Zalim, Ketetapan Standar Hidup dengan Ukuran Tak Layak


Oleh : Sri Mulyani

Buruh merespon standar hidup layak yang ditetapkan oleh BPS dirasa tidak relevan dengan kondisi kehidupan yang layak. Negara membiarkan rakyat hidup dalam keterbatasan/kekurangan. Ini tidak bisa dilepaskan dari cara pandang negara terhadap rakyatnya yang mengikuti sistem kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme seperti sekarang, rakyat bukan menjadi prioritas perhatian karena penguasa tidak menjadikan pengurusan rakyat sebagai tugas pokok penguasa. Kapitalisme justru mengukur kesejahteraan dari pendapatan perkapita, yang akan membuat ukuran bersifat kolektif dan menyamarkan keberadaan individu miskin.

Standar hidup layak (SHL) sebesar 1,02 JT perbulan tersebut dikonfirmasi oleh BPS bahwa bukan standar pembiayaan hidup layak. Standar hidup layak yang ditetapkan BPS ternyata adalah dimensi standar hidup layak dalam IPM dihitung melalui rata-rata pengeluaran dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang sudah disesuaikan dengan inflasi dan paritas daya beli. Standar yang mencerminkan seberapa banyak barang dan jasa yang dikonsumsi, semakin tinggi angkanya, maka standar hidup dapat dikatakan lebih baik menurut BPS. 

Sebenarnya secara rinci, besaran tersebut adalah rata-rata perhitungan standar hidup layak di seluruh Indonesia yang di setiap wilayah berbeda satu sama lainnya. Misalnya tertinggi perhitungan standar hidup layak di Jakarta sekitar 1.6 juta perbulan dan terendah di Papua Pegunungan dengan pengeluaran riil per kapita paling rendah Rp. 475.583 per bulan (Bloomberg Technoz, Jakarta). 

Kritik mengenai penetapan standar hidup layak menuai kontroversi. Bagaimana tidak, karena penghasilan perkapita tadi, tidak memandang lagi berapa individu yang ditanggung dengan biaya hidup layak tersebut. Kalau mungkin hanya untuk makan cukup sebagai individu, bagaimana bisa memenuhi kebutuhan primer lainnya, misal perlu sewa rumah jika belum memiliki. Bagaimana pembiayaan transportasi. Belum lagi di masa kapitalis sekarang, permasalahan kesehatan, pendidikan, dan keamanan tidak dijamin oleh negara. Kalaupun ada pengamanan dari negara, tidak tercukupi SDM yang merata untuk mengayomi seluruh masyarakat. Terlebih dengan kondisi banyak orang yang tidak tercukupi kebutuhan primernya melakukan perbuatan-perbuatan kriminal tanpa pandang bulu. Keamanan terancam kapanpun dan dimanapun.
 
Konsep standar hidup layak dalam pandangan Islam adalah terjaminnya kebutuhan dasar masyarakat secara individu-individu rakyat. Kebutuhan primer sandang pangan dan papan harus dipenuhi secara layak. Sedangkan Kebutuhan dasar publik, seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan harus dipenuhi secara layak oleh negara.

Standar hidup layak dalam pandangan Islam adalah sejahtera bagi setiap individu secara menyeluruh. Artinya tidak ada seorangpun yang terlewat dari pemenuhan kebutuhan primer, yaitu sandang, pangan, dan papan. Tidak terpenuhinya kebutuhan primer tersebut bisa berakibat munculnya permasalahan lainnya dalam kehidupan publik. Kekurangan dalam pemenuhannya dapat berakibat fatal. Kematian, kelaparan, bencana, permasalahan sosial, dan kriminal lainnya.

Seseorang yang kelaparan misalnya akan melakukan pencurian. Bisa juga menyebabkan kematian jika tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya. Jika tempat tinggal tidak layak atau tidak punya tempat permanen, misalnya tidur di kolong jembatan, apabila air pasang, bisa kebanjiran dan lainnya termasuk misalnya pencemaran lingkungan atau masalah kesehatan terganggu.


Standar Hidup Layak dalam Pandangan Islam

Mewajibkan bekerja bagi laki-laki yang sudah dewasa untuk menafkahi diri dan keluarga yang menjadi tanggungannya. firman Allah SWT dalam Al Baqarah 233, yang artinya… "Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani, kecuali sesuai dengan kemampuannya.…."

Firman Allah Ta’ala lainnya dalam surat Ath Thalaq ayat 6, yang artinya "Tempatkanlah mereka (para istri yang dicerai) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka…"

Merujuk An-Nizham Al Istiqodi fil Islam (Karya Syaikh Taqiyudin) terkait pengaturan upah pekerja. Dalam syari'at Islam penting dalam memperkirakan gaji sebagai bagian dari akad ijarah, bukan berdasarkan produksi atau standar layak hidup.

Gaji diukur sesuai jasa, kinerja, dan profesionalitas pegawai. Sehingga setiap laki-laki baligh wajib bekerja baik untuk pemenuhan kebutuhan sebagai individu maupun sebagai pemberi nafkah keluarga yang dalam tanggungjawabnya. Sehingga perkiraan gaji tersebut memang layak untuk memenuhi kebutuhan primer dan ma'ruf. 

Sedangkan kebutuhan komunal ditanggung negara dan dibiayai dari Baitul mal. Sehingga masyarakat tidak perlu menumpuk harta atau berlebihan dalam menyimpan harta yang banyak karena kekhawatiran di masa depan jika harus memenuhi kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan keamanan misalnya. 

Dengan demikian, hanya Syari'at Islam yang layak mengatur kehidupan seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Syari'at memandang kebutuhan bagi seluruh rakyat, bukan hanya umat Islam saja. Rakyat dalam Islam adalah semua warga negara baik yang muslim maupun selain muslim. Wallahu a’lam bishowwab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar