Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Akhir-akhir ini di beberapa stasiun televisi gencar menayangkan proses pengadilan para koruptor. Tayangan ini mengalahkan acara sinetron kegemaran emak-emak. Hal ini terlihat dari topik perbincangan emak-emak saat kumpul melepas lelah disela kesibukan rumah.
"Bagus ya, pemerintahan sekarang! Para koruptor langsung kena hukum," begitu celoteh salah satu emak.
"Penjara juga gak bakalan penuh sebab mereka gak dipenjara asal mengembalikan duit negara. Bisa nih duitnya buat kita-kita!" celoteh yang lain.
Benarkah demikian? Bisa saja! Sebab hukum yang berlaku saat ini adalah hukum buatan manusia yang keberadaannya disesuaikan dengan kepentingan penguasa dan pengusaha yang telah menghantarkan penguasa ke singgasananya.
Menurut Menko Kumham Imipas Yusril Ihza Mahendra, meski UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) memang jelas menyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus sifat pidana dari perbuatan korupsi, ketentuan pemberian amnesti dari presiden telah diatur dalam ketentuan lain yang lebih tinggi yakni Undang-Undang Dasar 1945.
Ia juga menyatakan, presiden memberikan grasi meminta pertimbangan Mahkamah Agung, sedangkan untuk memberikan amnesti dan abolisi meminta pertimbangan DPR. Grasi, amnesti, dan abolisi bisa diberikan terhadap tindak pidana apa pun. Jika presiden memberikan amnesti kepada para koruptor, baik yang sudah divonis ataupun belum, perkaranya secara otomatis akan selesai. Belum lagi remisi saat HUT RI atau perayaan lain. Lanjut belum Laginya, penerapan hukum yang tajam ke bawah serta tumpul ke atas. Tengok saja keputusan hakim yang baru saja kepada Koruptor timah. Padahal di China saja yang negaranya menganut faham komunis menerapkan hukuman bagi Koruptor adalah eksekusi mati hingga hak politik dicabut.
Sebaiknya solusi bagi korupsi tidak sebatas pada konteks pengembalian uang hasil korupsi, lantas selesai. Meskipun dengan uang tersebut beban APBN akan berkurang, dan uangnya bisa dipakai untuk mencicil utang negara. Apalagi pernyataan Prabowo bahwa koruptor bisa mengembalikan uang yang dikorupsi secara diam-diam, apakah bisa menjamin kepastian pengembalian uang yang dikorupsi itu? Jangan-jangan nanti uangnya malah dikorupsi ulang!
Korupsi adalah perkara sistemis yang solusinya harus mengganti paradigma perihal korupsi itu sehingga penegakan hukumnya jelas, tegas, dan tuntas. Bukan dengan amnesti, grasi, apalagi rehabilitasi. Dipenjara saja mereka tetap maskulin, ganteng-ganteng, dapat penjara mewah bak hotel berbintang lima, apalagi hanya permohonan maaf dan rehabilitasi. Yang narkoba saja kembali dari rehabilitasi masih bisa jadi pemakai lagi bahkan pengedar. Bagaimana dengan koruptor?
Semestinya penguasa juga mengganti paradigma mengenai korupsi sehingga korupsi dipahami sebagai tindakan yang haram dilakukan. Inilah sebabnya korupsi hanya bisa diberantas tuntas dengan sistem Islam. Islam memiliki standar yang tegas mengenai halal dan haram, termasuk tindakan korupsi. Paradigma Islam menyatakan korupsi sebagai tindakan khianat yang dilakukan penguasa terhadap amanah dari rakyat. Dengan ini, Islam jelas mengharamkan tindakan korupsi.
Dalam fikih Islam, tindakan korupsi dekat dengan makna penggelapan atau penyelewengan uang negara dan dapat dikategorikan perbuatan khianat, orangnya disebut khaa’in (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 31). Istilah yang juga masuk dalam kategori korupsi adalah suap-menyuap atau disebut dengan risywah (rasuah). Bentuk lain korupsi adalah project fee karena terkategori hadiah atau hibah yang tidak sah. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Syakshiyyah Islamiyyah Jilid 2 menyampaikan bahwa setiap orang yang memiliki otoritas memenuhi kepentingan masyarakat maka harta yang diambilnya untuk menjalankan tugas tersebut adalah suap, bukan upah.
Ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Barang siapa yang telah kami ambil untuk melakukan suatu tugas dan kami telah menetapkan rezeki (gaji atau upah) maka harta yang dia ambil selain gaji dari kami adalah ghulul (pengkhianatan, korupsi, atau penipuan).” (HR. Abu Dawud).
Semua modus korupsi adalah harta yang hukumnya haram dalam Islam karena diperoleh melalui jalan yang tidak sesuai syariat (ghairu al-masyru’) (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, hlm. 117—119).
Allah SWT. berfirman, “Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188).
Selain itu, Islam memiliki standar dalam memilih penguasa/pejabat negara, yakni mereka yang paling dapat berbuat terbaik dalam kedudukan yang akan disandangnya dan hatinya dipenuhi dengan keimanan. Orang-orang yang diamanahi sebagai penguasa akan melaksanakan amanah jabatan tersebut dengan sebaik-baiknya semata karena takut kepada Allah SWT.
Rasulullah Saw. bersabda, “Tidaklah seorang hamba yang Allah beri amanah kepemimpinan, tetapi ia tidak menindaklanjutinya dengan baik maka ia tidak dapat mencium bau surga.” (HR. Bukhari).
Rasulullah Saw. juga melaknat perilaku yang demikian, sebagaimana riwayat dari Abu Hurairah ra., “Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad).
Dalam Islam, ketegasan sistem Islam dalam memberantas korupsi tidak terlepas dari sifat sistem sanksinya, yakni sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Maknanya, agar orang lain yang bukan pelanggar hukum bisa tercegah untuk melakukan tindak kriminal yang sama. Selain itu, jika sanksi itu diberlakukan kepada pelanggar hukum, sanksi tersebut dapat menebus dosanya.
Korupsi merupakan perbuatan khianat, orangnya disebut khaa’in. Dalam hukum Islam, tindakan khaa’in tidak termasuk definisi mencuri (sariqah) karena definisi mencuri adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam (akhdzul maal ‘ala wajhil ikhtifaa’ wal istitar). Sedangkan khianat bukanlah tindakan seseorang mengambil harta orang lain, melainkan tindakan pengkhianatan yang dilakukan seseorang, yaitu menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepada seseorang itu (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 31).
Allah SWT. berfirman, “Barang siapa yang mengambil harta khianat maka pada hari kiamat dia akan datang membawa harta hasil khianat itu. Kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang dia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedangkan mereka tidak dizalimi.” (QS. Ali Imran: 161).
Sanksi (uqubat) untuk khaa’in bukanlah hukum potong tangan sebagaimana bagi pencuri (qath’ul yad) menurut kandungan QS Al-Maidah ayat 38, melainkan takzir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sanksinya bisa mulai dari yang paling ringan, seperti sekadar nasihat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Teknis hukuman mati itu bisa digantung atau dipancung. Berat atau ringannya hukuman takzir ini disesuaikan dengan berat atau ringannya kejahatan yang dilakukan (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78—89). Demikianlah pemberantasan korupsi yang efektif.
Sistem Islam juga menyuburkan ketakwaan dalam diri setiap individu sehingga memudahkan proses hukum pada pelaku. Dengan ketakwaannya, pelaku tidak akan tahan berlama-lama menyimpan kesalahan, alih-alih menimpakan konsekuensi hukuman kepada orang lain yang bisa ditumbalkan. Dirinya justru meyakini bahwa hukuman di akhirat akan lebih dahsyat. Jadi, pelaku akan menyerahkan diri pada pihak berwenang dan mengakui kesalahannya. Dirinya pun rida dengan sanksi yang harus ia terima.
Alangkah indahnya sistem Islam, lebih indah dari akhir sinetron di televisi. Saatnya umat dan bangsa ini benar-benar kembali pada syariat Islam dalam semua aspek kehidupan.Selain karena kewajiban dari Allah SWT. dan Rasul-Nya, menegakkan sistem Islam bukanlah utopia. Sejarah mencatat bagaimana Khilafah Islam selama lebih dari 13 abad berhasil menciptakan kesejahteraan dan keamanan bagi rakyatnya. Mari kita bersama-sama mewujudkannya dengan mengkaji Islam Kaffah bersama kelompok dakwah Islam ideologis.
Wallahua'lam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar