Oleh : Eulis Nurhayati
Kembali berulang seruan toleransi yang bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan oleh Menteri Agama, kepala daerah dan pejabat lainnya. Dilansir dari radarsampit.jawapos online, Menteri Agama Republik Indonesia, Nasaruddin Umar, mengajak seluruh masyarakat untuk terus menjaga keharmonisan antar umat beragama menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru 2024/2025. ”Kita harus memelihara hubungan baik sebagai warga bangsa yang hidup dalam keberagaman," ungkap Nasaruddin.
Selain itu, Ketua Komisi I DPRD Kota Banjarmasin, Aliansyah, turut mengimbau masyarakat untuk menjaga suasana perayaan yang aman dan tertib. Ia berharap toleransi antar warga tetap terjaga selama perayaan berlangsung. ”Semoga Natal dan Tahun Baru di Banjarmasin tetap aman, damai, dan tertib, seperti tahun-tahun sebelumnya. Mari kita rayakan dengan penuh kesederhanaan dan lebih banyak mendekatkan diri kepada Tuhan. Toleransi antarwarga juga harus terus ditingkatkan," ujar Aliansyah.
Adapun Pemkot Surabaya memastikan kesiapan menyambut perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2024/2025, dengan fokus utama pada pengamanan tempat ibadah dan menjaga kerukunan umat beragama. Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi menegaskan pentingnya kerja sama semua pihak untuk memastikan keamanan dan kenyamanan warga, terutama umat Kristiani yang merayakan Natal. (Sumber: jawapos online 13/12/24).
Pernyataan-Pernyataan diatas akan terus berulang dan diopinikan. Selama tidak adanya pemahaman akan tugas penguasa dan pejabat negara dalam menjaga urusan umat termasuk dalam penjagaan negara atas akidah umat. Apalagi ditambah dengan alasan HAM yang dipakai sebagai pijakan dalam berbagai pernyataan dan tindakan saat ini. Dan bahkan menjadi salah satu penyebab orang untuk berbuat sesuka hatinya, terlebih ide tentang HAM ini sejatinya lahir dari rahim sekularisme. Keduanya merupakan produk akal manusia yang jauh dari bimbingan agama, bahkan bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Terbukti, inti dari ide HAM mengerucut pada satu kata saja, yakni bahwa manusia lahir dalam keadaan bebas merdeka. Selain itu ditambah masifnya kampanye moderasi beragama, membuat umat makin jauh dari pemahaman yang lurus. Asal mula moderasi beragama, pada dasarnya merupakan bagian dari rangkaian proses sekularisasi pemikiran Islam ke tengah umat yang diberi warna baru. Ide ini menyerukan untuk membangun Islam inklusif yang bersifat terbuka dan toleran terhadap ajaran agama lain dan budaya. Tentu saja hal ini bertentangan dengan Islam. Tujuannya tidak lain untuk membuat umat ragu dan menjauhkan umat Islam dari pemahaman Islam yang lurus, agar nilai-nilai dan praktik Islam dapat dieliminasi dari kaum muslim dan diganti dengan pemikiran dan budaya Barat.
Pada akhir tahun ini umat perlu waspada dan menjaga diri agar tetap berada dalam ketaatan pada Allah Swt. Umat membutuhkan adanya reminder karena kecenderungan masyarakat semakin longgar. Hal ini terjadi karena negara tidak memfungsikan diri sebagai penjaga akidah. Pertanyaannya mengapa negara terkesan tidak hadir untuk menjaga dan melindungi akidah umat Islam? Tidak lain karena negara saat ini menganut dan menerapkan akidah sekularisme. Sekularisme hakikatnya adalah akidah sesat. Pasalnya, sekularisme adalah aqidah yang meyakini agama harus dipisahkan dari urusan negara. Dari sinilah banyak permasalahan dan pelanggaran terhadap hukum syara yang dilakukan oleh umat Islam itu sendiri.
Adapun Islam memiliki definisi yang jelas soal pelanggaran hukum syara. Islam telah memberikan aturan bagi segala aktivitas manusia berdasarkan hukum syar’i. Seandainya ia melanggar hukum-hukum tersebut, maka ia terkategori telah berbuat cela (al-qabih), sehingga dapat dikatakan juga bahwa ia telah berbuat kejahatan (al-jarimah). Al-Muhami ‘Abdurrahman al-Maliki, dalam kitabnya, Nizham al-‘Uqubat, menjelaskan batasan tindakan atau perbuatan jahat sebagai berikut, “Perbuatan jahat adalah perbuatan tercela (qabih). Perbuatan tercela adalah apa saja yang dinyatakan tercela oleh syariat. Karena itu, suatu perbuatan tidak dinyatakan sebagai tindakan kejahatan, kecuali jika dinyatakan oleh nash syariat sebagai perbuatan tercela. Ketika itu perbuatan tersebut dinyatakan sebagai kejahatan. Tanpa melihat lagi derajat ketercelaannya. Dengan kata lain, tanpa memandang lagi apakah tindakan jahat tersebut besar atau kecil. Syariat telah menjadikan perbuatan tercela sebagai dosa yang harus dikenai sanksi. Jadi, setiap dosa adalah tindakan kejahatan itu sendiri”.
Islam juga memiliki konsep yang jelas dalam interaksi dengan agama lain. Seperti halnya prinsip toleransi dalam Islam yang telah menjaga keharmonisan hidup bermasyarakat selama ini ketika Islam diterapkan secara kaffah. Konsep toleransi ini adalah membiarkan, serta tidak mengganggu ibadah dan kepercayaan agama lain. Hal ini digambarkan dengan jelas dalam firman Allah Swt., “Katakanlah, ‘Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah. Kalian juga bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kalian sembah. Kalian pun tidak pernah menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untuk kalian agama kalian dan untukku agamaku.” (QS Al-Kafirun [109]: 1–6).
Terlebih Islam menjadikan para pemimpin dan pejabat negara memberikan nasihat taqwa agar umat tetap terikat dengan aturan Islam khususnya dalam momen krusial yang berpotensi membahayakan aqidah umat. Karena dalam Islam akan dipahami bahwa hakikatnya kepemimpinan adalah sebagai tanggung jawab dunia dan akhirat. Artinya, seorang penguasa atau pemimpin di dunia bertanggung jawab atas nasib rakyatnya. Ia wajib menjaga agama rakyatnya supaya tetap dalam tauhid dan ketakwaan kepada Allah Taala. Para pemimpin ini juga paham bahwa tanggung jawab mengurus urusan rakyat ini akan dimintai pertanggungjawaban hingga ke akhirat. Rasulullah saw. menegaskan dalam sebuah riwayat hadits, “Tidaklah seorang manusia yang diamanahi Allah Swt. untuk mengurus urusan rakyat, lalu mati dalam keadaan ia menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga baginya.” (HR Bukhari).
Di Sisi yang lain daulah Islam juga menyiapkan Departemen Penerangan. Departemen ini akan memberikan penerangan/penjelasan bagaimana tuntunan Islam dalam menyikapi hari besar agama lain. Fungsi penerangan ini juga untuk menampilkan syiar dan dakwah Islam dari negara kepada rakyatnya dalam rangka menguatkan akidah mereka. Dan memberikan pemahaman bahwa Kaum Muslim dilarang untuk ikut menyemarakkan, meramaikan atau membantu mempublikasikan hari raya agama lain. Allah SWT berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ
“Sungguh orang-orang yang menyukai perkara keji (maksiat) itu tersebar di tengah-tengah orang Mukmin, mereka berhak mendapatkan azab yang pedih di dunia dan akhirat”. (TQS an-Nur [24]: 19).
Menyebarkan perbuatan keji (fakhisyah) juga mencakup semua bentuk kemaksiatan. Misalnya menyemarakkan, meramaikan dan menyiarkan Perayaan agama lain sama saja dengan ikut terlibat dalam penyebarluasan kekufuran dan kesyirikan yang diharamkan. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan, “Sebagaimana kaum musyrik tidak boleh menampakkan syiar-syiar mereka, tidak boleh pula kaum Muslim menyetujui dan membantu mereka melakukan syiar itu serta hadir bersama mereka. Demikian menurut kesepakatan ahli ilmu.” (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkâm Ahl al-Dzimmah, I/235).
Dalam sistem Islam, negara juga memiliki qadhi hisbah yang akan menjelaskan di tempat-tempat yang memungkinkan terjadinya interaksi umat Islam dengan agama lain, khususnya bagaimana aturan Islam terkait nataru. Oleh karena itu, jika syariat Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan dilaksanakan secara sempurna, dipastikan akan mampu menjaga aqidah umat seluruhnya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar