Ironi Hari Guru: Kompleksitas Persoalan Guru vs Persoalan Murid


Oleh : Ratna Ummu Rayyan

Perayaan Hari Guru seringkali hanya menjadi acara seremonial tanpa menyentuh inti permasalahan yang dihadapi guru. Di balik peringatan ini, banyak guru menghadapi realitas pahit: gaji yang tidak layak, peran mereka yang direduksi hanya sebagai pekerja, hingga rentannya mereka terhadap kriminalisasi. Selain itu, ada juga kasus guru yang justru terlibat dalam tindakan kontraproduktif seperti perundungan, kekerasan, hingga masalah perjudian. Situasi ini mencerminkan bahwa guru hanyalah korban dari sistem yang rusak, yakni sistem sekularisme kapitalisme yang memisahkan agama dari kehidupan.  

Dalam kapitalisme, penguasa sebenarnya adalah para pemilik modal, sehingga orientasi hidup berpusat pada materi. Dalam sistem pendidikan, guru tidak lagi dipandang sebagai pendidik, melainkan hanya faktor produksi untuk mencetak tenaga kerja bagi industri. Hilangnya nilai spiritual dalam pendidikan ini menyebabkan guru dan murid sama-sama rentan terlibat dalam perundungan atau masalah moral lainnya.  

Selain itu, kapitalisme telah meminggirkan agama dalam kehidupan, sehingga kesejahteraan guru terabaikan. Gaji yang minim dan mahalnya biaya hidup akibat liberalisasi ekonomi membuat banyak guru harus mencari pekerjaan tambahan atau bahkan terjebak dalam utang dan praktik-praktik tidak etis. Kondisi ini tentu berpengaruh pada kemampuan mereka dalam menjalankan tugas sebagai pendidik generasi. Selama sistem kapitalisme bertahan, penghormatan, perlindungan, dan kesejahteraan bagi guru sulit diwujudkan.  

Berbeda dengan kapitalisme, Islam memposisikan guru dengan penghormatan tinggi. Dalam sistem Islam yang diterapkan oleh Daulah Khilafah, guru tidak hanya dihormati tetapi juga dilindungi. Negara memberikan fasilitas pendidikan gratis, pelatihan berkala, diskusi ilmiah, serta sarana pendukung lainnya untuk memastikan kualitas guru. Standar kualifikasi guru dalam Islam juga sangat tinggi. Guru haruslah seseorang yang bertakwa, berakhlak mulia, memiliki ilmu pengetahuan luas, disiplin, profesional, dan mampu mendidik generasi. Seleksi ketat ini memastikan hanya individu yang benar-benar kompeten yang diizinkan mengajar.  

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jadilah pendidik yang menyantun. Ahli fikih dan ulama disebut pendidik, apabila seseorang mendidik manusia dengan memberikan ilmu sedikit demi sedikit hingga menjadi banyak.” (HR Bukhari). Hadis ini menggambarkan betapa mulianya peran seorang guru dalam Islam.  

Khilafah juga memastikan kesejahteraan guru melalui kebijakan gaji yang sangat tinggi. Sebagai contoh, pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid, guru umum menerima gaji tahunan sebesar 2.000 dinar, setara dengan Rp12,75 miliar per tahun, sedangkan ulama ahli hadis menerima hingga Rp25,5 miliar per tahun. Bahkan, Imam Al-Waqidi, seorang ulama terkemuka, menerima gaji hingga 40.000 dinar atau sekitar Rp255 miliar per tahun. Gaji sebesar ini memastikan para guru fokus mengajar tanpa harus mencari pekerjaan tambahan.  

Selain itu, kebutuhan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan juga disediakan secara gratis oleh negara. Dengan demikian, gaji guru lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dan keluarga. Di bawah Khilafah, guru juga dijamin keamanannya. Tidak akan ada kriminalisasi atau perundungan terhadap guru, karena syariat Islam menekankan adab dan akhlak mulia terhadap pendidik.  

Keberkahan sistem Islam dalam mengelola profesi guru akan terasa nyata jika umat kembali pada penerapan syariat Islam secara menyeluruh. Dengan Islam sebagai dasar kehidupan, para guru dapat menjalankan tugas mereka secara optimal, dan generasi yang dididik pun akan menjadi generasi yang unggul. Tidakkah kita merindukan tatanan seperti ini?




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar