"Guru Berdaya, Indonesia Jaya" Hanyalah Slogan Semata Tanpa Makna Dalam Sistem Kapitalisme


Oleh : Annisa J (Aktivis Dakwah Muslimah)

25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Setiap tahun masyarakat merayakan hari tersebut guna mengingatkan pada khalayak akan peran guru yang sangat penting. Sosoknya yang dipandang sebagai tokoh yang mencerdaskan generasi bangsa merupakan bagian dari tonggak berdirinya suatu negara. Tanpa guru, apa jadinya negara ini. 
 
Perayaan Hari Guru Nasional tahun ini sudah memasuki tahun ketiga puluh semenjak diberdirikan pada tanggal yang sama ditahun 1994. Dimana tanggal tersebut bertepatan dibentuknya Persatuan Guru Republik Indonesi (PGRI). 
 
Dalam pidato sambutan oleh Menag RI pada Hari Guru Nasional lalu yang bertemakan 'Guru Berdaya, Indonesia Jaya' mengajak semua lini masyarakat untuk mendukung peran guru dalam mencetak generasi emas bangsa.
 
''Marilah kita semua, baik sebagai pendidik, orang tua, maupun masyarakat umum, berdiri bersama untuk mendukung peran guru dalam mencetak generasi emas bangsa. Karena pada akhirnya, masa depan peradaban dunia, termasuk kejayaan Indonesia, bertumpu pada kualitas pendidikan yang diberikan oleh guru-guru kita.''
 
''Namun demikian guru harus mendapatkan perhatian dan apresiasi yang layak dari pemerintah dengan tetap memperhatikan kesejahteraan dan peningkatan kualitas agar mereka dapat melahirkan generasi muda yang unggul dan berjiwa mulia. Kebijakan terkait kesejahteraan guru perlu didorong dan diimplementasikan secara lebih nyata sebagai mandat dari UU.''
 
Namun, pada kenyataannya sambutan yang tampak mulia tersebut tidak sesuai dengan realita dan slogan yang diagungkan. Guru, sebagaimana yang kita lihat saat ini sungguh nasibnya sangat ironi. Mereka menjadi korban ketidakberdayaan pemerintah dalam mensejahterakan peran mereka. Dari mulai permasalahan guru honorer dengan gaji yang tidak layak. Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) dan GREAT Edunesia Dompet Dhuafa menunjukkan sebanyak 74% guru honorer memiliki penghasilan di bawah Rp. 2 juta perbulan bahkan 20,5% di antaranya masih berpenghasilan di bawah Rp. 500 ribu.
 
Maraknya kriminalisasi guru membuktikan tidak adanya jaminan terhadap profesi mereka. Aturan dan sikap orangtua siswa yang mengebiri peran guru membuat mereka khawatir untuk menegur anak didiknya karena takut dilaporkan. Sehingga menjadikan tugas guru terbatas pada mengajar, tidak mendidik. Tentu ini akan berpengaruh pada kualitas bangsa. Generasi akan terbentuk menjadi anak-anak yang cerdas. Akan tetapi, minim perilaku baik. Padahal dalam UU 14/2005 tercantum bahwa guru sebagai tenaga pendidik profesional. Mendidik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya memelihara dan memberikan latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. 
 
Tidak sampai disitu, problematika lain yang membelit guru adalah profesinya yang kini tak tercermin dengan sebagaimana mestinya. Tidak sedikit dari mereka yang terjerat kasus kriminal. Menjadi pelaku bullying, kekerasan fisik dan seksual, hingga terjerat judol dan pinjol. 
 
Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut guru menjadi kelompok masyarakat yang paling banyak terjerat pinjaman online. Diketahui guru menduduki peringkat pertama dengan prosentase sebanyak 42%. Ini dikarenakan kesejahteraan guru tidak terjamin pula. Bagaimana mungkin kita berharap para guru ini akan meningkatkan kualitas peserta didik jika fokusnya teralihkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari?
 
Keterbatasan fasilitas dan sumber daya menjadi kendala dalam mencerdaskan bangsa. Belum lagi kurikulum yang terus bergonta-ganti dan kini diterapkan adalah kurikulum merdeka telah mengamputasi ruh pendidikan. Teknologi yang menjadi instrumen kurikulum ini justru disalahgunakan dan mematikan motivasi belajar peserta didik. Mereka menjadi generasi pemalas yang tidak mau berpikir kritis dan cenderung instan hingga liberal.
 
Dalam sistem Kapitaslime-Sekulerisme merupakan keniscayaan guru bisa mendapatkan keamanan dan kesejahteraan. Karena mereka hanya sebagai pekerja semata. Tugasnya pun tidak terlepas dari kebijakan pendidikan sistem yang ada. Seperti halnya gaji hingga kurikulum yang digunakan. Aturan yang menjamin profesi guru tidak bisa tegak ketika ada yang berkuasa sehingga membuat guru terintimidasi.
 
Berbeda halnya dengan islam. Islam memiliki mekanisme aturan yang dapat menjamin keamanan dan kesejahteraan guru. Karena guru adalah pihak yang berjasa dalam mencetak generasi emas. Oleh karena itu profesi ini dipandang mulia. Amanah dan tanggungjawabnya begitu besar. Mereka adalah sosok yang berperan penting dalam membangun peradaban yang gemilang. Seperti halnya yang terjadi pada abad pertengahan ketika islam berjaya dan menerapkan aturan serta kebijakannya yang berbasis aqidah islam itu sendiri. 
 
Islam dalam basis negara akan betanggungjawab penuh dalam mewujudkan sistem pendidikan yang shahih. Karena islam memandang bahwasanya pendidikan adalah sesuatu yang vital. Menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban. Rasulullah shalallahu 'alahi wa salam bersabda, ''Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.'' (HR. Ibnu Majah)
 
Peran strategis pendidikan tidak bisa diukur dari keuntungan materi semata. Bahkan masyarakat, sekolah, orangtua siswa dan negara begitu penting untuk membantu guru dalam menjalani profesinya sehingga guru tidak akan berperan sendirian sebagaimana sistem kapitalisme sekarang. 
 
Untuk itu negara islam (khilafah) dalam menyelenggarakan sistem pendidikan akan bersinergi dengan sistem politik dan ekonominya serta sosial budaya yang diatur oleh syariat islam. Untuk mewujudkan keamanan dan kesejahteraan pendidikan dan tenaga pendidik, khilafah akan mengelola batul mal sebaik mungkin. Pembiayaan seluruh pendidikan dari jenjang bawah hingga tinggi, gaji guru dan dosen sampai fasilitas dan sumber daya, semuanya ditanggung negara.
 
Sumber pembiayaan ini diperoleh dari kepemilikan negara dan umum. Yakni fa'i, kharaj serta jizyah. Kemudian dari kekayaan alam berupa tambang emas dan minyak, hutan dan lautan akan dikelola dan didistribusikan sebesar-besar kepentingan rakyat. Karena khalifah (pemimpin dalam khilafah) memiliki tanggungjawab atasnya. Sebagaimana Rasululllah shalallahu 'alahi wa salam bersabda, ''Imam (Khalifah) adalah pengurus dan bertanggungjawab terhadap rakyat yang diurusnya.'' (HR. Muslim dan Ahmad)
 
Bisa kita dapati contohnya pada masa khalifah Umar bin Khattab gaji guru mencapai 4-15 dinar perbulan. Dengan harga emas murni saat ini yang mencapai Rp. 1,5 juta per gram. Dan berat 1 dinar sebanyak 4, 25 gram. Maka gaji guru perbulan bisa mencapai Rp. 25 juta - Rp. 95 juta. 
 
Dengan gaji sebanyak ini maka guru tidak akan pusing dan berat menanggung beban hidupnya. Mereka pun bisa fokus mengajar serta mendidik. Negara khilafah juga akan memastikan guru-guru mendapatkan peningkatan dalam hal kualitas ilmunya. Karena salah satu peran mereka adalah membentuk kepribadian peserta didik. Guru wajib menjadi teladan yang digugu dan ditiru. Maka dari itu, guru merupakan profesi yang mulia sebagaimana yang dikatakan Imam al-Ghazali, ''Siapa saja yang berilmu dan mengajarkannya, maka ia disebut orang besar di segenap penjuru langit.''
  
Keniscayaan ini hanya akna terwujud apabila kembali kepada sistem yang benar sebagaimana yang dijelaskan di atas yakni kembali kepada sistem islam.



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar