Oleh: Yeni Sri Wahyuni
Pada Peringatan Hari Guru Nasional 2024 yang berlangsung pada Kamis (28/11/2024), Prabowo menegaskan bahwa sejumlah Rp 17,5 triliun akan dialokasikan untuk renovasi sekolah-sekolah di Indonesia. Anggaran tersebut juga akan digunakan untuk pengadaan televisi (TV) di setiap sekolah. (Detik.com, 29/11/2024)
Kementerian Pekerjaan Umum (PU) mengungkapkan bahwa renovasi dan rehabilitasi sekolah yang direncanakan mulai tahun depan bertujuan agar anak-anak Indonesia dapat belajar dalam kondisi yang lebih layak. Staf Ahli Menteri (SAM V) yang bertanggung jawab di bidang Teknologi, Industri, dan Lingkungan, Endra S. Atmawidjaja menyampaikan bahwa renovasi dan rehabilitasi sekolah ini mencakup bukan hanya sekolah umum, tetapi juga sekolah agama, termasuk pendidikan anak usia dini (PAUD), SD, SMP, pondok pesantren, hingga seminari. (Antaranews.com, 29/11/2024)
Permasalahan pendidikan memang kompleks, salah satunya terkait sarana dan prasarana. Bukan hanya tidak punya gedung sendiri, masih banyak sekolah-sekolah yang dalam keadaan rusak dan kekurangan fasilitas. Misalnya, bangunan kelas yang nyaris runtuh, sekolah yang memiliki lantai tanah, minimnya fasilitas dan peralatan sekolah, serta sejumlah masalah lainnya terkait kurangnya infrastruktur. Siswa rela belajar dengan fasilitas terbatas, karena yang terpenting bagi mereka adalah kesempatan untuk bersekolah.
Banyaknya bangunan sekolah yang tidak layak menjadi salah satu indikasi kurangnya kepedulian negara terhadap keberlangsungan pendidikan generasi. Diantaranya dalam hal keselamatan siswa, kenyamanan belajar, dan kegiatan belajar-mengajar. Proses belajar-mengajar adalah proses yang sangat penting dan membutuhkan kondisi yang aman dan nyaman. Salah satunya, bangunan yang memadai agar keselamatan anak terjamin.
Penguasa yang seharusnya bertanggung jawab memenuhi sarana dan prasarana tersebut, tampak bersikap tidak peduli. Hal ini menjadi bukti abainya penguasa menjalankan peran utamanya sebagai pengurus umat. Penguasa sangat jauh dari mafhum ra’awiyah (mengurus rakyat). Inilah watak penguasa dalam naungan kapitalisme.
Kapitalisme yang berasaskan sekularisme (menjauhkan agama dari kehidupan), menjadikan negara mengabaikan pelayanan pendidikan bagi rakyat. Pendidikan dijadikan sebagai objek bisnis oleh pihak swasta, sehingga anggaran penyelenggaraan pendidikan sangat terbatas. Perbaikan sekolah akan dilakukan negara, tetapi pembiayaannya berasal dari peningkatan pajak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pemimpin dalam sistem kapitalisme tidak sungguh-sungguh mengurus urusan rakyat. Oleh karena itu, mustahil terwujud pendidikan berkualitas selama sistem demokrasi-kapitalisme masih diterapkan di negeri ini.
Islam memandang pendidikan sebagai kebutuhan dasar yang menjadi tanggung jawab negara. Negara akan menyediakan sarana dan prasarana yang berkualitas, aman dan nyaman untuk tercapainya tujuan pendidikan. Negara memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan bangunan sekolah yang kokoh serta mengupayakan untuk mewujudkannya. Dalam Islam, penguasa bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan rakyat dengan seoptimal mungkin, karena Islam menempatkannya sebagai pengurus rakyat yang menerapkan hukum Islam secara kaffah.
Dengan sistem ekonomi Islam, negara memiliki pemasukan yang besar yang mampu membiayai fasilitas pendidikan, sehingga terwujud bangunan sekolah terbaik, lengkap dan kokoh. Sumber pemasukan negara menurut syariat terbagi menjadi tiga, yakni dari fai dan kharaj, kepemilikan umum, serta zakat. Dana untuk layanan publik termasuk pendidikan, dapat dialokasikan dari pos kepemilikan umum yang bersumber dari pengelolaan SDA (sumber daya alam). Dengan kas negara yang memadai, negara dapat mengelola pendidikan secara mandiri, sehingga pendidikan bisa tersedia secara murah atau bahkan gratis tanpa memandang status sosialnya. Negara tidak boleh menarik sepeser pun uang dari rakyat untuk mengakses pendidikan.
Rasulullah saw. bersabda, “Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Wallahu a’lam bisshawwab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar