Oleh : Wina Apriani
Berbicara sosial media yang saat ini digemari oleh seluruh masyarakat dunia yaitu media sosial tiktok kembali dihebohkan dengan viralnya live sambil berjoged untuk mendapatkan give koin yang nanti nya bisa ditukarkan dengan rupiah.
Tak habis pikir bahkan di salah satu kampung tepatnya di cianjur seluruh warga melakukan live dengan sambil berjoged yang di pelopori oleh sadbor ,tak sedikit warga berbondong melamar kerja ke sadbor ini supaya bisa ikutan joged 24 jam yang nantinya hasil live ini di bagi dua
Yang bikin terenyuh dari mulai perempuan yang fitrahnya seorang ibu rumah tangga,malah ikut berjoged ria,laki laki yang harusnya mencari nafkah dengan hasil yang halal jadinya bermalas malasan lebih memilih ikutan live, bahkan yang membuat sedih sudah tua rentan yang harus nya beristirahat menikmati masatua tapi terpengaruhi dengan ikut ikutan live joget.
Sungguh fenomena live ini membuat miris sekaligus sedih ada apa dengan fenomena teknologi flatform tiktok tersebut berubah lebih memili teknologi, berkembang pula cara dan strategi dalam meraup cuan.
Sebelum nya memang media sosial TikTok ramai dengan aksi “pengemis online“. Aksi mereka yang mengguyur diri sendiri belum lagi ada aksi cek Kodam,ada aksi yang lari larian ,ada aksi yang main game,selain itu ada yang nyanyi di jalan raya,berjogd tadi dan masih banyak aksi live lainnya tak sedikit juga Masyarakat yang mencela dengan menyebut para pengemis online karena hampir banyak pengguna tiktok
memanfaatkan fitur gift di TikTok yang bisa ditukarkan dengan uang. Satu koin TikTok setara Rp250. Adapun hadiah di TikTok dibuat dalam beberapa jenis dengan nilai yang berbeda. Ikon Mawar, misalnya, setara satu koin, sedangkan Singa setara 29.999 koin.
Aksi mengemis online saat ini seakan telah menjadi mata pencarian yang lagi tren di media sosial. Mengapa bisa terjadi?
Respons Pemerintah Sendiri
Menanggapi fenomena ini, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kominfo Usman Kansong menyampaikan konten tersebut belum termasuk konten yang terlarang atau negatif yang diatur dalam pasal 40 ayat 2a UU Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE).
Sosiolog dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, mengatakan fenomena mengemis online sebenarnya bukan hal baru. Menurutnya, fenomena ini mulai membesar sejak pandemi Covid-19 yang berefek pada perekonomian masyarakat, di antaranya banyak orang mengalami PHK.
Masih menurut Devie, ada beberapa sebab konten pengemis online menguntungkan. Pertama, karena mudah, murah, dan lebih luas potensi cakupan orang-orang yang bisa dimintai pertolongan. Kedua, kemungkinan kecanduan obat-obat terlarang sehingga cara paling gampang mendapatkan uang adalah dengan pura-pura minta pertolongan. Ketiga, karena ada kebutuhan-kebutuhan “gaya hidup” yang harus dipenuhi sehingga memilih jalan pintas semacam itu. (BBC Indonesia, 13-10-24
Sebelumnya Fenemona Ini Tidak Muncul Tiba-Tiba
Konten pengemis online yang sedang tren sejatinya tidak muncul secara tiba-tiba. Ada banyak faktor penyebab fenomena ini terjadi. Faktor tersebut bisa kita rangkum dalam beberapa poin berikut.
Pertama, eksploitasi kemiskinan dengan menjual kesedihan dan nasib malang. Kemiskinan membuat seseorang bisa berbuat apa saja asal menghasilkan uang. Mereka rela merendahkan diri, harkat, dan martabatnya sebagai manusia hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tidak jarang pula para mereka memanfaatkan empati dan simpati masyarakat dengan menampilkan konten dengan raut muka sedih dan memelas agar masyarakat merasa iba dan memberikan “gift” untuk mereka. Para pelakunya pun beragam, mulai dari anak-anak, orang dewasa, hingga lansia.
Kedua, tuntutan gaya hidup. Sebagaimana konsep ekonomi kapitalisme, modal sekecil-kecilnya untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Barangkali konsep inilah yang diterapkan mereka demi memenuhi tuntutan gaya hidupnya. Ingin bergaya, tetapi modal tidak punya. Jadilah salah satu caranya ya dengan meminta-minta di media sosial. Dengan melakukan itu, mereka berharap mengumpulkan pundi-pundi cuan melalui belas kasih orang. Tanpa berusaha kerja, materi bisa didapatkan.
Ketiga, kapitalisme membelokkan visi misi hidup manusia yang semestinya untuk beribadah, kini hanya bertujuan untuk mencari kesenangan materi sebanyak-banyaknya. Segala cara dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Dari perilaku terlarang hingga perbuatan yang merendahkan diri sendiri. Kapitalisme juga membuat teknologi digital bagaikan pisau bermata dua, yaitu pemanfaatannya tergantung pada siapa dan untuk apa. Terkait fenomena pengemis online, bukan hanya pelaku yang mendapat manfaat dari aksi tersebut. Ada pihak lain yang disinyalir juga ketiban untung dari aksi tersebut, yaitu platform media sosial itu sendiri dan si pemberi “gift”.
Keempat, fenomena mengemis online secara tidak langsung telah mengonfirmasi lemahnya fungsi negara dalam menyelesaikan kemiskinan yang sudah menjadi problem menahun. Masyarakat miskin adalah korban kebijakan kapitalisme yang serakah. Tidak ada satu pun manusia yang berharap hidup miskin dan susah. Mereka pasti juga berharap bisa hidup nyaman dan sejahtera. Sayangnya, kemiskinan yang terjadi bukan hanya karena individu malas bekerja, melainkan ada andil negara yang mengabaikan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat secara luas. Kebijakan yang diterapkan cenderung berpihak pada kepentingan pemilik modal.
Dalam Islam
Islam melarang meminta-minta, sebagaimana sabda Nabi saw., “Barang siapa meminta-minta kepada orang lain dengan tujuan untuk memperbanyak kekayaannya, sesungguhnya ia telah meminta bara api; terserah kepadanya, apakah ia akan mengumpulkan sedikit atau memperbanyaknya.” (HR Muslim no. 1041).
Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian pergi di pagi hari lalu mencari kayu bakar yang di panggul di punggungnya (lalu menjualnya), kemudian bersedekah dengan hasilnya dan merasa cukup dari apa yang ada di tangan orang lain, maka itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi ataupun tidak, karena tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Dan mulailah dengan menafkahi orang yang engkau tanggung.” (HR Bukhari no. 2075, Muslim no. 1042).
Dua hadis tersebut sebenarnya sudah cukup menunjukkan sikap seorang muslim yang seharusnya ketika diuji dengan ekonomi sulit, yaitu tetap melakukan ikhtiar bekerja dalam menjemput rezeki tanpa harus meminta-minta.
Namun, fenomena mengemis online seharusnya tidak pernah ada jika negara benar-benar menjalankan fungsi dan pengurusannya kepada rakyat dengan baik dan amanah. Seperti apa langkah yang tepat?
Pertama, negara mengedukasi dan mendidik masyarakat agar tertanam kesadaran untuk menjaga martabat dan kemuliaannya sebagai manusia dengan senantiasa terikat aturan Allah Taala, yakni tidak melakukan yang dibenci-Nya dan menjalankan perintah-Nya.
Kedua, atmosfer saling menasihati dalam kebaikan antaranggota masyarakat harus menjadi kebiasaan yang terus menerus dihidupkan. Masyarakat harus paham bahwa berdakwah amar makruf nahi mungkar adalah kewajiban bagi setiap hamba-Nya. Dengan pembiasaan semacam ini, akan terbentuk kepekaan dan kepedulian yang tinggi antarindividu masyarakat dalam mencegah kemaksiatan, perilaku negatif, dan kriminalitas.
Ketiga, negara memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Pemenuhan yang dimaksud bukan memberi secara cuma-cuma, melainkan berupa kemudahan bagi masyarakat untuk mencari nafkah, semisal membuka lapangan kerja, memberi modal usaha, dan pelayanan publik yang gratis atau murah.
Fungsi negara ialah menjamin pemenuhan dan pelayanan kepada rakyat dengan optimal dan maksimal. Jika individu, masyarakat, dan negara menjalankan fungsinya dengan baik, kemiskinan bisa terminimalisasi. Tidak akan ada fenomena pengemis jalanan atau online.
Dengan penerapan Islam secara kafah dalam setiap aspek kehidupan, hidup menjadi berkah. Visi misi hidup manusia pun akan kembali pada jalan yang sebenarnya, yaitu untuk taat dan beribadah kepada Allah Taala. Wallahu alam bi ash shawab []
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar