Bencana Dimana-mana, Saatnya Kembali Kepada Aturan Islam Kaffah


Oleh: Ai Sopiah 

Lagi-lagi terdengar berita bencana, pada rabu pagi (4/12/2024), dikabarkan sejumlah wilayah di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat terdampak bencana akibat hujan deras yang mengguyur sejak Senin (2/12). Pada saat itu Sungai Cimandiri juga meluap.

Sekitar pukul 06.00 WIB, air mulai merayap masuk ke dalam rumah warga. Awalnya hanya setinggi lutut, namun seiring berjalannya waktu, air dari Sungai Cimandiri yang meluap terus meninggi hingga akhirnya menenggelamkan seluruh ruangan rumahnya.

Banjir yang terjadi itu merupakan dampak dari hujan deras yang mengguyur Kabupaten Sukabumi selama dua hari berturut-turut. Sungai Cimandiri meluap dan merendam puluhan rumah di Kampung Mariuk, RT 01, RW 01, Desa Cidadap, Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi. 

Bencana menerjang di sejumlah wilayah di Kabupaten Sukabumi, nyaris merata. Catatan terakhir yang diperoleh detikJabar, tercatat 10 orang meninggal dunia dan dua lainnya masih dalam pencarian akibat bencana alam di berbagai wilayah. Dan Berdasarkan data dari BPBD Kabupaten Sukabumi, hingga Sabtu (7/12/2024) pukul 17.30 WIB, setidaknya ada 328 titik bencana yang tersebar di 39 kecamatan. (Detikjabar, 8/12/2024).

Banjir dan longsor sering dianggap sebagai akibat langsung dari curah hujan yang tinggi dan meluapnya sungai. Dengan mencermati faktor-faktor lainnya, penyebab banjir bandang di Sukabumi secara umum erat kaitannya dengan ulah tangan manusia, khususnya dari sisi kerusakan alam dan lingkungan.

Salah satu contohnya adalah pembangunan proyek eksplorasi panas bumi (slim hole) pada 2021 di Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi. Presiden Prabowo menyebutkan bahwa panas bumi adalah salah satu batu pijakan untuk mencapai swasembada energi yang memainkan peranan penting bagi Indonesia untuk mewujudkan ketahanan energi nasional.

Namun, banyak dampak negatif yang dirasakan oleh warga terkait pembangunan tersebut, misalnya permukiman warga yang harus dilewati oleh kendaraan berat. Belum lagi prosedur Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang belum diselesaikan terkait aktivitas eksplorasi panas bumi di lokasi itu.

Selain itu, fokus utama pembangunan menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Sukabumi 2021—2026 adalah peningkatan infrastruktur dalam rangka meningkatkan kualitas serta konektivitas wilayah sehingga bisa meningkatkan ekonomi.

Semua pembangunan ini berkonsekuensi terjadinya alih fungsi kawasan hutan yang berperan penting bagi fungsi ekologis tanah dan penyerapan air. Namun sayang, upaya untuk menyolusi bencana alam akibat faktor lingkungan tersebut selama ini masih berupa langkah-langkah teknis. Misalnya dengan meningkatkan edukasi dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah, membangun dan memperbaiki sistem pengelolaan sampah seperti Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS), melakukan pengolahan air limbah dan menjaga kelestarian sumber air, serta menerapkan tata ruang yang berkelanjutan dan upaya mitigasi kebencanaan.

Terjadinya bencana alam memang layak membuat kita muhasabah. Namun, kita tidak bisa menampik bahwa bencana alam di Sukabumi sejatinya bersifat sistemis. Ini tampak dari penanganan bencana dari tahun ke tahun yang tidak menunjukkan perubahan signifikan, padahal hampir tiap tahun data rekomendasi kerentanan bencana dari Badan Geologi selalu diperbaharui dan diberikan kepada pemda terkait.

Bencana yang berulang dan menjadi langganan ini menegaskan lalai dan abainya penguasa untuk mengurus rakyatnya. Ini sekaligus membuktikan bahwa solusi teknis sudah tidak mampu menanggulangi. Ini juga harus menjadi pelajaran untuk mitigasi bencana alam di daerah yang lain.

Allah SWT. berfirman,
ظَهَرَ الْفَسَا دُ فِى الْبَرِّ وَا لْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّا سِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS. Ar-rum: 41).

Maka, solusinya tidak lain adalah dengan kembali kepada aturan Allah SWT. sebagai pedoman dalam kehidupan, termasuk dalam pengambilan berbagai kebijakan politik oleh penguasa. Penguasa semestinya malu jika ada julukan “banjir tahunan” atau “bencana alam langganan”. Hal itu menunjukkan sikap abai terhadap mitigasi bencana, alih-alih mengantisipasinya. Sudah semestinya penguasa kembali pada hakikat kekuasaan yang dimilikinya, yakni semata demi menegakkan aturan Allah Taala dan meneladan Rasulullah Saw. dalam rangka mengurus urusan umat.

Rasulullah Saw. bersabda,
الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (Khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya atas rakyat yang diurusnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). 

Di dalam Islam, negara adalah raa’in (pengurus) rakyat yang bertanggung jawab terhadap nasib rakyat, termasuk saat terjadi bencana. Pembangunan dalam Islam juga mengandung visi ibadah, yaitu bahwa pembangunan harus bisa menunjang visi penghambaan kepada Allah SWT. Untuk itu, jika suatu proyek pembangunan bertentangan dengan aturan Allah ataupun berdampak pada terzaliminya hamba Allah, pembangunan itu tidak boleh dilanjutkan. Sudah saatnya kita muhasabah menyikapi bencana alam yang terjadi dan berganti menerapkan aturan Islam.

Pemimpin/Khalifah juga akan secara sungguh-sungguh melakukan mitigasi secara disiplin sehingga bisa meminimalkan risiko akibat bencana banjir. Khilafah akan mengerahkan segala sumber daya yang ada demi segera terselesaikannya bencana banjir, meski untuk itu butuh biaya yang besar.

Khalifah akan menjamin ketersediaan dana dalam menanggulangi bencana banjir. Negara tidak akan melimpahkan tanggung jawabnya pada swadaya masyarakat. Berapa pun dana yang dibutuhkan, negara akan memenuhinya. Hal ini mudah dilakukan karena Khilafah memiliki sumber pemasukan yang beragam, bukan didominasi oleh utang dan pajak sebagaimana terjadi saat ini.

Di dalam baitulmal Khilafah terdapat pos khusus untuk keperluan bencana alam. Syekh Abdul Qadim Zallum menjelaskan di dalam kitab Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah bahwa pada bagian belanja negara terdapat Seksi Urusan Darurat/Bencana Alam (Ath-Thawaari). Seksi ini memberikan bantuan kepada kaum muslim atas setiap kondisi darurat/bencana yang menimpa mereka.

Biaya yang dikeluarkan oleh seksi ini diperoleh dari pendapatan fai dan kharaj serta dari harta kepemilikan umum. Apabila tidak mencukupi, kebutuhannya dibiayai dari harta kaum muslim secara sukarela.

Rakyat tidak perlu khawatir, ketersediaan dana untuk bencana akan terwujud karena dalam Islam tidak ada model APBN seperti dalam sistem hari ini yang bersifat tahunan sehingga kerap kali dana yang ada tidak mencukupi. 

Maka sudah saatnya kita mewujudkan kembali kesejahteraan yang pernah ada pada masa peradaban Islam 13 abad lamanya. Mari kita bersama berjuang untuk menerapkan dan mengganti sistem kufur dengan sistem Islam dalam naungan Khilafah 'ala minhaj an-nubuwwah.

Wallahua'lam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar