Oleh: Ferdina Kurniawati (Aktivis Dakwah Muslimah)
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kutai Timur (Kutim), Asti Mazar, menyoroti lonjakan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kutim . Sejak awal tahun hingga Oktober 2024, telah tercatat 72 kasus kekerasan yang mengkhawatirkan.
“Ini merupakan situasi yang memerlukan tindakan serius dari semua pihak terkait, terutama dari Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak Kutim. Kita harus menemukan solusi untuk mengatasi masalah ini dengan cepat,” ujar Asti Mazar.
Politisi Golkar itu menambahkan penanganan dan pencegahan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak harus melibatkan berbagai pihak, termasuk keluarga dan institusi pendidikan.
“Orang tua harus aktif memantau interaksi anak-anak mereka, dan sekolah perlu memainkan peran mereka dalam mengedukasi dan melindungi siswa dari kekerasan,” tuturnya.
Ia juga menekankan pentingnya tindakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan untuk memberikan efek jera dan mencegah kejadian serupa di masa depan. “Kita harus tegas dalam menindak pelaku dan memberikan perlindungan maksimal kepada korban,” tegas Asti.
Menurut Asti, pentingnya kerja sama antar instansi dalam mengatasi masalah ini tidak bisa diabaikan. Ia mengajak semua pihak untuk berkolaborasi dalam menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung untuk perempuan dan anak di Kutai Timur.
Penyebab Kekerasan
KPAI menyatakan, tingginya angka kekerasan yang dialami anak pada lingkungan satuan pendidikan disebabkan adanya learning loss sebagai dampak dari pembelajaran jarak jauh pada masa pandemi Covid-19, juga pengaruh gim daring dan tayangan media sosial yang tidak ramah anak. Menurut KPAI, hal-hal tersebut membuat karakter, akhlak, serta budi pekerti anak menjadi lemah.
Penyebab lainnya adalah adanya penyimpangan relasi kuasa antara pendidik dan peserta didik maupun penyimpangan relasi kuasa antarpeserta didik. Kakak kelas merasa lebih kuat sehingga melakukan kekerasan kepada yang adik kelas atau yang lebih lemah.
KPAI juga mengungkap bahwa penyelenggaraan struktur kurikulum dan metode pembelajaran hanya terfokus pada kognitif sehingga perhatian pada pendidikan karakter menjadi kurang. Ditambah lagi dengan lemahnya pengawasan, kontrol kebijakan, dan aturan dari satuan pendidikan.
Kontrol diri yang rendah pada peserta didik dan keluarga yang tidak harmonis juga menjadi penyebab kekerasan di lingkungan satuan pendidikan. Selain itu, penyebab kekerasan pada anak adalah rendahnya kebijakan sekolah dalam menciptakan rasa aman dan ramah serta pengawasan disiplin di satuan pendidikan.
Kehidupan Sekuler
Kekerasan di sekolah merupakan hal yang memprihatinkan. Sekolah seharusnya menjadi tempat untuk mendidik anak hingga menjadi sosok yang berkepribadian baik. Namun, saat ini, anak justru kerap mendapatkan hal-hal buruk di sekolah.
Hal ini tidak lepas dari warna kehidupan sekuler yang melingkupi masyarakat. Kehidupan sekuler menghasilkan generasi yang sekuler pula. Mereka jauh dari tuntunan agama sehingga kepribadiannya menjadi tidak baik. Kehidupan sekuler itu ibarat kolam lumpur yang membuat siapa pun yang ada di dalamnya akan menjadi kotor. Kalaupun ada yang tetap bersih, jumlahnya sedikit.
Anak-anak hari ini, dididik secara sekuler. Kurikulum pendidikan yang diajarkan pada mereka adalah kurikulum sekuler. Meski pada anak-anak yang sekolah di madrasah sekalipun, kurikulumnya juga sekuler. Akibatnya, lahirlah generasi sekuler yang tidak mengenal agamanya sendiri, padahal ia muslim sejak lahir.
Anak-anak hasil didikan sekularisme akan berbuat semaunya karena tidak ada agama yang menuntun perilakunya. Mereka melakukan kekerasan, perundungan, kenakalan, dll. karena mereka tidak mengenal halal haram. Dengan dalih kebebasan, perilaku mereka menjadi serba boleh.
Oleh karenanya, untuk menghentikan kekerasan di sekolah, mutlak harus mengubah warna kehidupan dari sekuler menjadi islami. Untuk mewujudkan kehidupan yang islami, butuh perubahan sistem, yaitu dari sistem sekuler kapitalisme menjadi sistem Islam. Untuk mewujudkan sistem Islam, kita butuh mengubah landasan kehidupan menjadi berdasarkan akidah Islam.
Cara Islam Menyelesaikan Kekerasan di Sekolah
Sistem pendidikan Islam berasaskan akidah Islam. Dengan demikian, kurikulumnya juga bersumber dari Islam. Output-nya adalah generasi yang berkepribadian (syahsiah) Islam, yaitu pola pikir (akliah) dan pola sikapnya (nafsiah) islami.
Dengan kata lain, generasi hasil didikan Islam adalah generasi yang bertakwa. Mereka tidak akan berbuat zalim kepada temannya, misalnya dengan melakukan kekerasan, perundungan, menghina, dan sebagainya. Hal ini karena mereka meniru akhlak Rasulullah saw., juga mereka raja’ (berharap) meraih surga dan khauf (takut) akan murka Allah Taala.
Sistem Islam juga akan mengembalikan fungsi keluarga sebagai tempat tarbiyah (pendidikan dan pembinaan) bagi anak. Saat ini fungsi tersebut mandul karena kedua orang tua dituntut oleh sistem untuk semuanya bekerja keluar rumah demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Adapun di dalam sistem Islam, negara menjamin kebutuhan dasar berupa pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara langsung. Negara menyediakan sekolah, kampus, rumah sakit, dan fasilitas kesehatan lainnya secara gratis sehingga masyarakat tidak terbebani biaya untuk mengaksesnya.
Masyarakat hanya memenuhi kebutuhan berupa sandang, pangan, dan papan. Untuk kebutuhan ini, negara memberikan fasilitas yang memudahkan para laki-laki untuk bekerja, yaitu dengan membuka lapangan kerja, memberikan bantuan modal untuk berbisnis, memberi tanah untuk bercocok tanam, memberikan pelatihan sehingga terbentuk skill untuk bekerja, dan lainnya. Dengan demikian, para laki-laki bisa menafkahi keluarganya dengan baik.
Adapun perempuan, mereka tidak diwajibkan bekerja sehingga bisa optimal menjalankan tugas utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah. Mereka mendidik anak-anaknya dengan Islam sehingga melahirkan generasi yang berkepribadian Islam.
Para laki-laki, meski bekerja, juga memahami peran pentingnya dalam pendidikan anak sehingga turut serta mendidik anak sehingga tidak ada fenomena fatherless. Anak-anak pun mendapatkan kasih sayang dan pendidikan yang berimbang dari kedua orang tuanya.
Selain itu, Khalifah sebagai pemimpin negara akan menjaga anak-anak agar tidak terkena pengaruh negatif dari media. Khalifah akan mengatur media massa dan media sosial agar tidak menayangkan konten yang tidak islami. Bahkan, gim daring mungkin akan dijauhkan dari kehidupan umat karena terkategori permainan yang melalaikan.
Syekh Az-Zuhaili mengatakan, “Dan wajib bagi seorang ayah mengatur waktu anaknya saat tidur dan bangun, guna menjaga kesehatannya. Setiap sesuatu yang menjadi perantara pada keharaman, maka hukumnya haram, hingga alat permainan yang hukum asalnya mubah maupun makruh.” (Syekh Zuhaili, Fatawa Mu’ashirah, 2003: hlm. 200).
Demikianlah solusi Islam untuk menghentikan kekerasan pada anak-anak, termasuk di sekolah. Tampak bahwa solusi tersebut membutuhkan peran keluarga, masyarakat, sekolah, dan negara. Alhasil, solusinya hanya akan terwujud dengan penerapan sistem Islam di bawah institusi negara Khilafah. Wallahualam bissawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar