Oleh: Widya Rahayu (Lingkar Studi Muslimah Bali)
Rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 terus menuai kontroversi. Kebijakan ini dianggap memberatkan masyarakat, terutama di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pascapandemi. Meskipun pemerintah beralasan bahwa kenaikan PPN akan digunakan untuk mendukung program seperti makanan bergizi gratis bagi masyarakat, kebijakan ini tetap menjadi pukulan bagi rakyat kecil.
Dalam laporan BeritaSatu (18/12/2024), Menteri Keuangan menyatakan bahwa kenaikan PPN ini tidak akan berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun, kenyataannya, masyarakat kecil merasakan beban langsung dari kebijakan ini. Meski pemerintah menetapkan batasan barang-barang yang terkena kenaikan PPN dan memberikan subsidi serta bantuan sosial, hal itu tidak cukup untuk meringankan penderitaan rakyat.
Petisi penolakan kenaikan PPN yang diajukan masyarakat pun tidak membuahkan hasil. BeritaSatu (18/12/2024) melaporkan bahwa petisi tersebut telah diterima oleh Sekretariat Negara, tetapi keputusan tetap berjalan sesuai rencana. Kondisi ini mencerminkan pola kepemimpinan yang cenderung populis otoriter, di mana kebijakan diambil tanpa mempertimbangkan suara rakyat.
Analisis Kebijakan Kenaikan PPN
Kenaikan PPN menjadi salah satu langkah pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara. Namun, kebijakan ini justru menjadi ironi, mengingat mayoritas masyarakat masih bergulat dengan kenaikan harga kebutuhan pokok.
Pertama, meskipun pemerintah membatasi barang-barang tertentu yang terkena PPN, kenaikan ini tetap berdampak pada harga barang secara umum. Barang-barang yang tidak dikenakan PPN sekalipun dapat mengalami kenaikan harga akibat efek domino dari biaya distribusi dan produksi yang meningkat.
Kedua, subsidi dan bantuan sosial (bansos) yang diberikan pemerintah hanya bersifat sementara. Subsidi listrik atau bansos makanan tidak mampu menutupi kebutuhan hidup rakyat secara menyeluruh. Sementara itu, kenaikan PPN bersifat permanen dan terus membebani masyarakat.
Ketiga, kebijakan ini menunjukkan adanya ketimpangan prioritas. Di satu sisi, pemerintah terus berupaya menarik pajak dari rakyat, tetapi di sisi lain, pengelolaan sumber daya alam yang menjadi hak rakyat tidak dimanfaatkan secara maksimal untuk kesejahteraan mereka.
Kepemimpinan Populis Otoriter
Kebijakan kenaikan PPN ini menjadi cerminan dari kepemimpinan populis otoriter, di mana pemerintah merasa cukup memberikan subsidi dan bansos sebagai solusi sementara. Namun, di balik itu, kebijakan yang diambil tetap memberatkan rakyat. Protes rakyat, termasuk petisi penolakan, diabaikan begitu saja.
Hal ini menunjukkan lemahnya relasi antara penguasa dan rakyat. Dalam sistem demokrasi kapitalis, kebijakan sering kali dibuat untuk memenuhi kebutuhan fiskal negara, bukan kebutuhan rakyat. Rakyat hanya menjadi objek yang dimanfaatkan untuk mendukung kebijakan, tanpa diberi ruang untuk menyampaikan aspirasi secara efektif.
Islam Menawarkan Solusi Hakiki
Berbeda dengan sistem kapitalis yang sering mengabaikan kepentingan rakyat, Islam menawarkan sistem kepemimpinan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Dalam Islam, penguasa dipandang sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyatnya. Rasulullah ï·º bersabda: “Imam (pemimpin) adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Islam menetapkan bahwa penguasa wajib mengurus rakyatnya secara adil dan memastikan kesejahteraan setiap individu. Dalam konteks kebijakan fiskal, Islam tidak membebani rakyat dengan pajak yang memberatkan. Sebaliknya, negara memanfaatkan sumber daya alam dan harta milik umum untuk memenuhi kebutuhan rakyat.
Islam juga mengatur pendanaan negara melalui mekanisme seperti zakat, jizyah, kharaj, dan pengelolaan aset-aset publik. Dana ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, termasuk menyediakan layanan kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan pokok lainnya. Dengan sistem ini, rakyat tidak perlu dibebani dengan pajak seperti PPN.
Penguasa dalam Islam: Pelindung dan Pelayan Rakyat
Dalam sistem Islam, penguasa wajib membuat kebijakan yang tidak menyulitkan rakyat. Setiap keputusan harus didasarkan pada prinsip kemaslahatan, bukan sekadar untuk menutupi defisit anggaran atau meningkatkan pendapatan negara.
Kenaikan PPN yang diterapkan pemerintah saat ini bertentangan dengan prinsip tersebut. Kebijakan ini tidak hanya menyulitkan rakyat secara ekonomi, tetapi juga menunjukkan kurangnya kepedulian terhadap suara rakyat. Islam mengajarkan bahwa penguasa harus mendengarkan dan memperhatikan kebutuhan rakyatnya, bukan sekadar menjalankan kebijakan yang menguntungkan pihak tertentu.
Kesimpulan
Kenaikan PPN menjadi bukti nyata bahwa kebijakan pemerintah sering kali tidak berpihak pada rakyat kecil. Meskipun ada subsidi dan bansos, kebijakan ini tetap menambah beban hidup masyarakat. Petisi penolakan rakyat yang diabaikan semakin menunjukkan bahwa suara rakyat tidak menjadi prioritas dalam pengambilan keputusan.
Islam menawarkan solusi yang lebih manusiawi dan berkeadilan. Dengan menjadikan penguasa sebagai pelayan rakyat dan memanfaatkan sumber daya alam untuk kesejahteraan bersama, Islam mampu menciptakan sistem yang tidak hanya adil, tetapi juga berorientasi pada kemaslahatan rakyat secara keseluruhan.
Sudah saatnya kita mempertimbangkan paradigma baru dalam pengelolaan negara yang benar-benar mendengarkan dan memenuhi kebutuhan rakyat. Dengan menerapkan sistem Islam yang kafah, kebijakan yang menyulitkan rakyat seperti kenaikan PPN tidak akan terjadi, dan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud secara nyata.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar