Oleh : Amey Nur Azizah
Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen akan ditetapkan. Hal itu sesuai dengan beleid soal harmonisasi peraturan perpajakan. Saat ini, tarif PPN adalah sebesar 11 persen.
Penerapan tarif PPH tersebut sesuai dengan keputusan yang telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Aturan tersebut menyatakan bahwa tarif PPN 12 persen mulai berlaku paling lambat 1 Januari 2025.
Rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% ini memicu kekhawatiran dari berbagai kalangan pengusaha. Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya memberikan sinyal bahwa kenaikan ini tetap akan diberlakukan, namun pelaku usaha meminta pemerintah menunda kebijakan tersebut. Pengusaha khawatir kenaikan PPN akan memicu lonjakan harga barang dan semakin menekan daya beli masyarakat, terutama kelas menengah bawah. (Republika.co.id, 14-11-2024)
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja menegaskan kenaikan PPN ini dapat berdampak langsung pada daya beli masyarakat. Ia mengungkapkan, daya beli telah melemah sejak awal 2024, dan kenaikan PPN hanya akan memperparah situasi.
Sebab jika PPN naik, maka harga barang dan jasa juga naik. Pada akhirnya masyarakat akan lebih berhati-hati untuk mengeluarkan uangnya, alhasil konsumsi rumah tangga menurun. Dan jika konsumsi rumah tangga menurun, maka tidak akan ada perputaran ekonomi. Maka menjadilah, keinginan awal untuk memutar roda ekonomi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, justru akan jadi bom waktu yang membahayakan kestabilan ekonomi negara.
Berbagai indikator menunjukkan, bahwa daya beli masyarakat sedang tertekan. Hal itu tecermin lewat data pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang selama empat triwulan berturut-turut telah tumbuh di bawah 5 persen. Secara beruntun, 4,47 persen pada triwulan IV-2023; 4,91 persen (triwulan I-2024); 4,93 persen (triwulan II-2024); dan 4,91 persen (triwulan III-2024). (cnbcindonesia.com, 15-11-2924)
Meskipun tujuan utamanya adalah meningkatkan pendapatan negara, langkah ini memunculkan pertanyaan besar terkait apakah kebijakan ini dapat menggerakkan ekonomi secara berkelanjutan, atau justru menjadi beban tambahan bagi masyarakat dan dunia usaha?
Kenaikan tarif PPN ini diklaim sebagai cara untuk meningkatkan penerimaan negara guna mendukung pembiayaan pembangunan dan mengurangi ketergantungan pada utang. Namun faktanya belum tentu meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi utang. Sementara yang pasti adalah kesengsaraan rakyat, terlebih di tengah situasi ekonomi yang sulit, menurunkan daya beli masyarakat, dll. Apalagi, ada problem korupsi dan pemerintah yang gemar berutang.
Situasi ini adalah konsekuensi penerapan sistem ekonomi kapitalis yang menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan negara. Namun nyatanya dana pajak seolah-olah menguap begitu saja. Buktinya, berbagai fasilitas public seperti Pendidikan, kesehatan, dan transportasi masih harus ditebus oleh rakyat dengan biaya yang mahal. Subsidi untuk rakyat makin dikurangi. misalnya subsidi BBM yang penerimanya makin dibatasi. Walhasil, di satu sisi rakyat dibebani pajak yang besar, tetapi di sisi lain rakyat tidak merasakan manfaatnya. Pihak yang menikmati “kesejahteraan” dari dana pajak hanya para pejabat dan pengusaha kapitalis yang menjadi penyokongnya. Para pejabat dan wakil rakyat pun bergelimang kemewahan dengan gaji dan tunjangan yang besar serta berbagai fasilitas. Sedangkan para kapitalis menikmati proyek-proyek besar dengan keuntungan fantastis yang dibiayai dana pajak. Inilah realitas pajak dalam kapitalisme yang demikian zalim pada rakyat. Dari sini bisa difahami bahwa negara hanya menjadi regulator dan fasilitator, yang melayani kepentingan para pemilik modal.
Berbeda dengan Islam, sistem Islam memiliki sistem ekonomi yang mewajibkan negara menjadi ra’in, mengurus rakyat dengan penuh tanggung jawab. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah saw., “Imam adalah ra’in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari).
Islam menetapkan berbagai sumber pemasukan negara. Kas Negara atau baitulmal dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah) memiliki sumber pemasukan yang tetap seperti zakat, jizyah, kharaj, ‘usyr, harta kepemilikan umum (seperti tambang migas dan mineral), anfal, ghanimah, fai, khumus, infak dan sedekah, dsb. Sumber pemasukan ini amat besar dan mampu mencukupi kebutuhan umat. Tak perlu ada pungutan batil di luar ketentuan syariah. Dan pajak bukanlah sumber utama negara, bahkan hanya menjadi alternatif terakhir ketika kas dalam kosong sementara ada kewajiban atas rakyat yang harus ditunaikan.
Menurut ekonom muslim, Muhammad Ishak (2024), potensi pendapatan negara dari kekayaan sumber daya alam negeri ini dari delapan harta milik umum saja (batubara, minyak mentah, gas, emas, tembaga, nikel, hutan dan laut) dapat diperoleh laba sebesar Rp5.510 triliun (melebihi kebutuhan APBN yang hanya sekitar Rp3.000 triliun) padahal masih banyak sumber pandapatan lain yang memiliki potensi penerimaan yang cukup besar. Dan dengan demikian sebenarnya negara tidak perlu mamungut pajak dari rakyat, atau utang ke luar negeri. (Buletin kaffah edisi 370, 20-11-2024)
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar