Oleh : Annisa A
Pendidikan seharusnya menjadi jembatan menuju masa depan yang cerah bagi setiap anak, bukan sekadar hak istimewa yang hanya dapat diakses oleh mereka yang mampu. Namun, kasus viral seorang siswa SD di Medan yang dihukum duduk di lantai karena menunggak pembayaran SPP (Kompas, 12 Januari 2025) membuka mata kita pada wajah buram sistem pendidikan saat ini. Di balik tembok sekolah yang megah, tersembunyi kenyataan pahit bahwa pendidikan telah berubah menjadi ladang bisnis yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam sistem kapitalisme, pendidikan sering kali dipandang sebagai komoditas yang diperjualbelikan. Ketika negara menyerahkan tanggung jawab pendidikan kepada pihak swasta, biaya pendidikan melonjak dan menjadi beban berat bagi banyak keluarga kurang mampu. Akibatnya, anak-anak yang seharusnya fokus belajar malah harus menanggung tekanan akibat keterbatasan ekonomi, mulai dari tekanan mental hingga fisik. Hal ini tidak hanya menciptakan ketidakadilan, tetapi juga memperdalam jurang kesenjangan sosial. Seperti yang disampaikan Komisi X DPR RI, tindakan menghukum siswa karena tunggakan SPP adalah hal yang tidak etis dan melukai nilai-nilai kemanusiaan (Kompas, 12 Januari 2025).
Hukuman seperti ini tidak hanya mempermalukan siswa di depan teman-temannya, tetapi juga menciptakan trauma psikologis yang dapat berdampak jangka panjang. Bagaimana seorang anak dapat merasa nyaman belajar jika ia diperlakukan seperti ini? Sistem yang memprioritaskan keuntungan dibandingkan kesejahteraan siswa jelas menunjukkan kegagalan negara dalam menjalankan perannya sebagai pelindung hak rakyat.
Sebaliknya, Islam memandang pendidikan sebagai tanggung jawab negara yang harus diberikan secara gratis kepada seluruh rakyat, tanpa memandang status sosial atau ekonomi. Dalam sistem Islam, dana pendidikan diambil dari pos kepemilikan umum, seperti hasil pengelolaan sumber daya alam. Dengan mekanisme ini, negara mampu menyediakan fasilitas pendidikan berkualitas, membayar guru yang kompeten, dan menjamin akses pendidikan merata bagi semua kalangan.
Jika prinsip ini diterapkan, kasus seperti hukuman terhadap siswa karena tunggakan biaya tidak akan pernah terjadi. Setiap anak, baik kaya maupun miskin, berhak mendapatkan pendidikan yang layak tanpa diskriminasi. Pendidikan tidak hanya menjadi jalan untuk mewujudkan mimpi, tetapi juga sarana untuk menciptakan generasi yang cerdas, beradab, dan bermartabat.
Sudah saatnya kita merenungkan ulang sistem pendidikan kita. Pendidikan tidak boleh menjadi alat diskriminasi atau bisnis semata. Negara harus hadir memberikan layanan pendidikan yang manusiawi, adil, dan merata. Dengan begitu, tidak ada lagi anak-anak yang dipermalukan atau kehilangan haknya untuk belajar hanya karena keterbatasan ekonomi. Pendidikan adalah kunci untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi seluruh rakyat.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar