Presiden Endorse Cagub-Cawagub, Cawe-Cawe Jilid 2?


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

Presiden Prabowo Subianto, yang juga Ketua Umum Gerindra, mengampanyekan calon Gubernur-Wakil Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi-Taj Yasin. Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi mengatakan tak ada aturan yang melarang Prabowo mengampanyekan calon kepala daerah.

"Tidak ada aturan yang melarang Pak Prabowo meng-endorse calon. Pak Prabowo adalah ketua umum partai. Sebagai ketua umum partai beliau menandatangani rekomendasi untuk mengusung calon-calon kepala daerah. Berarti beliau mendukung calon tertentu. Aturan netralitas itu ditujukan bagi TNI/Polri dan para ASN. Menteri-menteri, terutama yang berasal dari partai politik juga boleh meng-endorse calon, bahkan boleh berkampanye dengan ketentuan tidak menyalahgunakan fasilitas jabatan untuk berkampanye, atau berkampanye di hari kerja tanpa mengajukan cuti," kata Hasan kepada wartawan, Minggu (10/11/2024). (detikNews, 10/11/2024).

Sebelumnya, Prabowo menyampaikan ajakan untuk memilih Ahmad Luthfi dan Taj Yasin Maimoen dalam Pilkada Jateng 2024. Prabowo menilai keduanya memiliki pengalaman dan pengabdian yang panjang di Jateng. Ajakan itu disampaikan Prabowo dalam video yang diunggah calon Gubernur Jawa Tengah nomor urut 2 Ahmad Luthfi melalui akun Instagram resminya, Sabtu (9/11). Dalam unggahan itu, tampak Ahmad Luthfi dan Taj Yasin berdiri di sisi Prabowo.

"Saya percaya bahwa dua tokoh yang tepat untuk Jawa Tengah adalah saudara Komisaris Jenderal Polisi Ahmad Luthfi, seorang yang telah bertugas dan mengabdi di Jawa Tengah cukup lama, dan juga saudara Taj Yasin Maimoen, putra dari guru saya Maimoen Zubair, yang telah juga mengabdi cukup lama di Jawa Tengah sebagai Wakil gubernur. Saya percaya mereka akan merupakan tim yang sangat cocok dan akan bekerja bersama saya di pusat, kita akan menjadi suatu tim yang baik, tim yang di daerah dan tim yang ada di pusat," ujar Prabowo yang menyampaikan pesan tersebut dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Gerindra.

Serasa drama lama diputar kembali. Tentu semua masih ingat saat Jokowi menyatakan, tetap akan cawe-cawe pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Namun, ia menyebut, cawe-cawe atau mencampuri urusan kontestasi politik ini dalam arti yang positif.

Cawe-cawe yang dimaksud, menurutnya, tentu masih dalam koridor aturan dan tidak akan melanggar undang-undang. “Saya tidak akan melanggar aturan, tidak akan melanggar undang-undang,” kata Jokowi saat bertemu dengan para pemimpin redaksi media massa nasional di Istana, Jakarta, Senin (29-5-2023).

Perbedaannya hanya pada jabatan sampingan presiden. Jika Jokowi dulu bukan ketua partai, bahkan dianggap sebagai pengkhianat oleh partai yang sebelumnya telah mengantarkannya ke tampuk kekuasaan. Sedangkan Prabowo adalah ketua umum partai, mantan TNI, dan bukan ASN. Alasan itu pula yang dijadikan dalih pembenaran terhadap hukum yang memang dibuat manusia.

Hanya saja mari kita lihat peraturan yang lain yang tertuang dalam Pasal 17 UU Nomor 30 Tahun 2014, bahwa badan dan/atau pejabat pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang. Larangan itu meliputi larangan melampaui wewenang, larangan mencampuradukkan wewenang, dan/atau larangan bertindak sewenang-wenang.

Jika saja Prabowo bukan presiden, apakah pengaruhnya akan sama dengan beliau sebagai presiden? Apakah jika kedatangan tamu yang hanya rakyat biasa dengan ketua partai apalagi dengan ketua partai plus presiden akan sama bentuk sambutan dan jamuannya? Tentu saja tidak! Dan itu membuktikan adanya keterpengaruhan wewenang di sana. Apalagi ini dalam Pilkada. Apakah ini namanya bukan mencampur adukkan wewenang? Apakah ini bukan sewenang-wenang namanya? Jika demikian untuk apa diadakan pemilu? Hanya menghamburkan uang rakyat dengan dalih pesta demokrasi adalah pesta rakyat. Rakyat yang mana?

Itulah kelemahan aturan buatan manusia, pasalnya pun seperti pasal karet. Bisa ditarik pengertian kemana-mana, sesuai keinginan pembuat kebijakan. Begitu pula dengan sanksinya, tidak ada kejelasan dan ketegasan. Ini seperti ungkapan dalam syiir Arab ‘wujuduhu ka ‘adamihi, adanya hukum seperti tidak ada hukum’. Aturan tanpa sanksi, tidak dianggap sama sekali. Apalagi sistem demokrasi kapitalisme bervisi memisahkan agama dari kehidupan.

Penyalahgunaan wewenang dalam sistem demokrasi kapitalisme seolah sesuatu yang tidak bisa terelakkan. Bahkan, seolah menjadi karakter dari demokrasi itu sendiri. Pepatah Sunda menyebutkan, "nu urang, keur urang, kudu ku urang (milik kita, untuk kita, harus oleh kita)" alias serakah/tamak, tidak boleh orang lain atau dari pihak lain, semua harus kita. Ujung-ujungnya ABS alias Asal Bapak Senang gak peduli rakyat meregang.

Plato, peletak dasar demokrasi, telah meramal akan lahirnya kekuasaan tiran tersebut. Demokrasi yang menjadikan kedaulatan di tangan rakyat, memberikan kesempatan masyarakat untuk memerintah diri mereka sendiri dan pada akhirnya akan membawa rakyat mendukung kekuasaan yang dikendalikan oleh para tiran. Dengan menjadikan kedaulatan di tangan rakyat, sejatinya menjadikan nafsu manusialah yang mengontrol kehidupan sehingga dipastikan hasilnya hanyalah kerusakan. 

Berbeda dengan sistem Islam. Dalam sistem pemerintahan Islam, kedaulatan berada di tangan syarak, sehingga kehidupan sejahtera dan berkah dapat diraih. Sebab sistem Islam adalah sistem kehidupan yang berlandaskan akidah. Akidah akan melahirkan takwa pada diri seseorang sehingga ia akan melakukan sesuai dengan perintah Allah SWT. Inilah yang menjadi jaminan adanya kontrol internal. Para pejabat akan memperhatikan perilakunya agar sesuai dengan perintah Allah SWT. 

Sistem politik Islam hanya akan menghimpun pejabat-pejabat yang bervisi pelayanan umat. Motivasi menjadi penguasa adalah semata untuk mengabdi kepada Allah SWT. dengan mengurus rakyat. Ia akan amanah dan kapabel sebab seseorang yang tidak memiliki kemampuan tidak akan berani maju. Hal demikian dikarenakan Allah SWT. membenci penguasa yang tidak amanah. Sebaliknya, Allah SWT. sangat mencintai pejabat yang memenuhi kebutuhan rakyatnya dengan adil.

Pemimpin dalam sistem Islam yakin betul akan amanahnya dalam hadis Rasulullah Saw., "Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka." (HR. Abu Nu'aim).

Rasulullah Saw. pun bersabda sebagaimana yang dituturkan oleh Ibnu ’Umar, “Setiap kalian adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang amir (kepala pemerintahan) adalah pemimpin bagi rakyatnya, yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya; seorang laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya; seorang perempuan adalah pemimpin atas rumah tangga suaminya dan anak-anaknya yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.….” (HR. Bukhari Muslim).

Selain itu, sistem politik Islam simpel dan berbiaya murah. Kepemimpinannya bersifat tunggal. Pengangkatan dan pencopotan semua pejabat negara adalah wewenang khalifah. Dengan demikian, tidak ada praktik politik transaksional jual beli jabatan dan kebijakan yang lumrah terjadi di sistem demokrasi kapitalisme. Tidak perlu pula mengadakan pilkada seperti yang terjadi pada sistem demokrasi kapitalisme yang nyata-nyata sarat dengan KKN dan hanya sandiwara pembodohan publik, karena pemenangnya sudah ditetapkan sebelum pengambilan suara oleh rakyat. 

Pejabat negara dipilih oleh Khalifah bukan berdasarkan kedekatannya kepada Khalifah, atau karena sama partainya, apalagi karena hubungan kekerabatan dan persahabatan. Pejabat negara adalah penguasa, maka mereka harus memenuhi syarat-syarat sebagai penguasa, yaitu: harus seorang laki-laki, muslim, balig, berakal, adil, dan termasuk orang yang memiliki kemampuan.

Rasulullah Saw. memilih para wali (pemimpin wilayah) dari orang-orang yang memiliki kelayakan (kemampuan dan kecakapan) untuk memegang urusan pemerintahan, yang memiliki ilmu, dan yang dikenal ketakwaannya. Beliau memilih mereka dari kalangan orang-orang yang dapat melaksanakan tugas dengan baik dalam urusan kewenangannya dan yang dapat 'mengairi' hati rakyat dengan keimanan dan keagungan (kemuliaan) negara.

Sudah sepatutnya rakyat Indonesia membuka mata, telinga, hati, dan pikiran akan kerusakan dari sistem demokrasi kapitalisme yang menjadi biang lahirnya pemimpin-pemimpin yang menghalalkan segala cara demi sebuah kekuasaan. Sudah saatnya rakyat Indonesia menyadari dan menggantinya dengan sistem Islam yang terbukti selama 13 abad mampu menyatukan dua pertiga dunia berkat menjalankan kepemimpinan sesuai dengan ketentuan Allah SWT.

Wallahu'alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar