut serta dalam perjuangan menegakkannya. Ini adalah langkah nyata untuk keluar dari jebakan demokrasi yang selama ini membelenggu mereka. Dengan menjadi generasi yang berjuang untuk Islam kaffah, Gen Z dapat memastikan kehidupan mereka, dan umat secara keseluruhan, terarah pada keberkahan dan kesejahteraan yang hakiki. Sudah saatnya generasi ini memutar haluan dan memperjuangkan tegaknya sistem Islam sebagai solusi yang menyeluruh bagi permasalahan umat.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar