Oleh: Rut Sri Wahyuningsih (Institut Literasi dan Peradaban)
Curhatan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas) cukup menarik. Pasalnya, ia merasa baru dilantik dan belum kerja, tapi target Presiden untuk swasembada pangan ingin disegerakan, dari awal target swasembada pangan pada tahun 2029, kemudian maju jadi 2028. Ketika berada di konferensi APEC dan G20 malah lebih awal lagi yaitu 2027 (republika.co.id, 3-12-2024).
Intinya, Zulhas mengeluhkan jika swasembada pangan itu rumit, untuk bisa mencapai target swasembada pangan, diperlukan sinergi dari seluruh kementerian/lembaga di Kabinet Merah Putih. Pasalnya, selain perlunya sumber pangan yang potensial, regulasi yang ada pun menumpuk sehingga harus diurai lebih jelas.
Zulhas mencontohkan bibit, sekarang kewenangan melakukan penelitian dan riset di BRIN, bukan lagi di Kementerian. Kemudian pupuk, yang hari ini regulasinya sudah mengular, ada 9 PP (peraturan pemerintah), perpresnya mungkin ada lima, peraturan menterinya mungkin ada belasan yang mengatur soal pupuk. Ditambah harus ada SK bupati, SK gubernur, SK menteri keuangan, SK menteri pertanian, SK menteri perdagangan.
Kemudian irigasi, yang kaitannya dengan berapa kali panen hingga pada akhirnya memengaruhi kualitas irigasi. Zulhas menyebut, Kemenko Pangan baru menyelesaikan aturan pembangunan irigasi 1.000 hektare, 2.000 hektare, dan 3.000 hekatre yang kini bisa dibangun oleh pemerintah pusat. Zulhas menyadari krusialnya ketahanan pangan maka presiden mengadakan kementerian pangan, dan mengangkat dirinya sebagai yang bertanggungjawab.
Kapitalisme, Birokrasi Tak Sekadar Aturan
Apa yang dikeluhkan Zulhas sebenarnya tak hanya di bidang ketahanan pangan dan swasembadanya. Tapi semua bidang yang fungsinya pelayanan rakyat seperti kesehatan, pendidikan, perumahan, perdagangan, penyediaan bahan baku hingga keamanan.
Inilah fakta kapitasme ketika dibenarkan menjadi sistem pengaturan urusan manusia. Kapitalisme yang berasas sekuler atau pemisahan agama dari kehidupan khususnya negara, memang menjadikan aturan atau regulasi tak sekadar aturan, melainkan jalan hegemoni kekuasaan, penjajahan kekayaan suatu negara hingga menghilangkan kedaulatan negara. Banyak dari regulasi pemerintah adalah hasil ratifikasi aturan global, bukan pemerintah sendiri yang fokus pada urusan umat.
Belum ada bukti sebuah negara yang menerapkan kapitalisme benar-benar menyejahterakan warganya kecuali dengan ketimpangan. Kekayaan yang dimiliki segemintir orang karena mereka punya modal besar, menguasai sekian juta penduduk miskin. Jargon yang kaya semakin kaya yang miskin semakin miskin bukanlah isapan jempol, itu fakta adanya.
Jika pun ada negara pengemban kapitalisme yang adidaya seperti AS, Perancis, Jerman, Inggris dan lainnya hanyalah bualan media sosial yang juga mereka miliki. Tujuannya tentu untuk mengkampanyekan kepada dunia " bagus" nya kapitalisme. Padahal sesungguhnya racun, sebab sejahtera bukan hanya berbicara mengenai kecanggihan teknologi, tingginya gedung pencakar langit atau fakta fisik lainnya, melainkan juga keadaan sumber daya manusianya yang juga berkualitas. Bukan rusak moral dan akidahnya.
Sistem Islam Dengan Kepemimpinan Islam
Lantas, adakah di dunia ini sebuah negara yang mampu menyejahterakan warganya secara totalitas, dimana kebaikan kehidupan terwujud, mudahnya kebutuhan pokok diakses warga hingga kepribadian warganya yang tanggah dan sehat?
Jelas ada, syaratnya hanya jika menerapkan sistem Islam. Sebuah aturan yang sempurna berasal dari Yang Maha Sempurna, Allah SWT. Dunia pun hingga kini belum mampu menghapus kejayaan Khulafaur Rasyidin, Kekhilafahan Abasiyah, Kekhilafahan Umawiyah hingga Turki Utsmaniyah.
Deretan panjang kemakmuran yang tak bisa terlampaui hingga kini meski zaman berganti dan teknologi semakin canggih. Ketahanan pangan dan swasembada pangan adalah hal pokok bagi semua negara, dan Islam memiliki mekanisme tepercaya, yaitu sistem ekonomi Islam.
Islam mengatur kepemilikan atas harta dalam tiga hal, kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Negara wajib mengelola kepemilikan umum dan negara. Tidak boleh memprivatisasinya kepada asing atau swasta. Negara juga menerapkan hukum tanah yang terlantar, menghidupkan tanah mati berikut dan memberikan harta negara dari Baitulmal untuk subsidi rakyat, baik berupa benda bergerak maupun tidak.
Negara tidak sembarangan meratifikasi peraturan global sebagaimana hari ini, bahkan dengan negara kafir harbi fi'lan (yang sebenarnya menyerang Islam dan kaum muslim) hanya boleh ada hubungan perang, bukan yang lain.
Syarat lainnya adalah kepemimpinan yang harus diwujudkan adalah yang amanah, bertakwa dan mampu meriayah sebagaimana sabda Rasulullah Saw, " Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Jika pengaturan hari ini rumit, maka wajib kita ganti dengan yang lebih baik dunia akhirat. Wallahualam bissawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar