Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Tahukah kamu Rasulullah Saw. pernah sampaikan kepada para sahabat bahwa ada orang yang di dunianya aman dan sejahtera tak kurang suatu apa tapi di akhiratnya bangkrut tak punya suatu apapun? Seandainya pun dia sholat, dia puasa, dia tunaikan zakat, dia naik haji berkali-kali, tetap saja amal-amal itu tak berguna. Sebab amal-amal itu akan dia berikan pada orang-orang yang hartanya dia makan tanpa hak. Jika amal-amal itu habis, maka dosa orang-orang akan ditanggungnya. Dialah koruptor.
Di Indonesia yang katanya tanah surga karena tongkat kayu dan batu bisa jadi tanaman, ternyata kini masuk pada kategori negeri teraman bagi para koruptor. Tak tanggung-tanggung mantan presiden yang baru lengser pun masuk finalisasi orang terkorup versi Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP). Astaghfirullah!
Belum lagi pejabat di bawahnya juga terbukti banyak yang korup, pengusahanya juga. Terbaru kasus Harvey yang divonis 6 tahun 6 bulan dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (23/12/2024). Suami dari aktris Sandra Dewi itu juga dijatuhi pidana denda Rp 1 miliar. Majelis hakim juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti senilai Rp 210 miliar yang jika tidak dipenuhi dari harta bendanya, maka diganti dengan pidana penjara selama 2 tahun. Bahkan, denda Rp1 miliar itu dapat diganti dengan tambahan hukuman penjara selama enam bulan. Vonis itu dianggap terlalu ringan dibandingkan jumlah kerugian yang ditimbulkan hingga triliunan rupiah.
Semakin hari praktik korupsi semakin bertambah banyak, jumlah pelaku maupun jumlah nominalnya. Kalau dulu masih korupsi senilai ratusan juta, lalu naik menjadi miliaran rupiah, bahkan hingga detik ini naik lagi di angka fantastis, yaitu ratusan triliun rupiah. Seluruh kebijakan yang ditetapkan seakan-akan mustahil dilepaskan dari praktik korupsi. Semua presiden terpilih menyatakan komitmennya untuk memberantas korupsi di awal masa jabatannya, tetapi selalu mengecewakan dalam pelaksanaannya.
Sistem sekuler telah menjadikan manusia hidup tidak berlandaskan pada agama, tetapi berlandaskan hawa nafsunya. Penguasa dan para pejabatnya tidak memiliki kontrol internal (ketakwaan) untuk mencegah dirinya dari melakukan perbuatan dosa. Karena mereka telah membuang agama dari kehidupan bernegara dan menjadikan standar perbuatan mereka bukan halal dan haram, melainkan manfaat materi semata.
Kehidupan sekuler juga menghilangkan kontrol eksternal. Kehidupan yang individualistik menjadikan masyarakat fokus pada kehidupannya sendiri tanpa memedulikan kehidupan orang lain. Hubungan antarmanusia pun hanya sebatas materi. Inilah yang menjadikan korupsi berjamaah semakin merajalela. Pelaku korupsi kompak saling menutupi perbuatan maksiat mereka agar kepentingan aman terjaga daripada harus saling melaporkan. Karena sebenarnya mereka saling tersandera satu sama lain.
Sistem yang berbiaya mahal akan menumbuhsuburkan politik transaksional. Seseorang yang mencalonkan dirinya untuk masuk parlemen pasti membutuhkan biaya besar. Maka, dari sinilah lahir para cukong politik, yaitu orang-orang yang siap mendanai untuk pemenangan salah satu calon. Jika calon cukong menang, sudah pasti agenda awal di masa jabatannya adalah sibuk mengembalikan uang milik sponsornya, bukan memikirkan kesejahteraan rakyat. Alhasil, dia akan melakukan berbagai cara, termasuk mencari celah untuk korupsi dalam setiap programnya.
Apalagi sanksi bagi koruptor tidak menciptakan efek jera sebab lahir dari akal manusia yang lemah. Ditambah lagi suguhan sel tahanan koruptor yang mewah, berbeda 180 derajat dengan sel tahanan rakyat biasa. Semua itu makin mengikis rasa keadilan di tengah rakyat.
Negara Indonesia menggunakan sistem hukum warisan Belanda, meskipun penjajah Belanda telah hengkang namun sistem hukumnya tetap dipakai sampai hari ini. Dan ternyata Belanda juga mengambil KUHP dari Perancis karena Belanda dijajah oleh Perancis. Sementara Perancis mengambil dari Romawi. Jelaslah ini adalah warisan hukum Romawi, maka pantas jauh dari nilai-nilai keadilan. Ditambah lagi kontrol masyarakat lemah, menambah karat timbangan keadilan ala kapitalisme yang memisahkan agama dari kehidupan, dan menuhankan materi. Apapun bisa dilakukan asal ambisinya terpenuhi.
Oleh karena itu, jangan pernah berharap dalam sistem demokrasi, korupsi akan mampu diberantas. Justru demokrasi yang menyebabkan tindak korupsi makin menjadi. Para pejabat berjamaah melakukan korupsi, politik saling sandera menjadikan mereka saling menutupi perbuatan maksiat agar tidak terbongkar.
Berbeda dengan sistem Islam. Islam telah menetapkan bahwa korupsi termasuk perbuatan khianat. Pelakunya disebut khaa’in (khianat). Karena pelaku korupsi melakukan penggelapan uang yang diamanatkan (dipercayakan) kepada seseorang. Dengan demikian, korupsi hukumnya haram; pelakunya berdosa karena sudah melakukan kemaksiatan.
Adapun cara khilafah menyelesaikan masalah korupsi bahkan mencegah korupsi, antara lain: Pertama, penerapan ideologi Islam. Hal tersebut meniscayakan penerapan syariat Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam hal kepemimpinan. Tugas pemimpin adalah untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan Al-Qur’an dan as-Sunah. Begitu pula dengan para pejabat lainnya.
Kedua, pemilihan penguasa dan para pejabat yang bertakwa dan zuhud sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Ketakwaan individu akan mencegah seseorang untuk berbuat maksiat. Sehingga, tatkala dia menjadi pejabat negara, maka dia akan berusaha amanah untuk mengurus rakyat. Ketakwaan akan menjadikan seorang pejabat dalam melaksanakan tugasnya selalu merasa senantiasa diawasi oleh Allah Swt.
Ketika takwa dibalut dengan zuhud (memandang rendah dunia dan qanaah dengan pemberian Allah SWT.), maka para pejabat negara yang terpilih benar-benar amanah. Karena bagi mereka, dunia bukanlah tujuan. Akan tetapi, tujuan mereka hidup di dunia adalah demi meraih ridha Allah SWT. semata.
Mereka sangat memahami bahwa menjadi pemimpin, pejabat, atau pegawai negara adalah wasilah untuk mewujudkan izzul Islam wal muslimin, bukan demi kepentingan materi ataupun memperkaya diri dan golongannya.
Ketiga, pelaksanaan politik secara syar’i, yaitu ri’ayah syar’iyyah, yakni bagaimana mengurusi rakyat dengan sepenuh hati dan jiwa sesuai dengan tuntutan syariat Islam. Bukan politik yang tunduk pada kepentingan oligarki, pemilik modal, atau para elite.
Keempat, penerapan sanksi tegas yang berefek jera. Dalam Islam, perbuatan korupsi merupakan kemaksiatan dan pelaku maksiat tidak dibiarkan begitu saja. Setiap kemaksiatan dihukumi sebagai kejahatan, dan pelaku kejahatan wajib diberi sanksi. Untuk perbuatan korupsi, syariat telah menetapkan pelakunya akan diberi sanksi takzir.
Syaikh Abdurrahman Al-Maliki dalam kitabnya Nizhamul Uqubat (hal. 78–89) menjelaskan, takzir adalah sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim.
Bentuk sanksinya bisa mulai dari yang paling ringan, seperti nasihat atau teguran dari hakim, hingga hukuman berat seperti penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi paling tegas, yaitu hukuman mati. Berat ringannya hukuman takzir disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan.
Selain pelaku korupsi diberi sanksi takzir, syariat menetapkan harta hasil korupsi termasuk harta ghulul (harta yang diperoleh melalui kecurangan). Harta ghulul hukumnya haram.
Rasulullah Saw. bersabda: "Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian gaji untuknya, maka apa yang ia ambil setelah itu adalah harta ghulul." (HR. Abu Dawud dan Al-Hakim).
Harta ghulul wajib diserahkan kepada negara untuk dimasukkan ke baitul maal. Sanksi yang tegas dan konsisten ini akan memberi efek jawabir (penebus dosa) dan zawazir (pencegah). Khalifah wajib berlaku adil kepada siapa pun yang terbukti bersalah melakukan korupsi, termasuk jika pelakunya adalah teman sendiri, kerabat, ataupun sanak saudara.
Demikianlah sanksi bagi koruptor dalam khilafah yang niscaya bisa menimbulkan efek jera dan mampu mencegah korupsi. Negeri ini membutuhkan kepemimpinan Islam untuk menyelesaikan berbagai masalah, bukan hanya kasus korupsi tetapi juga kasus lainnya yang merugikan masyarakat hingga negara. Sungguh suasana seperti ini hanya ada jika negara menerapkan sistem Islam kaffah dalam naungan Khilafah.
Wallahu'alam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar