Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Masyarakat Indonesia menggemakan kampanye gaya hidup superhemat atau frugal living di media sosial, menghadapi komitmen pemerintah merealisasikan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada Januari 2025 dari tarif sebelumnya 11% diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Langkah ini diambil pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara, tetapi dampaknya adalah potensi naiknya harga barang dan jasa, termasuk kebutuhan pokok.
“Pemerintah kemungkinan besar akan menaikkan PPN dari 11% menjadi 12% dan ini memang akan mendorong kenaikan inflasi," kata Chief Economist Permata Bank Josua Pardede dalam acara Permata Bank Wealth Wisdom 2024 di Park Hyatt Jakarta baru-baru ini.
Hal ini membuat masyarakat cenderung mencari cara untuk menghemat pengeluaran demi menjaga stabilitas finansial rumah tangga. Selain itu, inflasi yang masih berlanjut akibat krisis global juga memaksa masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam mengelola uang. Oleh karena itu, gaya hidup hemat tidak hanya menjadi pilihan saat ini. Namun juga kebutuhan untuk bertahan di tengah tekanan ekonomi.
Dalam sistem kapitalisme, pajak digunakan untuk menutupi defisit anggaran akibat sistem ekonomi berbasis utang. Akibatnya, rakyat terus dipalak melalui berbagai pungutan/pajak, termasuk PPN yang bersifat regresif, yakni membebani semua kalangan, termasuk golongan berpenghasilan rendah. Hal ini pun dilakukan secara terus-menerus. Tentu kebijakan pajak ini, apalagi di tengah kesulitan rakyat, sangatlah zalim.
Apalagi hal demikian hanya dibebankan kepada rakyat kecil, sedangkan para pengusaha dan investor malah diberi keringanan bahkan tidak sedikit yang dibebaskan. Ketika penunggak pajak adalah pengusaha, pemerintah begitu mudahnya membiarkan sampai puluhan tahun. Tapi ketika rakyat menunggak bayar, secara otomatis bunga berbunga semakin besar bahkan sampai ada kebijakan jemput bola dimana rakyat didatangi langsung ke rumahnya dengan alasan memudahkan rakyat.
Sementara rakyat bersusah payah terpaksa frugal living, pejabat malah seenaknya flexing. Tengok saja saat pelantikan yang dijadikan ajang pamer tas branded. Ada harga satu tas sama dengan gaji UMR puluhan tahun. Itu hanya sekedar tasnya. Belum dengan kebiasaan pamer lainnya. Bukan lagi naik turun mobil, mereka bahkan naik turun pesawat, pribadi pula. Dahsyat!
Kalau memang benar-benar sedang sulit, seharusnya wakil rakyat lebih merasakan sulitnya karena dia yang bertanggung jawab kepada atasannya. Seorang wakil direktur harus mengabdi kepada direktur. Wakil presiden harus mengabdi kepada presiden. Begitupun wakil rakyat seharusnya mengabdi kepada rakyat sebagai atasannya. Ketika atasannya terpaksa frugal living, seharusnya wakil rakyat juga demikian.
Mereka seharusnya turut merasakan penderitaan rakyat, bukan hanya dengan pencitraan tetapi benar-benar berada dalam situasi demikian. Toh selama ini pajak yang dikumpulkan hasil memeras rakyat hanya habis untuk menggaji pejabat yang jumlahnya makin banyak sementara pekerjaannya hanya ongkang-ongkang kaki. Sekedar hadir rapat pun banyak yang absen.
Itulah potret buram kehidupan dalam sistem Kapitalisme. Seorang penguasa hanya mewakili rakyat dalam senangnya. Rakyat tak perlu merasakan menenteng tas ratusan juta, biar istri wakil rakyat yang menentangnya. Rakyat tidak usah repot-repot jalan-jalan ke luar negeri naik pesawat pribadi, biar keluarga pejabat saja yang merasakan. Rakyat dipaksa harus sejahtera dengan gaji UMR bagi yang bekerja di pabrik, sementara mereka seenaknya minta gaji naik padahal sudah selangit.
Bagaimana pula nasib rakyat yang pekerja lepas, atau bahkan yang tidak bekerja? Harus hemat seperti apa lagi? Sekarang saja sudah super hemat. Makan seadanya, bahkan kadang tidak makan karena harus memenuhi pengeluaran yang lainnya yang tidak bisa ditunda. Listrik, air, kontrakan, biaya sekolah anak, kesehatan, dll. Sungguh sangat miris!
Kezaliman, khususnya terkait harta, apalagi yang dilakukan oleh penguasa terhadap ratusan juta rakyatnya, jelas haram. Allah SWT. berfirman, “Janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan jalan yang batil.” (TQS. Al-Baqarah: 188).
Imam Ibnu Katsir rahimahulLâh menjelaskan bahwa ayat ini melarang segala bentuk kezaliman dan perampasan hak milik (harta), apalagi yang dilakukan oleh penguasa terhadap rakyatnya (Lihat: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 1/521).
Rasulullah Saw. juga telah bersabda, “Tidaklah seorang hamba yang telah Allah beri amanah untuk mengurus urusan rakyatnya, lalu ia mati dalam keadaan memperdaya rakyatnya, kecuali ia tidak akan mencium bau surga.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Rasulullah Saw. pun bersabda, “Tidak akan masuk surga pemungut pajak (cukai).” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Al-Hakim).
Selain itu, dalam ajaran Islam, penguasa adalah pelayan/pengurus rakyat. Pengurus rakyat tentu tidak pantas memalak rakyatnya dengan aneka pajak. Rasulullah saw. bersabda, “Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang ia urus.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Hal demikian tentu tidak akan terjadi jika negara menerapkan sistem Islam. Sebagaimana yang terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Ketika itu kelaparan dan wabah menyerang Jazirah Arab terutama wilayah sekitar Makkah dan Madinah. Ini terjadi karena kekeringan melanda. Selama 9 bulan tak turun hujan. Lapisan-lapisan gunung berapi mulai bergerak dari dasar dan membakar permukaan. Akibatnya, semua tanaman di atasnya mati. Lapisan tanah itu menjadi hitam, gersang dan penuh abu, yang bila datang angin bertiup makin luas bertebaran.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" yang diterjemahkan Ali Audah menjadi "Umar bin Khattab, Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu" (PT Pustaka Litera AntarNusa, 2000) menjelaskan pada tahun ini dinamai "Tahun Abu" (Amar Ramadah). Akibat tak ada hujan dan tiupan angin serta hancurnya segala usaha pertanian dan peternakan itu, timbul kelaparan yang menelan banyak korban manusia dan binatang ternak. Hewan-hewan yang masih ada sudah kurus kering, tetapi karena lapar, orang menyembelih ternaknya dengan rasa jijik karena sudah begitu buruk.
Dengan demikian keadaan pasar jadi sepi, karena sudah tak ada lagi yang akan diperjualbelikan. Uang di tangan pun sudah tidak berarti apa-apa, sebab tak ada yang dapat dibeli untuk sekadar menyambung hidupnya. Perjuangan ini cukup lama dan bencana pun makin berat. Orang sudah menggali lubang-lubang tikus untuk memburunya. Pada permulaan musim kelaparan itu keadaan penduduk Madinah masih lebih baik. Madinah merupakan sebuah kota yang di waktu lapang penduduknya biasa menyimpan makanan, seperti yang biasa dilakukan oleh penduduk kota. Bila sudah mulai musim kemarau simpanan itu dikeluarkan untuk dimakan.
Sebaliknya penduduk pedalaman, tak ada yang dapat mereka simpan sehingga sejak permulaan mereka sudah menderita. Mereka malah ramai-ramai datang ke Madinah meminta bantuan Amirulmukminin dengan menyampaikan keluhan mengharapkan remah makanan yang dapat mereka makan. Mereka yang datang mengungsi ke Madinah saban hari terus bertambah sehingga makin banyak jumlahnya. Kota Madinah menjadi penuh sesak, penduduk merasa makin tertekan, kegersangan, dan kelaparan yang menimpa mereka pun sama seperti yang menimpa penduduk pedalaman.
Setelah kelaparan mencapai puncaknya, pernah terjadi Umar disuguhi roti yang diremukkan dengan samin. Ia memanggil seorang badui dan roti itu dimakannya bersama-sama. Orang badui itu setiap kali menyuap diikutinya dengan lemak yang terdapat di sisi luarnya. Oleh Umar ia ditanya: "Tampaknya Anda tak pernah mengenyam lemak?" "Ya," jawab orang itu. "Saya tak pernah makan dengan samin atau minyak zaitun, juga saya tak melihat ada orang memakannya sejak sekian dan sekian lamanya sampai sekarang." Sejak itu Umar bersumpah untuk tidak lagi makan daging atau samin sampai semua orang hidup seperti biasa. Ia tetap bertahan dengan sumpahnya itu sampai dengan izin Allah hujan turun dan musim paceklik berakhir. Ia sangat bersungguh-sungguh dengan sumpahnya itu.
Di pasar ada orang yang membawa samin dalam satu tabung kulit dan susu, juga dalam satu tabung kulit. Kedua barang itu dibeli oleh seorang anak muda dengan harga empat puluh dirham dan langsung pergi menemui Umar seraya katanya: "Allah sudah menerima sumpah Anda dan memperbesar pahala Anda. Ada orang yang membawa setabung susu dan setabung samin saya beli dengan harga empat puluh dirham. Terlalu mahal lalu Anda sedekahkan." "Saya tidak suka makan dengan berlebihan," jawab Umar. Ia menunduk sebentar lalu katanya lagi: "Bagaimana saya akan dapat memperhatikan keadaan rakyat jika saya tidak ikut merasakan apa yang mereka rasakan."
Maa syaa Allah, begitu bertanggungjawabnya pemimpin dalam sistem Islam. Kita pun bisa kembali merasakan keindahan dan nikmatnya dipimpin oleh seorang pemimpin selevel Khalifah Umar bin Khattab asalkan negaranya mau menerapkan sistem Islam. Solusi untuk mengatasi kezaliman pajak adalah kembali kepada syariat Islam. Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah Islam) yang menerapkan syariat Islam secara kaffah, perekonomian negara pun diatur dengan hukum-hukum Islam, termasuk dalam pengelolaan APBN, baik terkait pemasukan maupun pengeluarannya.
Menurut Syekh Abdul Zallum (2003), terkait pemasukan dalam APBN Khilafah Islam, ada 12 kategori. Di antaranya pemasukan dari harta rampasan perang (anfal, ganimah, fai, dan khumûs), pungutan dari tanah kharaj, pungutan dari nonmuslim (jizyah), harta milik umum, harta milik negara, harta yang ditarik dari perdagangan luar negeri (‘usyr), harta yang disita dari pejabat dan pegawai negara karena diperoleh dengan cara haram, zakat, dst. (Syekh Abdul Zallum, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah, hlm. 30).
Dari penjelasan di atas, salah satu sumber terbesar dalam APBN Khilafah Islam adalah harta milik umum (milkiyyah ‘âmah). Terkait harta milik umum ini Rasulullah Saw. bersabda, “Manusia berserikat dalam tiga perkara, yakni air, padang rumput, dan api (energi).” (HR. Abu Dawud).
Dalam hadis lainnya, sebagaimana penuturan Abyadh bin Hammal ra., disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah menarik (mengambil) kembali tambang garam yang semula sempat beliau berikan kepada Abyadh ra.. Tindakan beliau ini dilakukan setelah beliau diberi tahu oleh para sahabat tentang betapa melimpahnya tambang garam tersebut (menyerupai “al-mâ‘u al-‘iddu”, air yang terus mengalir tanpa henti). (HR. Ibnu Majah).
Dari kedua hadis ini, para ulama menyimpulkan bahwa semua sumber daya alam, di antaranya tambang yang depositnya melimpah adalah milik umum. Harta milik umum ini wajib dikelola oleh negara. Semua hasilnya lalu diberikan kepada seluruh rakyat, langsung ataupun tidak langsung. Harta milik umum ini haram diserahkan kepada individu/swasta apalagi dikuasai oleh pihak asing sebagaimana yang terjadi selama ini. (Lihat: Syekh Abdul Qadim Zallum, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah, hlm. 48–66).
Dalam konteks Indonesia, harta milik umum dapat memberikan penerimaan besar jika negara bisa meningkatkan nilai tambah komoditas tersebut secara optimal. Sebagai contoh, minyak mentah dapat meningkat nilainya hingga lebih dari 10–25 kali lipat jika diolah menjadi produk-produk industri petrokimia, seperti polyethylene yang menjadi bahan baku kemasan, botol, pipa, dan kabel. Bijih nikel (0,9–1,8 persen) seharga USD30,5 per ton, jika diolah menjadi High-Purity Nickel (99,9) seharga USD24,293, dapat meningkatkan nilainya menjadi 796 kali lipat. (Shanghai Metal Market,16/7/2023).
Berdasarkan perhitungan atas beberapa sumber penerimaan APBN, maka potensi pendapatan dari delapan harta milik umum saja (batu bara, minyak mentah, gas, emas, tembaga, nikel, hutan, dan laut) dapat diperoleh laba sebesar Rp5.510 triliun (melebihi kebutuhan APBN yang hanya sekitar Rp3.000 triliun). Sesungguhnya masih ada 12 sumber pendapatan lain yang juga memiliki potensi penerimaan yang cukup besar. Dengan itu tentu negara tidak perlu memungut pajak dari rakyat ataupun berutang ke luar negeri. Syaratnya hanya satu, yakni semua itu harus dikelola berdasarkan ketentuan syariat Islam. (Lihat: Muis, Al-Waie, Edisi Maret 2024).
Alhasil, umat dan bangsa ini harus benar-benar kembali pada syariat Islam dalam semua aspek kehidupan. Termasuk dalam mengelola perekonomian, di antaranya dalam pengelolaan APBN-nya. Selain karena kewajiban dari Allah SWT. dan Rasul-Nya, menegakkan sistem Islam bukanlah utopia. Sejarah mencatat bagaimana Khilafah Islam selama lebih dari 13 abad berhasil menciptakan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyatnya tanpa memalak mereka dengan aneka pajak yang menyengsarakan. Mari kita bersama-sama mewujudkannya dengan mengkaji Islam Kaffah bersama kelompok dakwah Islam ideologis.
Wallahu a'lam bish-shawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar