Oleh: Astriani Lydia, S.S
Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen per 1 Januari 2025, mendapat penolakan luas dari masyarakat. Tak terkecuali Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kabupaten Bekasi yang meminta pemerintah untuk menunda rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen tersebut.
Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Kabupaten Bekasi, Darwoto, menyampaikan bahwa penundaan tersebut diperlukan karena kondisi pertumbuhan ekonomi yang belum membaik.
Darwoto menjelaskan bahwa kenaikan PPN sebesar 12 persen akan berpengaruh terhadap harga produk yang dijual, yang pada gilirannya dapat memperburuk daya beli masyarakat yang masih rendah.
Apindo Kabupaten Bekasi berharap agar pemerintah lebih bijaksana dalam melihat kondisi ekonomi ke depan.
Darwoto juga membandingkan dengan kebijakan negara lain, seperti Vietnam yang justru menurunkan tarif PPN dari 10 persen menjadi 8 persen, sementara Indonesia justru memutuskan untuk menaikkan PPN. (gobekasi.id, 22/12/2024)
PPN Harus Naik 12 Persen
Dikutip dari Antara, sebagaimana disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, kenaikan PPN menjadi 12 persen tidak diambil oleh pemerintah tanpa alasan. Ada sejumlah alasan di balik langkah pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif PPN sebesar 12 persen pada 2025.
1. Meningkatkan pendapatan negara
Sebagai salah satu sumber utama penerimaan negara, PPN punya peran vital dalam mendanai berbagai program pemerintah. Menyorot beberapa tahun terakhir, kebutuhan pendanaan semakin meningkat, terutama setelah pandemi Covid-19 yang memperburuk kondisi fiskal dan kenaikan PPN ini sebagai upaya memperbaiki anggaran pemerintah.
2. Mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri
Indonesia masih bergantung pada utang untuk menutupi defisit anggaran. Alhasil, dengan meningkatkan penerimaan pajak, pemerintah berupaya untuk mengurangi penggunaan utang dan menjaga stabilitas ekonomi negara dalam jangka panjang. Upaya ini akan membantu menurunkan beban pembayaran utang dan menjaga perekonomian negara menjadi lebih stabil.
3. Penyesuaian dengan standar internasional
Saat ini tarif PPN Indonesia yang berada di angka 11 persen yang kemudian akan naik mencapai 12 persen, masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara maju lainnya. Kementerian Keuangan menyampaikan bahwa rata-rata PPN seluruh dunia, termasuk negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), memiliki tarif PPN sebesar 15 persen.
Dengan kenaikan PPN 12 persen, dalam kebijakan fiskal pada 2025, ditetapkan pendapatan negara 12,08-12,77 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), belanja negara 14,21-15,22 persen PDB, keseimbangan primer 0,07 persen hingga minus 0,40 persen PDB, dan defisit 2,13-2,45 persen PDB.
Inilah jalan ninja yang dilakukan penguasa dalam sistem kapitalisme untuk menutupi defisit anggaran.
Pajak dalam Islam
Pajak yang diberlakukan dalam baitulmal sangat berbeda dengan sistem pajak hari ini, baik dari aspek subjek pajak, objek pajak, maupun tata cara pemungutannya.
Pajak dalam sistem Islam dikenal dengan istilah dharibah. Ia adalah jalan terakhir yang diambil apabila baitulmal benar-benar kosong dan sudah tidak mampu memenuhi kewajibannya. Pajak diberlakukan atas kaum muslim saja. Pengenaan pajak dilakukan dari sisa nafkah (setelah dikurangi kebutuhan hidup), dan harta orang-orang kaya, yaitu dari sisa pemenuhan kebutuhan primer dan sekundernya yang makruf.
Pajak dipungut berdasarkan kebutuhan baitulmal dalam memenuhi kewajibannya. Pajak tidak boleh dipungut melebihi yang dibutuhkan. Apabila kebutuhan baitulmal sudah terpenuhi dan sudah mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya dari sumber-sumber penerimaan rutin, pungutan pajak harus dihentikan. Jadi, pajak dalam Islam diterapkan secara temporal, bukan sebagai penerimaan rutin seperti yang diterapkan saat ini.
Tentunya sangat jauh berbeda dimana dalam sistem kapitalisme, pajak digunakan untuk menutupi defisit anggaran akibat sistem ekonomi berbasis utang. Akibatnya rakyat terus dipalak melalui berbagai pungutan/pajak, termasuk PPN. Dan hal ini akan terjadi secara terus-menerus.
Kebijakan ini sangatlah zalim. Allah Swt. berfirman, “Janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan jalan yang batil.” (QS Al-Baqarah [2]: 188).
Negara harusnya mencari sumber pendapatan lain yang bisa diandalkan untuk pemasukan kas negara atau pembiayaan pembangunan yaitu dari bagian kepemilikan umum. Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dan Abdul Qadim Zallum menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kepemilikan umum itu adalah
Pertama, fasilitas/sarana umum yang jika tidak ada pada suatu negeri/komunitas akan menyebabkan banyak orang bersengketa untuk mencarinya, seperti air, padang rumput, dan jalan-jalan umum.
Kedua, barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas (sangat besar), seperti tambang minyak dan gas bumi, emas dan logam mulia lainnya, timah, besi, uranium, batu bara, dan lain-lain.
Ketiga, sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki individu, seperti laut, sungai, dan danau.
Sumber penerimaan dari kepemilikan umum inilah yang berpotensi besar memberikan pendapatan cukup besar bagi negara. Maka negara harus mengelola kepemilikan ini secara mandiri. Jangan malah diserahkan pengurusannya pada pihak swasta ataupun asing, lalu malah menjadikan pajak sebagai salah satu sumber pemasukan negara. Karena hal ini justru akan menambah permasalahan ekonomi masyarakat.
Maka sudah saatnya para pemimpin negeri ini berbenah secara sistemis. Yaitu dengan menerapkan sistem Islam secara kafah. Dengan penerapan sistem Islam secara kafah, negara tidak akan bingung mencari sumber pendapatan sehingga sampai menerapkan kebijakan yang zalim. Karena aturan yang diterapkan senantiasa mengacu pada hukum-hukum Allah Swt.
Wallahu a'lam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar