Assad Tumbang, Suriah Mau Kemana?


Oleh : vieDihardjo (Alumnus Hubungan Internasional) 

Rezim Assad yang telah berkuasa 50 tahun tumbang, Suriah dalam situasi ketidakpastian. Meski begitu, rakyat Suriah meluapkan kegembiraan atas tumbangnya rezim brutal yang telah menekan rakyat selama 50 tahun telah berakhir. Pemimpin oposisi Hayat Tahrir As Sham (HTS), Abu Mohammed Al-Jolani berjanji untuk menyatukan Suriah. Sementara beberapa ahli memberikan prediksi terkait masa depan Suriah. Pertama, sejauh ini Jolani telah menyerukan entitas-entitas yang ada di Suriah untuk bersatu. 

Profesor hubungan internasional dan pakar Timur Tengah di Universitas Queen Mary, Inggris, Christopher Phillips mengatakan bahwa agenda Jolani (HTS) akan sulit dicapai karena beberapa faktor diantaranya, Dibagian selatan Suriah terdapat kelompok-kelompok yang tidak mengakui otoritas keluarga Assad yang kecil kemungkinannya akan tunduk pada kekuasaan baru di Damaskus. Dibagian timur, masih ada sisa-sisa ISIS yang bisa memprovokasi Amerika Serikat untuk melakukan serangan udara ke wilayah Suriah. Dibagian timur laut Suriah terdapat kelompok-kelompok yang dipimpin suku Kurdi yang disokong oleh Amerika Serikat, belum lagi faksi-faksi oposisi yang berada di luar Suriah belum dipastikan kembali ke Suriah dan mendukung pemerintahan baru.

Kedua, Hayah Tahrir As-Sham (HTS) akan mengelola Suriah secara otoriter. Joseph Daher, seorang profesor di Universitas Lausanne di Swiss dan penulis buku berjudul Syria After the Uprisings, mengatakan, cara HTS mengonsolidasikan kekuasaannya utamanya adalah melalui tindakan represif, meskipun mereka juga mengonsolidasikan kekuasaan dengan mengikutsertakan semua kelompok bersenjata oposisi [di Idlib] dan menyediakan layanan. Namun, kekuasaannya ditandai pula dengan tindakan represif yang keras dan memenjarakan lawan politik. Pada saat HTS menguasai Idlib, HTS dinilai meminggirkan faksi-faksi lain dan menekan perbedaan pendapat. 

Ketiga, potensi terjadinya perang saudara seperti halnya Libya setelah rezim Qadhafi. Tumbangnya rezim Assad dan terjadi kekosongan kekuasaan bisa saja menimbulkan pertikaian karena perebutan kekuasaan, gelombang penjarahan, balas dendam antar faksi dan kekacauan lain yang meluas dan berpotensi mengangggu stabilitas kawasan Timur Tengah. 


Tumbangnya Assad Harus Disyukuri 

Terbebasnya rakyat Suriah selama kurang lebih 50 tahun dalam kekuasaan yang diktator dan brutal harus disyukuri. Banyak faktor yang mendorong tumbangnya rezim Bashar Assad. Kondisi internal ekonomi Suriah yang terus menyusut hingga 85% akibat perang saudara selama 14 tahun hingga terjadi hiperinflasi, daya beli masyarakat sangat rendah, bahkan menempatkan Suriah menjadi negara termiskin di Timur Tengah. 

Konflik yang berkepanjangan menyebabkan kerusakan infrastruktur yang meluas di kota-kota Suriah seperti Aleppo, Raqqa dan Homs. Pemerintah Suriah telah kehilangan kendali atas ladang-ladang minyak yanng sebelumnya menyumbang seperempat pemasukan negara, karena berhasil direbut oleh para pemberontak berakibat produksi menyak semakin menyusut. Posisi Suriah semakin sulit akibat sanksi internasional sehingga berdampak pada penerimaan negara karena ekspor minyak yang dibatasi hanya kurang dari 20.000 barel perhari, bahkan bergantung pada impor minyak dari Iran. 

Faktor eksternal juga mempengaruhi jatuhnya rezim Bashar Assad oleh serangan kilat selama dua minggu yang dilakukan kelompok pemberontak, Dukungan Rusia dan Iran yang terus menurun kepada rezim Assad menjadi faktor yang turut diperhitungkan. Rusia disibukkan dengan invasi Ukraina sedangkan Iran sedang sibuk melawan Israel. Nick Heras, analis di New Lines Institute, "Pada akhirnya, kemampuan Pemerintah Assad bertahan hidup akan bergantung pada sejauh mana Iran dan Rusia melihat Assad berguna bagi strategi mereka di kawasan"

Faktor yang tidak kalah penting juga adalah dorongan perjuangan rakyat Suriah untuk membebaskan diri dari rezim Bashar Assad. Dorongan keimanan dan kesabaran perjuangan rakyat Suriah patut menjadi contoh bagaimana perjuangan melawan kedzoliman harus dilakukan. Tentunya dibalik keberhasilan itu ada pertolongan Allah, kepada rakyat Suriah yang senantiasa melakukan upaya-upaya untuk membebaskan diri dari kedzoliman. 

Selanjutnya setelah rezim Assad tumbang, perubahan apa yang ingin diwujudkan oleh rakyat Suriah? Apakah tumbangnya Assad hanya sekedar perubahan kepemimpinan atau perubahan sistem, perubahan dari sekuler kapitalistik menjadi sistem islam yang diterapkan secara menyeluruh ‘kaffah’ ? 


Suriah Harus Kembali Kepada Sistem Islam 

Tantangan besar dihadapi rakyat Suriah pasca tumbangnya rezim Bashar Assad. Apakah mereka akan kembali terjebak dan ‘tunduk’ pada imperialism atau kembali pada sistem yang benar dan hakiki yaitu islam. Ada ketidakpercayaan bahwa pemimpin HTS, Abu Mohammed Al-Jolani mampu mempersatukan seluruh faksi-faksi pemberontak. Situasi yang berkembang pasca jatuhnya Assad, negara-negara Barat mulai menawarkan ‘bantuan’. Joe Biden pada Minggu, 08/12 memperingatkan bahwa Suriah mengalami resiko dan ketidakpastian yang cukup besar ,dan mengatakan bahwa akan terlibat dengan semua kelompok Suriah, termasuk dalam proses yang dipimpin oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk membangun transisi dari rezim Assad menuju "Suriah" yang independen dan berdaulat dengan konstitusi baru (www.news.detik 10/12/2024)

Kantor berita Associated Press melaporkan pada hari Senin (09/12), pemerintahan Biden sedang mempertimbangkan apakah akan menghapus HTS sebagai kelompok teroris, dengan mengutip dua pejabat senior Gedung Putih. Salah satu pejabat mengatakan, HTS akan menjadi "komponen penting" dalam masa depan Suriah dalam waktu dekat (www.news.detik 10/12/2024). Prioritas rekonstruksi Suriah adalah wilayah timur Deir el-Zour yang memiliki 40% cadangan minyak dan beberapa ladang gas dan dikuasai oleh Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didukung oleh Amerika Serikat. 

Suriah perlu berhati-hati dalam menerima tawaran ‘bantuan’ dari negara-negara kapitalistik ini, sebagai negara kaya minyak dan gas, juga wilayah yang sangat strategis, Kota pelabuhan Latakia, salah satu aset pesisir utama negara itu, menawarkan kendali potensial atas jalur pelayaran Mediterania Timur. Akses ini sangat penting untuk perdagangan energi, karena Mediterania berfungsi sebagai jalur ekspor minyak dan gas dari Timur Tengah ke Eropa dan sekitarnya tentu akan selalu menarik perhatian negara-negara Barat untuk bisa menguasai dan mengendalikan. 

Perubahan yang harus diwujudkan pasca tumbangnya Assad adalah perubahan yang mampu melahirkan kebaikan bagi masyarakat Suriah. Bukan dengan menerima tawaran Barat, akan tetapi kembali kepada bagaimana islam memberi konsep tentang kenegaraan yaitu khilafah. Pejuang-pejuang muslim di Suriah perlu menyadari ini momentum perubahan yang tidak boleh lagi dibajak oleh Barat, akhirnya yang terjadi hanya perubahan rezim yang tetap melayani kepentingan negara-negara Barat, misalnya Amerika Serikat. Akar penderitaan rakyat Suriah adalah sekulerisme dimana ajaran islam dipisahkan dari kehidupan dan negara, maka sistem ini harus diganti sampai ke akarnya dengan sistem islam.

Sistem pengganti yang sesuai dengan tuntunan Islam adalah Khilafah ’ala minhajin nubuwwah. Semua ini wajib diperjuangkan. tentu dengan meneladani perjuangan dakwah Rasulullah saw.. Tidak lain dengan dakwah secara fikriyyah (pemikiran), siyasiyyah (politik) dan tanpa kekerasan (‘la ‘unfiyah), seraya terus menggalang nushrah dari ahlul-quwwah. Kelompok-kelompok pejuang islam di Suriah harus bisa mengambul Pelajaran dari Libya, Mesir, Tunisia bahwa jika momentum tumbangnya Assad ini bisa dibajak oleh Barat maka tidak akan ada kebaikan bagi rakyat Suriah, bak keluar dari ‘mulut buaya’ masuk mulut ’harimau’.

Wallahu’alam bisshowab.



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar