Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Klub Premier League tengah meramaikan pekan inklusif dari Rainbow Laces Stonewall, organisasi yang mendorong inklusivitas bagi LGBTQ+ di Inggris pada 29 November hingga 5 Desember nanti. Mereka biasanya memakai pernak-pernik pelangi, dari bendera corner hingga ban kapten saat bertanding.
Sam Morsy, kapten Ipswich Town, tidak memakainya. Saat melawan Nottingham Forest akhir pekan lalu, pemain asal Mesir itu mengenakan ban kapten biasa. Ipswich mengungkap alasannya. Meski mendorong isu keragaman dengan mendukung hak-hak LGBTQ+, The Tractor Boys juga tak memaksa sang kapten memakai ban pelangi karena faktor agamanya. Sam Morsy beragama muslim. Karena alasan itu, gelandang bertahan 33 tahun tersebut enggan memakainya. (detikcom, 3/12/2024).
Maa syaa Allah, begitu kuatnya dia mempertahankan akidahnya di tengah pekerjaan dan lingkungannya yang liberal. Hanya saja hal demikian tidak bisa menghentikan ketidakwajaran ini apalagi sampai mengagungkan HAM bahwa mereka yang mendukung LGBTQ+ ternyata sangat menghargai ketidakmauan sang kapten.
Bila terjadi kesalahpahaman seperti itu, sudah dapat dipastikan akan lebih banyak pendukung LGBTQ+ dan menolak syariat karena dianggap intoleran. Dan itulah yang sebenarnya mereka inginkan. Mendapat pengakuan dari dunia bahwa mereka berhak menentukan pilihan termasuk dalam pemuasan nafsu seksual.
Menurut kaum liberal, menjadi lesbian, gay, biseks maupun transgender adalah sebuah pilihan sebagai bagian dari hak asasi. Kalau pun kemudian muncul masalah, maka itu dianggap karena kurangnya pengaturan baik dari masyarakat maupun negara, bukan karena salahnya pilihan mereka. Ini jelas pandangan yang salah. LGBTQ+ bukan pilihan bagi orang normal, tapi pilihan bagi orang abnormal. LGBTQ+ adalah sebuah penyimpangan dari fitrah manusia.
Di dalam Kitab an Nizham al Ijtima’iy, Syekh Taqiyuddin An Nabhani memberikan penjelasan bahwa Allah SWT. memberikan kepada manusia berbagai naluri (gharaa’iz) yang di antaranya adalah naluri melestarikan keturunan (gharizah nau’). Naluri ini bisa dipuaskan oleh manusia dengan berbagai macam cara. Bisa juga dengan hubungan sesama jenis (homoseksual atau lesbian) atau bahkan bisa dipuaskan dengan binatang atau sarana lainnya.
Tetapi, dari berbagai cara dan sarana tersebut, tidak mungkin mewujudkan tujuan diciptakannya naluri tersebut oleh Allah SWT. kecuali dalam satu kondisi, yaitu pemuasan naluri tersebut oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan atau sebaliknya. Dan tentu saja itu dalam ikatan pernikahan syar’i, bukan zina. Dengan itulah bisa tercapai tujuan penciptaan laki-laki dan perempuan yaitu demi untuk kelangsungan jenis manusia dengan segenap martabatnya.
Sebagaimana firman Allah SWT.:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَٰحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَآءً ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa : 1).
Cara pemuasan gharizah nau’ yang dibebaskan tanpa bimbingan dan petunjuk wahyu, sangatlah berbahaya. Kerusakan generasi, terputusnya keturunan, penyebaran penyakit menular, dan berbagai keburukan menjadi dampaknya.
Oleh karena itu, perilaku LGBTQ+ adalah haram dalam pandangan Islam. Pelakunya dilaknat dan layak mendapat sanksi sesuai syariat Islam. Rasul Saw. bersabda, “Dilaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Nabi Luth (homoseksual).” (HR. at-Tirmidzi dan Ahmad dari Ibnu Abbas).
Al-Quran juga menyebutkan perilaku homoseksual yang dipresentasikan kaum Nabi Luth as. di beberapa ayat. Allah SWT. berfirman,
إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ ٱلرِّجَالَ شَهْوَةً مِّن دُونِ ٱلنِّسَآءِ ۚ بَلْ أَنتُمْ قَوْمٌ مُّسْرِفُونَ
“Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu kalian (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kalian ini kaum yang melampaui batas.” (QS. Al-A’raaf: 81).
Pakar ilmu tafsir, Al-Baghawi rahimahullah, menjelaskan makna “musyrifiin (melampui batas)” dalam ayat ini,
مجاوزون الحلال إلى الحرام
“Melampui batasan yang halal (beralih) kepada perkara yang haram.” (Tafsir Al-Baghawi).
Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah berkata,
متجاوزون لما حده اللّه متجرئون على محارمه
“Melampui batasan yang telah Allah tetapkan lagi berani melanggar larangan-Nya yang haram dikerjakan.” (Tafsir As-Sa’di).
Allah SWT. berfirman:
وَلُوْطًا اِذْ قَا لَ لِقَوْمِهٖۤ اَتَأْتُوْنَ الْفَا حِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ اَحَدٍ مِّنَ الْعٰلَمِيْنَ
"Dan (Kami juga telah mengutus) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya, "Mengapa kamu melakukan perbuatan keji, yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelum kamu (di dunia ini)." (QS. Al-A'raf: 80).
Dalam ayat di atas, Allah SWT sebut kaum Nabi Luth ‘alaihis salam yang melakukan perbuatan sodomi tersebut dengan sebutan “para pelaku kriminal”!
Dengan demikian, mereka ini sesungguhnya layak untuk disebut “penjahat seksual”, karena telah melakukan kejahatan (kriminal) dalam menyalurkan hasrat seksual mereka ditempat yang terlarang.
Sesungguhnya LGBTQ+ sangat bisa dicegah dan diberantas. Hanya saja mustahil berharap pelaku bisa sadar sendiri sehingga meninggalkan perilaku menyimpang ini. Dan tidak mungkin berharap penyadaran berlangsung secara massal jika hanya dilakukan oleh para ustaz dan dai.
Tak mungkin juga membebankan hanya kepada para orang tua untuk membentengi anak-anak mereka dari perilaku ini sementara pelaku dan pemicunyanya bebas berseliweran di sekeliling mereka.
Problem LGBTQ+ adalah problem sistemis, menyangkut banyak faktor yang saling terkait satu sama lain, butuh solusi sistemis. Di sinilah, peran negara menjadi sangat penting. Negara harus mengganti sistem ideologi Kapitalisme yang diadopsinya saat ini.
Sebab, LGBTQ+ adalah buah liberalisme yang dihasilkan oleh ideologi Kapitalisme. Selama ideologi Kapitalisme masih dipakai dalam sistem kehidupan bermasyarakat maupun bernegara, mustahil problem LGBTQ+ ini bisa selesai dan tak muncul kembali.
Sebagai gantinya, Negara seharusnya mengadopsi sistem ideologi Islam yang akan menerapkan syariat Islam secara sempurna, syariat yang berasal dari Allah SWT., Sang Pencipta manusia. Selanjutnya Negara akan melakukan beberapa langkah sebagai berikut :
Pertama, Negara menanamkan iman dan takwa kepada seluruh anggota masyarakat agar menjauhi semua perilaku menyimpang dan maksiat. Negara juga menanamkan dan memahamkan nilai-nilai norma, moral, budaya, pemikiran, dan sistem Islam dengan melalui semua sistem, terutama sistem pendidikan baik formal maupun non formal dengan beragam institusi, saluran, dan sarana.
Dengan begitu, rakyat akan memiliki kendali internal yang menghalanginya dari perilaku LGBTQ+. Rakyat bisa menyaring informasi, pemikiran, dan budaya yang merusak. Rakyat tidak didominasi oleh sikap hedonis serta mengutamakan kepuasan hawa nafsu.
Kedua, Negara akan menyetop penyebaran segala bentuk pornografi dan pornoaksi baik yang dilakukan sesama jenis maupun berbeda jenis. Negara akan menyensor semua media yang mengajarkan dan menyebarkan pemikiran dan budaya rusak semisal LGBTQ+.
Masyarakat akan diajarkan bagaimana menyalurkan gharizah nau’ dengan benar, yaitu dengan pernikahan syar’i. Negara pun akan memudahkan dan memfasilitasi siapapun yang ingin menikah dengan pernikahan syar’i.
Ketiga, Negara akan menerapkan sistem ekonomi Islam yang menjamin keadilan dan kesejahteraan ekonomi rakyat, sehingga tak akan ada pelaku LGBTQ+ yang menjadikan alasan ekonomi (karena miskin, lapar, kekurangan, dll.) untuk melegalkan perilaku menyimpangnya.
Keempat, Jika masih ada yang melakukan, maka sistem ‘uqubat (sanksi) Islam akan menjadi benteng yang bisa melindungi masyarakat dari semua itu. Hal itu untuk memberikan efek jera bagi pelaku kriminal dan mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa.
Di dalam Kitabnya Fiqh Sunnah jilid 9, Sayyid Sabiq menyatakan bahwa para Ulama fiqh telah sepakat atas keharaman homoseksual dan penghukuman terhadap pelakunya dengan hukuman berat. Hanya para ulama berbeda pendapat dalam menentukan ukuran hukuman yang ditetapkan. Dalam hal ini dijumpai tiga pendapat. 1. Pelakunya harus dibunuh secara mutlak. 2. Pelaku dikenai had zina. 3. Pelaku diberikan sanksi berat lainnya.
Pendapat yang pertama, berdasarkan pada pendapat para shahabat Rasulullah Saw., Nashir, Qashim bin Ibrahim, dan Imam Syafi’i (dalam satu pendapat). Pelaku harus dibunuh berdasarkan hadist yang diriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata, Rasulullah Saw. bersabda“Barang siapa yang mengetahui ada yang melakukan perbuatan liwath (sebagaimana yang dilakukan kaum Luth), maka bunuhlah ke dua pasangan liwath tersebut”. (HR. Al Khamsah kecuali Nasa’i). Liwath atau sodomi, yaitu senggama melalui dubur atau anus.
Para shahabat Rasulullah Saw. berbeda pendapat tentang cara membunuh pelakunya. Menurut Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma, pelakunya harus dibunuh dengan pedang. Setelah itu dibakar dengan api, mengingat besarnya dosa yang dilakukan.
Sedangkan Umar bin Khaththab dan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhuma berpendapat bahwa pelakunya dijatuhi benda-benda keras sampai mati. Ibnu Abbas berpendapat bahwa pelakunya dijatuhkan dari atas bangunan paling tinggi.
Al Baghawi menceritakan dari Zuhri, Malik, Ahmad, dan Ishak, mengatakan pelakunya harus dirajam. Hukum serupa juga diceritakan oleh Tirmidzi dari Malik, Syafi’i, Ahmad, dan Ishak (Sayyid Sabiq, Fqih Sunnah jilid 9).
Sedangkan pendapat ke dua, menurut Sa’id bin Musayyab, Atha’ bin Abi Rabah, Hasan, Qatadah, Nakha’i, Tsauri, Auza’i, Abu Thalib, Imam Yahya, dan Imam Syafi’i (dalam satu pendapat) mengatakan bahwa pelakunya dikenai had sebagaimana had zina. Jika pelakunya masih perjaka maka dikenai had dera dan dibuang. Sedangkan jika pelakunya sudah menikah maka dijatuhi hukum rajam.
Dan terakhir, pendapat ke tiga, pelakunya mendapat sanksi berat, tapi tidak seperti zina karena perbuatan tersebut bukanlah hakekat zina. Disampaikan oleh Abu Hanifah, Muayyad, Billah, Murtadha, dan Imam Syafi’i (dalam satu pendapat). (Sayyid sabiq, Fiqh Sunnah jilid 9).
Dengan hukuman (sanksi) yang demikian berat kepada para pelaku liwath, maka akan membuat siapapun berpikir berkali-kali untuk melakukan hal tersebut.
Di samping Negara yang berperan besar dalam pemberantasan LGBTQ+, Islam juga menetapkan tugas kepada kaum muslimin secara umum untuk menjalankan syariat Islam di keluarganya masing-masing.
Para orang tua harus terus berusaha membentengi anak anak mereka dari perilaku LGBTQ+ dengan penanaman akidah dan pembelajaran syariat Islam di keluarga.
Islam juga memerintahkan kepda masyarakat untuk berkontribusi dalam pemberantasan LGBTQ+ ini dengan cara ikut terlibat secara aktif dalam dakwah, melakukan amar makruf nahi mungkar ke masyarakat yang ada di sekitarnya agar taat kepada perintah juga larangan Allah SWT. dan Rasul-Nya.
Ketika ada kemunkaran (pelanggaran hukum syariat) oleh para pelaku LGBTQ+ ini, maka semua anggota masyarakat harus berusaha mencegah, mengingatkan, menegurnya, bahkan ikut memberi sanksi sosial , tidak mendiamkannya.
Jelas sudah tidak cukup hanya Sam Morsy atau hanya individu yang lain atau hanya orang tua atau hanya sebagian masyarakat saja untuk memberantas LGBTQ+ hingga ke akar. Melainkan diperlukan peran negara. Dan negara yang sanggup melakukan semua tugas dan tanggung jawab tersebut tak lain adalah Negara Khilafah. LGBT akan bisa dicegah dan dihentikan hanya oleh Khilafah. Di dalam naungan Khilafah, umat akan dibangun ketakwaannya, diawasi perilakunya oleh masyarakat agar tetap terjaga, dan dijatuhi sanksi bagi mereka yang melanggarnya sesuai syariah Islam. Maka, Islam akan mewujud sebagaimana yang telah Allah SWT. tetapkan yaitu sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Wallahu'alam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar