Pilkada : Mekanisme Melanggengkan Sistem Kufur


Oleh : Cita Asih Lestari

Pemilu lima tahunan terus berulang untuk memilih penguasa dan anggota dewan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Terbaru, pilpres dan pileg 2024 yang diselenggarakan Februari lalu dengan biaya fantastis tembus pada angka Rp38,2 triliun, menyisakan kekecewaan masyarakat karena dugaan kecurangan yang dilakukan, hingga terpilih capres yang dikehendaki oligarki. Tidak lama lagi, pilkada serentak untuk memilih penguasa daerah akan digelar pada 27 November 2024. Anggaran Pilkada Serentak 2024 ditaksir lebih dari Rp 41 triliun. Jumlah ini dihitung berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) per 8 Juli 2024. Angka ini bersumber dari besar anggaran yang telah disepakati pemerintah daerah (pemda) dalam naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) Pilkada 2024 masing-masing bersama KPU, Bawaslu, TNI, dan kepolisian setempat.

Hiruk pikuk pilkada tidak kalah seru dengan pilpres dan pileg. Masing-masing partai memperebutkan calon, atau sebaliknya, calon-calon penguasa berebut partai sebagai kendaraan politik menuju tampuk kekuasaan daerah. Calon-calon dari kalangan politisi, pengusaha, akademisi, tidak ketinggalan dari kalangan pesantren pun ikut memperebutkan kursi kekuasaan daerah berupa jabatan gubernur, bupati, ataupun wali kota. Pilpres, pileg, dan pilkada sebagai mekanisme suksesi kepemimpinan dalam sistem demokrasi meniscayakan perolehan suara terbesar untuk bisa mendapatkan kursi kepemimpinan (kekuasaan). Oleh karena itu, peran aktif rakyat dalam memberikan suara menjadi standar kesuksesan pemilu atau pilkada. Seperti halnya pemilu dalam memilih presiden dan anggota legislatif, pilkada juga diharapkan mampu memenuhi harapan rakyat untuk mendapatkan pemimpin yang adil dan amanah. Hanya saja, harapan rakyat tampaknya akan kembali pupus. Sebabnya, aroma politik kotor pilkada menjelang pencoblosan malah makin pekat. Hal itu tampak dari mobilisasi kades untuk memilih paslon tertentu, praktik suap, kecurangan, hingga mempermainkan agama dengan menjanjikan para pemilihnya masuk surga.


Kisruh Pilkada

Kekisruhan yang paling disorot media kali ini yakni mobilisasi kades. Mobilisasi kades untuk pemenangan memang kerap terjadi di setiap kontestasi. Namun pada November 2024 ini terlihat makin masif. Pada 23 Oktober 2024, tim Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) Semarang menggerebek sekitar 90-an kades yang sedang mengikuti pertemuan tertutup di hotel bintang lima di Kota Semarang. Acara yang berslogan “Satu Komando bersama Sampai Akhir” itu diduga kuat sebagai ajang mobilisasi kades dalam rangka memenangkan salah satu paslon. Pekan sebelumnya, 17 Oktober 2024, tim Bawaslu juga mendapati sekitar 200 kades dari Kabupaten Kendal yang sedang menggelar pertemuan di kawasan elite di Semarang. Pada 22 Oktober 2024, mobilisasi kades juga terjadi di Kabupaten Pemalang dan Tegal yang dilaksanakan di Hotel Grand Dian Pekalongan. Patut diduga kuat masih banyak pertemuan-pertemuan lain yang terkait dengan mobilisasi para kades. Belakangan, kades telah menjadi entitas yang mempunyai pengaruh dan daya tawar politik. Sebabnya, kades yang dipilih langsung oleh masyarakat pasti memiliki basis massa. Secara struktural kades memiliki bawahan mulai dari perangkat desa, ketua RW, dan ketua RT. Ia memegang kendali pemerintahan di tingkat akar rumput sebagai pelayan publik, pengambil keputusan, serta yang berkuasa menentukan anggaran desa.

Oleh karena itu, kades memiliki pengaruh yang signifikan untuk memengaruhi warganya agar memilih salah satu paslon. Kades adalah ujung tombak elite politik dalam memuluskan keinginannya. Bahkan kades kerap aktif mencari peluang mendekati paslon demi kompensasi atau akses kekuasaan. Lihatlah saat para kades berhasil mendorong perubahan UU 6/2014 tentang Desa menjadi UU 3/2024, yakni terkait dengan masa jabatan kades yang awalnya 6 tahun menjadi 8 tahun.Regulasi yang memagari kades agar tetap netral selama pemilu sebenarnya sudah jelas. Kades dilarang membuat keputusan yang menguntungkan atau merugikan salah satu paslon, sebagaimana termuat dalam Pasal 71 Ayat 1 Undang-Undanng Pilkada. Sanksi bagi kades yang melanggar ketentuan tersebut juga tegas. Pasal 188 UU Pilkada menyebutkan, kades yang melanggar Pasal 71, dipidana penjara paling singkat sebulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600 ribu atau paling banyak Rp6 juta. Selain itu, terdapat regulasi yang mengatur larangan peserta pemilu yang melibatkan kades sesuai PKPU Nomor 13 Tahun 2024. Meski regulasi tentang perlunya netralitas kades sudah jelas, sanksi tegas jarang diberlakukan. Tumpulnya taji bawaslu sebagai pengawas pemilu membuat pelaku tak takut menjalankan aksinya.

Selain mobilisasi kades, politik kotor pilkada juga terkait erat dengan politik uang. Suap-menyuap berkedok pengajian lumrah terjadi menjelang pencoblosan. Terbaru, bagi-bagi uang untuk membeli suara menggunakan e-money atau e-wallet bahkan  digunakan paslon untuk menyasar anak muda. Serangan fajar terkini terjadi tanpa harus mengetuk pintu, tetapi langsung masuk rekening. Miris, semua parpol baik yang berlatar belakang Islam apalagi nasionalis, sama-sama menggunakan politik uang dalam upaya pemenangan.

Belum lagi kampanye-kampanye yang menjual agama, telah dijadikan senjata ampuh mengumpulkan suara. Seperti yang baru-baru ini viral, yakni video kampanye seorang bupati yang menjanjikan surga kepada siapa saja yang memilihnya sebab salah satu program paslon tersebut yakni menyantuni anak yatim. Alih-alih berpidato menyampaikan visi misi yang dimiliki, banyak paslon lebih senang mengumbar janji bahkan janji masuk surga. 


Pilkada Demokrasi

Kisruhnya pilkada kali ini makin membuktikan bahwa pertarungan politik dalam demokrasi hanya memperebutkan kekuasaan. Berbagai cara dilakukan demi pemenangan, termasuk cara-cara kotor. Hal yang demikian itu akibat dari landasan sistem politiknya yang sekuler kapitalisme. Tidak heran, para kandidat merasa boleh-boleh saja melakukan segala cara agar menang. Pemikiran sekuler kapitalisme ini pun memosisikan motivasi menjabat hanya sebatas materi. Ini wajar dalam sistem demokrasi, bahwa yang terpilih adalah para pemimpin yang niat awal memang bukan untuk umat. Menanggapi pilkada yang akan diselenggarakan serentak pada November 2024, Direktur Siyasah Institute Iwan Januar mengungkap secara blak-blakan peran “seksi” pilkada dalam kondisi perpolitikan hari ini. Pilkada yang akan diselenggarakan, ungkapnya, tidak terlepas dari pilpres karena merupakan rangkaian yang akan berdampak panjang sampai Pemilu 2029. “Itulah yang kemudian umat ini harus belajar, rakyat harus belajar. Mereka ini seperti kerbau yang dicokok hidungnya ketika pilpres, pileg, dan pilkada karena hanya memilih orang yang sudah diplot dan sudah dipersiapkan parpol. Pilkada ini adalah pertaruhan bagi partai pemenang pemilu dan partai-partai yang berkoalisi dengannya, mereka bisa mengambil kesempatan untuk menang di pilkada. Oleh karena itu kita bisa melihat urgensitas Pilkada bagi parpol-parpol saat ini ada tiga point.

Pertama, menggalang massa persiapan di Pilpres 2029. Partai pemenang pilpres, akan berusaha mendominasi di pilkada serentak November 2024. Parpol oposisi, sekarang sudah tampak berkoalisi dengan petahana di pilkada. Tidak pernah ada, oposisi betulan yang mau berkoalisi dengan petahana. Mereka saling memberi manfaat dan saling mendapatkan keuntungan dalam pilkada, itu terjadi hari ini. Mengapa? Karena mereka memiliki pemikiran untuk persiapan Pemilu 2029.

Kedua, konsolidasi parpol. Pilkada sangat penting untuk dimenangkan, kalau bisa sapu bersih [mereka yang berseberangan dengan pusat] agar mudah konsolidasi kebijakan negara jadi pusat ke daerah itu nanti akan sangat mudah. Sebagai contoh,akan mudah membuat ke bijakan dan tidak ada resistensi atau penolakan atau penentangan.

Ketiga, memudahkan kepentingan oligarki dari pusat hingga daerah. Memudahkan Oligarki, para pemilik modal. Mereka itu investor politik yang nilainya sangat besar. Bahkan Mahfud MD mengatakan 84% pilkada dibiayai cukong (pemilik perusahaan besar-red.). Para cukong ini perpanjangan tangan di daerah-daerah potensial untuk keuntungan dan kepentingan mereka, seperti perkebunan sawit atau pertambangan yang akan dikondisikan untuk mereka kendalikan dari hulu sampai hilir. Hasil dari demokrasi hari ini adalah lahirnya politisi dan parpol yang oportunis dan pragmatis karena mereka mengambil tindakan politik berdasarkan kondisi di lapangan untuk bisa bertahan.

Parpol yang ada hari ini sama sekali tidak mencerminkan idealisme dalam perjuangan. Yang tadinya mereka ada di kubu dan menyerukan perlawanan pada politik dinasti, tetapi kemudian akhirnya bersama-sama berdiri dalam barisan yang melestarikan politik dinasti. Dampaknya sangat panjang yakni mencoblos beberapa menit, tetapi penderitaannya lima tahun ke depan. Perwakilan parpol bukan orang yang betul-betul hadir dari rahim rakyat. Tidak tahu jejak rekamnya dan tidak punya komitmen untuk berpihak kepada rakyat. Akankah memperjuangkan rakyat [ketika] pesta demokrasi dari pusat sampai daerah program sudah diteken dan disodorkan kepada mereka?” 


Demokrasi Sistem Kufur

Setelah DPR merevisi UU Pilkada mengenai batasan usia minimal cagub yang telah ditetapkan MK, gelombang ribuan elemen masyarakat turun ke jalan melakukan aksi massa bertajuk “Darurat Demokrasi Indonesia” yang digelar di sejumlah daerah di Indonesia. Revisi UU Pilkada, isu korupsi dan penegakan hukum, tindak represif terhadap aktivis dan pengkritik pemerintah, menjadi pemicu aksi ini. Namun, aksi itu mencerminkan rakyat masih punya pandangan bahwa demokrasi adalah sistem yang baik, penguasalah yang mendistorsi prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat. Alhasil, banyak intelektual peduli demokrasi mengajak masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam menyelamatkan demokrasi di Indonesia. Pertanyaan pun muncul, bukankah penguasa yang ada hari ini adalah produk demokrasi itu sendiri? Mereka menjalankan pemerintahannya berdasarkan prinsip demokrasi. Kebijakan yang diambil juga ditetapkan berdasarkan mekanisme demokrasi. Lalu ketika tidak sesuai dengan kehendak rakyat, mengapa yang disalahkan penguasanya dan tidak melirik sistem yang digunakan?

Abraham Lincoln mendefinisikan demokrasi sebagai sistem dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Maknanya, demokrasi sebagai sebuah sistem bernegara menempatkan aspirasi rakyat melalui wakil-wakilnya sebagai pemilik kekuasaan tertinggi yang memberikan legitimasi kepada seorang pemimpin melalui mekanisme pemilihan umum. Dalam demokrasi, rakyat adalah pemegang kekuasaan. Maknanya, rakyat yang memilih penguasa dan rakyat pemegang kedaulatan, rakyat juga yang menetapkan hukum melalui pengambilan pendapat mayoritas. Secara teori, demokrasi demikian adanya. Namun, secara faktual justru menunjukkan bahwa jargon “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” adalah tipuan. Dalam pemilu, rakyat memberikan suara untuk partai politik. Wakil rakyat yang terpilih pun mewakili partai, bukan mewakili orang yang memilihnya. Sudah rahasia umum bahwa partai juga menjadi kendaraan bagi para oligarki. Jadi, jargon yang seharusnya adalah “dari rakyat, oleh oligarki, dan untuk oligarki”. Oligarki sendiri merupakan pelaksanaan pemerintahan oleh segelintir warga negara terkaya. Mereka mengendalikan kekayaan yang sangat besar yang dapat dengan mudah digunakan untuk tujuan politik (Winters & Page, 2009).

Islam mengharamkan demokrasi karena tiga alasan. Pertama, karena yang merekayasa dan berdiri di belakang ide demokrasi adalah negara-negara kafir Barat. Hal ini merupakan suatu bentuk agresi budaya Barat ke negeri-negeri kaum muslim. Siapa pun yang menerima ide demokrasi sesungguhnya menerima agresi budaya tersebut dan memberikan sumbangan dalam keberhasilan agresi tersebut.

Alasan kedua, demokrasi adalah sistem semu yang tidak dapat diimplementasikan sepenuhnya. Manakala suatu negara berupaya menerapkan ide demokrasi, mereka seringkali harus melakukan kebohongan-kebohongan. Parlemen tidak menyusun hukum dan perundang-undangan, justru pemerintah yang mengajukan rancangan undang-undang, sedangkan parlemen tinggal memberikan persetujuannya. Parlemen tidak memilih pemerintah, tetapi pemimpin negaralah yang menyusun pemerintahan. Parlemen sekadar mengesahkannya sebagai bentuk formalitas. Lebih lanjut, penguasa di negara-negara demokrasi bukanlah lembaga parlemen sebagai perwujudan seluruh rakyat, tetapi sang pemimpin negara. Terakhir, kekuasaan hanya bisa dilakukan di tangan satu orang. Artinya, bagaimana mungkin kekuasaan pemerintahan dilakukan oleh seluruh rakyat? Jadi, sistem demokrasi bertentangan dengan realitas pemerintahan dan kehidupan. Dengan demikian, sistem demokrasi merupakan pemikiran yang mustahil dan semu, tidak mungkin diterapkan sepenuhnya. Demokrasi juga seringkali diselubungi dengan berbagai kebohongan, manipulasi, dan rekayasa sehingga menyesatkan umat manusia.

Ketiga, sistem demokrasi adalah sistem buatan manusia. Sistem tersebut disusun oleh rakyat dan untuk rakyat. Sesungguhnya manusia tidak bisa lepas dari kesalahan. Sebaliknya, hanya Allah yang terbebas dari kesalahan. Oleh karenanya, sistem dari Allah saja yang pantas dianut. Artinya, menganut demokrasi dan menolak sistem dari Allah merupakan suatu kesalahan fatal yang mengakibatkan bencana. Begitu pula, sistem demokrasi adalah suatu sistem kufur karena bukan merupakan hukum syariat. Sistem pemerintahan dalam Islam merupakan hukum syariat dari Allah. Jadi, demokrasi adalah sistem kufur. Oleh karena itu, memerintah dengan sistem demokrasi berarti memerintah dengan kekufuran, sedangkan menyeru kepada sistem demokrasi berarti menyeru kepada sistem kufur. Dengan demikian, diharamkan dalam keadaan bagaimana pun untuk menyerukan atau menganut sistem demokrasi. Lebih lanjut, demokrasi bertentangan dengan sistem pemerintahan Islam. Islam tidak berkaitan dengan sistem demokrasi. Umat merupakan pihak yang berhak mengangkat pemimpin negara, namun umat tidak mempunyai kewenangan untuk menurunkannya dari jabatan.

Pembuat hukum dan perundang-undangan adalah Allah, bukan manusia, rakyat, atau umat. Kekuasaan atas manusia dan para penguasa, serta kedaulatan adalah milik Allah. Sistem demokrasi memberikan kedaulatan kepada rakyat untuk mengangkat pemimpin dan menyusun undang-undang. Ini berarti bahwa demokrasi bertentangan dengan sistem pemerintahan Islam. Sistem pemerintahan Islam memberi kekuasaan kepada umat untuk mengangkat pemimpin mereka, tetapi tidak memberi kekuasaan untuk mendepak pemimpin negara dari kursi kepemimpinan. Terlebih lagi, Islam memberikan kedaulatan kepada hukum syariat, bukan kepada umat manusia. Islam juga menjadikan Allah sebagai satu-satunya pihak yang berwenang menentukan hukum dan perundang-undangan. Dengan demikian, sistem demokrasi bertentangan dengan sistem pemerintahan Islam sehingga diharamkan untuk menerapkan atau menyerukannya
اِنِ الْحُكْمُ اِلَّا لِلّٰهِ ۗاَمَرَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ
“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus. “(Qs Yusuf/12:40). 

Jadi, demokrasi sekadar menjadi prosedur untuk meraih kekuasaan bagi para oligarki. Demokrasi telah menipu umat untuk menaikkan oligarki dalam tampuk kekuasaan. Hal ini jelas menunjukkan bahwa oligarki dan demokrasi merupakan dua hal yang saling berkelindan.. Ketika rakyat masih memiliki pandangan positif terhadap demokrasi, mereka akan terus mendukung dan terlibat dalam berbagai praktik demokrasi dan inilah yang akan memperpanjang usia demokrasi. Selama demokrasi masih eksis, selama itu pula kerusakan dan kesengsaraan umat akan terus berlangsung. Untuk itu, harus ada penyadaran di tengah masyarakat tentang hakikat dan kepalsuan demokrasi agar umat paham dan meninggalkan sistem yang rusak dan merusak ini.


Sistem Politik Islam

Sistem politik Islam berjalan dengan akidah Islam sebagai landasannya. Ikatan yang terbentuk antara penguasa dan rakyat juga ikatan akidah, bukan manfaat. Individu yang terlibat dalam pemerintahan adalah mereka yang ingin berkhidmat untuk mengurusi urusan umat. Jabatan dalam sistem Islam adalah amanah untuk mendulang pahala, sekaligus sesuatu yang mengandung tanggung jawab besar karena Allah Swt. akan mengharamkan surga bagi pemimpin yang tidak amanah. Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah seseorang diamanahi memimpin suatu kaum kemudian ia meninggal dalam keadaan curang terhadap rakyatnya, maka diharamkan baginya surga.” (HR Bukhari-Muslim). Oleh karena itu, kecurangan dalam pemilihan pemimpin akan diganjar oleh Allah Swt. dengan keharaman masuk surga. Jika ada sekelompok orang atau oligarki yang mencurangi suara dan kemudian memimpin, sejatinya Allah Swt. sedang menghimpun mereka di neraka. Inilah seburuk-buruk balasan bagi penguasa yang curang dan menipu rakyatnya.

Terkait pilkada, sebenarnya di dalam Islam tidak ada syariat yang mengaturnya sebab kepala daerah di dalam Khilafah ditunjuk oleh khalifah berdasarkan saran dan masukan dari Majlis Umat (MU) dan Majlis Wilayah (MW). MU dan MW dapat mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah baik di level provinsi maupun kota. Jika ada perbedaan pendapat antara MU dan MW, yang diutamakan adalah pendapat MW sebab MW adalah representasi masyarakat daerah.

Penyebutan kepala daerah untuk wilayah setingkat provinsi disebut wali. Sedangkan untuk kepala daerah setingkat kabupaten/kota disebut amil. Adapun pihak yang melantik, wali diangkat dan dilantik langsung oleh khalifah. Sedangkan amil, bisa diangkat langsung oleh khalifah atau oleh wali yang telah diberi mandat oleh khalifah. Secara filosofis, hanya khalifah yang berwenang mengangkat para penguasa di bawahnya, baik wali maupun amil. Hal ini berdasarkan kewajiban mengangkat khalifah dengan metode baiat. Mekanisme ini selain lebih sederhana, juga tidak memakan banyak biaya seperti pemilihan langsung pada pilkada demokrasi. Penunjukan kepala daerah oleh khalifah pun akan menjadikan kepala daerah terpilih tidak memiliki beban mahar yang besar kepada para cukong politik seperti saat ini.Masa jabatan kepala daerah dalam Khilafah tidak ditentukan, tetapi penempatan tugasnya tidak boleh terlalu lama. Seorang wali bisa diberhentikan oleh khalifah kapan saja dan bisa diangkat lagi untuk daerah lain. Selain itu, kepala daerah tidak boleh dipindahtugaskan dari satu wilayah ke wilayah lain tanpa pemberhentian jabatan terlebih dahulu di wilayah sebelumnya. Adapun yang berwenang memberhentikan kepala daerah adalah khalifah. Dalam hal ini, MU bisa menyatakan ketakrelaan atau menunjukkan ketaksukaan terhadapnya, tetapi yang berwenang memberhentikannya tetap Khalifah.

Dengan demikian, sistem politik yang fokus kepada kemaslahatan umat hanya bisa terjadi melalui penerapan sistem politik Islam. Pemilihan kepala daerah yang ditunjuk oleh khalifah berfungsi untuk menyederhanakan proses pengangkatan sehingga tidak membutuhkan banyak biaya, dan yang terpenting sesuai dengan sunah Nabi saw.. Wallahualam bissawab





Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar