Bencana Datang Silih Berganti: Refleksi atas Tanggung Jawab Kita


Oleh: Arina Sayyidatus Syahidah (Aktivis Dakwah Muslimah)

Bencana Datang Silih Berganti, Saatnya Introspeksi

Dalam beberapa hari terakhir, berbagai bencana melanda sejumlah daerah di Indonesia, memperlihatkan kondisi yang semakin mengkhawatirkan. Bencana hidrometeorologi, banjir, tanah longsor, dan pergerakan tanah terjadi secara bersamaan, meninggalkan jejak kerusakan yang besar dan memerlukan perhatian serius dari semua pihak. Di Kabupaten Sukabumi, pemerintah daerah menetapkan status tanggap darurat bencana selama sepekan ke depan pasca bencana hidrometeorologi yang terjadi pada 3-4 Desember 2024. Jenis bencana yang terjadi mencakup banjir, tanah longsor, pergerakan tanah, dan angin kencang yang tersebar di 33 titik di 22 kecamatan. Besarnya skala bencana dan jumlah warga terdampak memaksa pemerintah mempercepat penanganan dengan mendirikan posko tanggap darurat, melakukan pendataan kerusakan, mengevakuasi korban, hingga menyalurkan bantuan darurat. Penanganan yang cepat dan terstruktur dinilai penting untuk meminimalisir kerugian materi maupun korban jiwa.

Di waktu yang hampir bersamaan, banjir besar juga terjadi di Pandeglang, Banten, akibat luapan Sungai Cilemer. Ketinggian banjir mencapai 1-2,5 meter dan membuat akses jalan warga terputus. Sebanyak 202 warga terpaksa mengungsi ke posko darurat untuk menyelamatkan diri. Tim gabungan dari BPBD, relawan, dan Babinsa dikerahkan untuk membantu evakuasi menggunakan perahu. Sementara itu, di Cianjur, Jawa Barat, bencana pergerakan tanah dilaporkan semakin meluas. Hingga saat ini, bencana tersebut telah merambah 15 kecamatan, dan jumlah wilayah terdampak diperkirakan masih akan bertambah. Kondisi ini menambah daftar panjang bencana yang terjadi dalam kurun waktu yang berdekatan.

Rentetan bencana yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia belakangan ini bukan lagi sekadar kejadian alam semata. Dari banjir yang merendam Pandeglang hingga tanah longsor di Sukabumi dan pergerakan tanah yang meluas di Cianjur, semua ini menyisakan satu pertanyaan mendasar: mengapa bencana ini terus berulang? Apakah benar semuanya hanya karena faktor cuaca dan perubahan iklim? Ataukah ada ulah tangan-tangan manusia yang turut berperan di balik semua ini? Allah SWT berfirman dalam Qur’an surah Ar-Rum ayat 41 yang artinya, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” Ayat ini memberi penegasan bahwa kerusakan dan bencana yang terjadi adalah akibat ulah manusia sendiri. Bukan sekadar kesalahan teknis atau peristiwa alam, tetapi akumulasi dari pelanggaran syariat Allah dan pengabaian terhadap aturan-Nya.

Dalam dunia modern ini, pembangunan sering dijadikan dalih untuk melakukan eksploitasi alam secara besar-besaran. Hutan-hutan ditebang tanpa perhitungan, pegunungan dikeruk hingga gundul, sungai-sungai tercemar limbah industri, dan lahan-lahan hijau digantikan beton-beton raksasa. Segala aktivitas ini dilakukan dengan mengatasnamakan “kemajuan” dan “pembangunan ekonomi.” Padahal, pada kenyataannya, kerusakan lingkungan adalah harga yang harus dibayar. Tanah longsor, banjir, dan perubahan struktur tanah seperti yang terjadi di Sukabumi, Pandeglang, dan Cianjur adalah dampak langsung dari eksploitasi alam ini. Ketika pepohonan yang berfungsi menahan air hujan ditebang sembarangan, maka tanah kehilangan penopangnya. Akibatnya, air mudah meluap, tanah mudah bergerak, dan bencana pun tak terhindarkan.

Lebih parahnya lagi, semua ini terjadi karena kehidupan kita jauh dari tuntunan syariat Islam yang mengatur dengan adil hubungan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Dalam Islam, alam bukan sekadar objek eksploitasi, tetapi amanah yang harus dijaga dan dipelihara. Rasulullah SAW bersabda, “Dunia ini manis dan hijau, dan sungguh Allah menjadikan kalian khalifah di dalamnya, lalu Dia melihat bagaimana kalian beramal.” (HR. Muslim).

Namun, saat ini manusia lebih memilih sistem kehidupan yang hanya mengejar keuntungan duniawi. Kepemimpinan yang diterapkan negara hari ini justru lebih berpihak kepada para pemilik modal dibandingkan menjaga keseimbangan lingkungan dan kesejahteraan rakyatnya. Oleh karenanya, seluruh bencana alam yang ada hari ini harus dipandang dalam kerangka yang lebih luas, yaitu sebagai peringatan dari Allah atas berbagai pelanggaran syariat yang terjadi. Ketika kemaksiatan merajalela, keadilan terabaikan, dan manusia menjauh dari hukum Allah, maka bumi pun akan “berguncang” sebagai bentuk peringatan. Sebab dalam sistem kapitalisme hari ini, syariat Allah yang seharusnya menjadi pedoman dalam mengelola bumi ini malah diabaikan.


Sistem Islam Membangun Peradaban Penuh Berkah

Bencana ini semestinya menyadarkan kita bahwa hanya dengan menegakkan syariat Islam secara menyeluruh di bawah kepemimpinan yang adil dan amanah, sebagaimana yang dicontohkan dalam sejarah peradaban Islam lah bumi ini dapat dijaga dan kehidupan dapat berjalan dengan seimbang. Islam memiliki aturan yang jelas tentang pengelolaan sumber daya alam, hak kepemilikan, ekonomi, pembangunan infrastruktur, dan lain-lain.

Dalam sistem kepemimpinan Islam, negara berperan sebagai raa’in (pengurus rakyat) dan junnah (pelindung) yang bertanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan umat serta kelestarian alam. Setiap kebijakan pembangunan akan dilakukan dengan berlandaskan syariat Islam, sehingga keseimbangan antara manusia dan alam tetap terjaga. Tidak ada eksploitasi rakus atas nama kepentingan segelintir pihak, karena Islam memandang alam sebagai amanah yang harus dijaga dan dimanfaatkan secara adil dan bijaksana. Selain itu, segala hal yang wujudnya murni lahir dari bumi, seperti tanah, air, api, tambang mineral, batu bara, dan sejenisnya merupakan hak kepemilikan umum yang tidak boleh dimiliki oleh individu. Jadi dalam Islam, pembagian dan pemanfaatan atas harta khususnya sumber daya alam sudah memiliki porsi dan aturannya masing-masing. Sebegitu detailnya Islam mengatur seluruh alam semesta ini.

Allah SWT juga telah menjanjikan keberkahan bagi umat yang beriman dan bertakwa sebagaimana yang tercantum dalam Qur’an surah Al-A’raf ayat 96 yang artinya: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”

Melalui penerapan syariat Islam, negara akan memastikan pembangunan yang berkelanjutan, menjaga ekosistem, dan melarang segala bentuk perusakan lingkungan. Negara akan menegakkan aturan tegas terhadap mereka yang merusak alam demi keuntungan pribadi. Selain itu, negara sebagai raa’in wajib memastikan seluruh individu masyarakat dapat dipenuhi seluruh kebutuhannya secara maksimal, hal ini selain sudah menjadi tugas utama negara juga mampu menghindari ketamakan individu atas harta yang dapat menimbulkan kerugian bagi sekitarnya. Dengan begitu, potensi bencana dapat diminimalisir dan kehidupan yang sejahtera serta penuh berkah dapat diwujudkan. Namun, semua ini hanya bisa terwujud jika kita, sebagai umat, berusaha sungguh-sungguh untuk kembali kepada Islam dan mendukung tegaknya kepemimpinan Islam kembali. Bukan sekadar solusi teknis yang bersifat parsial, tetapi solusi menyeluruh yang berakar pada tauhid dan ketaatan kepada Allah SWT. Inilah saatnya kita berhenti mencari jalan keluar dari sistem yang rusak dan beralih kepada sistem kehidupan yang benar, yaitu Islam. Dengan muhasabah, bertaubat, dan terus berupaya menegakkan Islam, kita berharap bumi ini kembali diberkahi Allah, bencana dapat terhindarkan, dan umat manusia dapat hidup dalam kesejahteraan dan kedamaian yang hakiki.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar