Oleh : vivieDihardjo (Ketua Komunitas Ibu Hebat)
Krisis air bersih menghantui, tak kurang 10.000 warga Gili Ketapang mengalaminya. Mereka mendatangi pelabuhan Gili Ketapang untuk mengambil bantuan air bersih yang dikirimkan dari pelabuhan Mayangan, kota Probolinggo. Krisis air bersih yang dialami warga sudah berlangsung sejak 7 Novemver 2024. Hal ini disebabkan oleh pipa yang terletak dibawah laut milik Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) tersangkut jangkar kapal dan mengalami kerusakan. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPPD) Kabupaten Probolinggo, Oemar Sjarif, menyatakan, pihaknya setiap hari mengirimkan air bersih melalui kapal penyeberangan, dengan total pengiriman antara 4.000-26.000 liter air (www.surabaya.kompas.com 3/12/2024)
Berbeda kisah, di Nusa Tenggara Barat (NTB), menurut data BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) terdapat 500 ribu jiwa dari 77 kecamatan terdampak kekeringan. Sementara di Nusa Tenggara Timur (NTT) menurut data BMKG (Badan Meteorologi dan Geofisika) pada September 2024, sebanyak 225 dan 309 wilayah kecamatan di Propinsi tersebut mengalami kekeringan ekstrim akibat hujan tidak turun selama berbulan-bulan.
Krisis air bersih ini menggerakkan beberapa pihak untuk melakukan gerakan penggalangan dana untuk membantu pengadaan sarana air bersih. Seperti Plan Indonesia yang menginisiasi kegiatan lari amal jelajah timur sejak tahun 2019. Atau yang dilakukan Viyata Devi yang mengayuh sepeda ratusan kilometer dari Jakarta hingga Bali dalam Charity Ride Jakarta- Bali sebagai bagian dari Jelajah Timur Water for Equality yang diinisiasi Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia)
Sebenarnya penyediaan air bersih bagi rakyat tugas siapa? Apakah krisis air bersih bisa diselesaikan oleh individu, kelompok, komunitas atau swasta ?
Pengelolaan Sumberdaya Air ala Kapitalistik
Air adalah bagian penting dalam siklus kehidupan. Setiap makhuk hidup memerlukan air. Bicara tentang air tidak melulu bicara tentang lingkungan, tetapi juga bicara tentang pengelolaan termasuk bagaimana akses untuk memperoleh air bersih dengan mudah, tentu saja melibatkan kebijakan tentang pengelolaan air. Sayangnya, pengelolaan air sering kali didorong oleh kepentingan ekonomi, menjadi komoditas yang diperjualbelikan, menghitung untung rugi tanpa mempertimbangkan keadilan akses. Akibatnya, ratusan wilayah kehilangan akses terhadap air besih karena hanya yang memiliki uang yang dapat memanfaatkan. Selain itu strategi pembangunan yang berlandaskan pada manfaat dan keuntungan seringkali mengabaikan dan merusak sumberdaya air. Menurut UNICEF (United Nation Children’s Fund) hampir 70% sumber air minum di Indonesia terkontaminasi limbah tinja, yang berkontribusi pada tingginya angka kematian anak akibat penyakit terkait, juga menyebabkan malnutrisi dan stunting pada anak karena sulitnya akses kepada air bersih.
Ketimpangan akses air bersih juga berpotensi menimbulkan konflik sosial, hingga kekerasan antara komunitas, terutama di daerah-daerah yang mengalami kekeringan parah. Layanan publik dan produktivitas pun tergangggu seperti pendidikan dan kesehatan, pertanian, budidaya perikanan, dan lainnya. Ketidakadilan distribusi air berbahaya!. Dalam pengelolaan sumberdaya air secara kapitalistik yang hanya mempriorotaskan keuntungan dan menimbulkan dampak merusak pada ekosistem hingga aktivitas manusia maka berharap pada negara yang mengelola air secara kapitalistik sangat tidak mungkin!
Islam Menyelesaikan Ketimpangan Akses Air Bersih
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ: الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Berdasarkan hadist tersebut maka air dengan deposit yang melimpah menjadi milik umum yang pengelolaannya tidak boleh diserahkan pada individu. Namun, Rasul pernah memperbolehkan sumur di Thaif dan di Khaibar dimiliki oleh individu untuk menyirami kebun. Artinya, berserikatnya manusia bukan semata karena zatnya tetapi karena sifatnya yang dibutuhkan oleh orang banyak, karena itu berlaku,
كُلُّ مَا كَانَ ضَرُوْرِيات لِلْجَمَاعَة لا يَصِحُ تَمْلِيْكُه مِلْكِيَّةً فَرْدَيَّة
Setiap apa saja yang keberadaannya mutlak dibutuhkan oleh masyarakat (dharuriyyât lil jamâ’ah) tidak boleh dimiliki secara individu.
Air yang melimpah, seperti sungai, danau, laut, samudera dibutuhkan oleh orang banyak, ia adalah kepemilikan umum, sehingga tidak boleh dikuasai oleh individu, kelompok atau korporasi. Kepemilikan umum berbeda dengan kepemilikan negara. Negara diberi kewenangan untuk mengelola tetapi tidak boleh memindahtangankan kepada orang lain, atau kepada swasta kareana itu bukan milik negara tetapi milik umum. Berbeda dengan kepemilikan negara yang boleh dipindahtangankan kepada seseorang atau sekelompok orang jika dipandang sebagai maslahat. Hasil pengelolaan sumberdaya tesebut digunakan untuk membiayai kebutuhan umum masyarakat seluruhnya, bukan hanya muslim, misalnya kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Dalam islam konsep kepemilikan diterapkan dengan jelas. Islam mengakui kpemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara.
Para ulama menjelaskan kenapa barang milik umum tidak boleh diserahkan pengelolaannya kepada seseorang atau sekelompok orang. Ibnu Qudamah mencontohkan jika aliran air atau jalan-jalan yang merupakan ciptaan Allah, cukup melimpah dan dibutuhkan kaum muslimin dikuasai oleh seseorang atau pihak tertentu maka mereka akan mempunyai kuasa untuk melarang penggunaannya dan ini akan menyusahkan kaum muslimin. Beliau mengutip pendapat Ibn’Aqil ‘arang-barang tersebut merupakan barang milik Allah Yang Maha Mulia dan keberadaannya sangat dibutuhkan. Jika ia dimiliki seseorang, lalu ia menguasainya, maka akan menyulitkan orang lain. Jika ia mengambil kompensasi (darinya) maka akan membuatnya mahal sehingga ia telah keluar dari ketetapan Allah SWT bahwa ia merupakan milik umum bagi pihak-pihak yang membutuhkan tanpa merasa tidak nyaman. Ini adalah pendapat mazhab Syafii dan saya tidak mengetahui ada yang menyelisihinya’.
Ketimpangan distribusi air sebagai kepemilikan umum bisa diselesaikan jika pengambil kebijakan menerapkan islam secara menyeluruh, sehingga kebijakan pengelolaan sumberdaya alam akan disandarkan pada nash-nash syara’ dan akan menjadi mashlahat bagi manusia. Maka Negara perlu segera menerapkan islam secara kaffah (menyeluruh) dalam seluruh aspek kehidupan manusia.
Wallahu’alam bisshowab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar