Oleh : vieDihardjo (Alumnus Hubungan Internasional)
Direktur Center Of Economic And Law Studies (Celios), Bima Yudhistira mengatakan, perubahan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) nomor 7 tahun 2021 memberikan keleluasaan pada pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam rentang 5-15%. Yudhistira menilai, kenaikan pajak akan semakin menekan masyarakat, terutama Gen-Z dan kelompok ekonomi menengah kebawah karena akan terjadi penurunan daya beli, peningkatan utang dan ketergantungan pada sektor informal seperti thrifting dan jastip. Namun pemerintah tak bergeming dengan adanya protes daei masyarakat. PPN Indonesia termasuk tertinggi di Asean, bersama Filipina (12%), Malaysia (8%) dan Singapura (9%).
Tidak hanya berdampak pada sektor daya beli masyarakat, kenaikan PPN 12% diduga kuat berdampak pada gangguan mental masyarakat. Merujuk pada survei yang dilakukan oleh Populix faktor pemicu gangguan kesehatan mental adalah karena masalah keuangan sebesar 59 persen, kesepian 46 persen, beban kerja 37 persen, trauma 28 persen, beban dari pasangan 17 persen. Menurut World Health Organization (WHO) faktor penyebab gangguan mental diantaranya adalah masalah ekonomi, seperti kehilangan pekerjaan atau mata pencaharian dan kemiskinan (www.ayosehat.kemkes.go.id 6/4/2024). Gangguan kesehatan mental yang terjadi bisa dalam bentuk ringan, seperti stress dan gangguan kecemasan hingga berat seperti melakukan bunuh diri.
Kepala Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Pembajun Setyaningastutie mengungkapkan, faktor ekonomi dan penyakit menahun menjadi pemicu dominan kasus bunuh diri di Kabupaten Gunungkidul. Korban yang melakukan aksi tersebut mayoritas berusia di atas 50 tahun. Di Kabupaten Sleman, pemicu bunuh diri lebih banyak, dari masalah ekonomi, konflik keluarga, penyakit kronis, pinjaman online (pinjol), hingga kepribadian introvert. Kasus di Sleman, korbannya juga ada anak muda, dengan rentang usia 20 hingga 60 tahun (www.mediaindonesia.com 11/10/2024)
Kenaikan PPN 12% Memicu Ketidakpastian Ekonomi dan Kekhawatiran di Masa Depan
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis pertumbuhan konsumsi rumahtangga hanya 4,91% pada triwula ketiga tahun 2024, menurun -0,48 per tiga bulanan. Sementara deflasi, peningkatan nilai mata uang meningkat dan harga-harga barang secara umum jatuh, sehingga produsen menguranngi jumlah produksi dan memutus hubungan kerja sehingga pengangguran meningkat, terjadi selama lima bulan berturut-turut Mei-September 2024. Terjadi juga penurunan omzet Usaha Kecil Menengah (UKM) hingga 60% menurut laporan Bank BRI yang menandakan lemahnya kondisi ekonomi masyarakat.
Kenaikan PPN 12% berpotensi menaikkan kemiskinan. Direktur kebijakan publik Center Of Economic And Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar, kenaikan PPN 12% akan membuat kelompok miskin mengeluarkan dana tambahan konsumsi sebesar 101.880 sedangkan kelas menengah sebesar 354.293 yang akan menurunkan kelas menengah pada kelas menengah rentan miskin. Meskipun pemerintah mengatakan PPN 12% tidak akan dikenakan untuk barang-barang kebutuhan pokok, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman menyatakan, “PPN ini kan berantai, karena ada margin masing-masing mata rantai sehingga akan akumulasi, ujung-ujungnya kalau saya perkirakan akan naik di tingkat konsumen itu sekitar 2-3 persen (kenaikan harga) akibat kenaikan PPN itu," Narasi yang dibangun bahwa kenaikan PPN 12% tidak berdampak signifikan pada masyarakat tidak benar karena barang-barang yang dikonsumsi masyarakat menengah bawah juga mengalami kenaikan, misalnya, suku cadang motor, deterjen, sabun dan peralatan elektronik. Jelas akan terjadi perlambatan pertumbuhan konsumsi rumahtangga. Pada PPN 10% pertumbuhan konsumsi rumahtangga berada pada angka 5%, naik PPN 11% pertumbuhan konsumsi diangka 4,9% pada 2022 dan 4,8% pada 2023.
Hal lain yang terdampak adalah investasi. Menurut laporan BBC, beberapa perusahaan besar telah mempertimbangkan memindahkan usahanya ke negara yang tarif pajaknya lebih kompetitif, jika hal ini terjadi maka pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran sangat mungkin terjadi. Para investor juga mempertimbangkan untuk berinvestasi karena mempertimbangkan pertumbuhan bisnis yang lambat karena daya beli masyarakat yang menurun, mereka akan sangat berhati-hati mengalokasikan modalnya. Tidak ada pertumbuhan investasi berarti lapangan kerja yang sulit didapatkan. Meskipun pemerintah menyatakan akan memberi kompensasi pada kelompok-kelompok yang rentan terdampak kebijakan kenaikan PPN 12 % ini selama 2 bulan. Namun pada bulan ketiga telah memasuki puasa ramadan dan persiapan hari raya idul fitri bagi umat islam yang mayoritas di Indonesia, sehingga pola konsumsi masyarakat sudah bisa dipastikan akan besar, namun harga-harga juga makin naik dengan adanya kenaikan pajak ini. Jika kenaikan PPN 12% tetap diberlakukan pada 1 Januari 2025, maka potensi gangguan kesehatan mental masyarakat juga akan meluas.
Islam Memerintahkan Mengurus Rakyat Bukan Mengejar Pajak!
Di dalam islam, mengambil hak orang lain tanpa kerelaan dan tanpa alasan yang dibenarkan syariah adalah kedzoliman. Sebagaimana Rasullullah bersabda, ”Sungguh darah, harta dan kehormatan kalian itu haram diganggu, sebagaimana haramnya hari kalian ini, pada bulan ini dan di negeri kalian ini. Ingatlah, bukankah aku telah menyampaikan?” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Sehingga memungut pajak (dharibah) tanpa kerelaan dan alasan yang dibenarkan oleh syariah adalah haram. Rasullullah bersabda,
إِنَّ صَاحِبَ الْمَكْسِ فِي النَّارِ
Sungguh pemungut cukai berada di dalam neraka (HR Ahmad dan Abu Dawud).
Islam memandang pajak sebagai berikut,
Pertama, karena hukum asal pajak (dharibah) adalah haram, maka pajak bisa ditarik hanya dalam keadaan darurat. Misalnya, kas Baitul mal sedang kosong sehingga pengaturan urusan rakyat yang darurat juga terganggu. Maka alasan untuk memungut pajak untuk meningkatkan penerimaan negara tidak bisa dibenarkan dan bisa jatuh kepada kedzoliman
Kedua, dharibah (pajak) dipungut secara selektif, hanya pada orang-orang tertentu yang berkecukupan dan mampu, tidak dikenakan pada orang yang tidak mampu.
Ketiga, Pajak adalah penerimaan negara islam (khilafah) yang bersifat pelengkap (bukan utama) sehingga hanya dipungut saat keadaan Baitul mal benar-benar kosong untuk membiayai urusan-urusan rakyat. Dalam hal Indonesia pajak menjadi penerimaaan negara sekitar 70-80% sementara sumberdaya alam masih belum dikelola secara optimal sebagai penerimaan negara justru dikelola oleh asing dalam penanaman modal asing (PMA). Didalam sistem islam mengatur pos-pos penerimaan dan pos-pos pengeluaran negara (khilafah) dan pajak dipungut sebagai alternatif terakhir saat baitul mal koson dan dengan syarat (kondisi) yang sangat ketat (tertentu) yang telah ditetapkan oleh syariah.
Dalam hal PPN 12% yang dipaksakan dikenakan pada masyarakat dimulai 1 Januari 2025 adalah kedzoliman, karena negara belum mengelola secara optimal kepemilikan umum berupa sumber daya alam yang sangat melimpah-ruah baik migas maupun non migas seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat." Tapi justru dikelola dan dinikmati oleh pengusaha-pengusaha yang diberi izin mengelola karena memiliki modal sementara rakyat dikejar pajak yang semakin banyak jenisnya. Alih-alih menyelesaikan defisit penerimaan negara, dengan jenis pajak yang semakin banyak dan tinggi rakyat justru semakin stress dan mengalami gangguan kesehatan mental.
Maka tidak jalan lain selain menerapkan islam dalam mengelola negara. Mengganti sekularisme (memisahkan agama dari negara) dengan menerapkan islam secara menyeluruh (kaffah) dalam bingkai khilafah’ala minhajin nubuwwah.
Wallahu’alam bisshowab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar