Menakar Keikhlasan Penguasa Menurunkan Biaya Haji


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

Menteri Agama Nasaruddin Umar mengusulkan biaya haji Rp 93,38 Juta, ditanggung jemaah hanya Rp 65,3 Juta. Menurut Nasaruddin, besaran usulan itu berdasarkan perubahan valuasi dolar Amerika Serikat dan Riyal Arab Saudi yang menguat terhadap rupiah.

Usulan tersebut sebagai tindak lanjut dari upaya p emerintah agar biaya yang dibayarkan oleh jemaah haji di tahun depan bisa diturunkan. Penurunan itu dipastikan tidak sampai mengganggu kualitas penyelenggaraan haji. Penurunan ongkos haji itu dibahas dalam rapat tertutup antara Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad yang juga pengawas penyelenggaraan ibadah haji 2025, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya, Menteri Agama, dan Wakil Menag Muhammad Syafi'i serta Penasihat Presiden Urusan Haji Muhadjir Effendy di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat (27/12/2024). 

Pada saat itu dibahas pula soal peluang memperpendek masa tinggal jemaah di Arab Saudi selama pelaksanaan haji berlangsung. Saat ini, rata-rata jemaah berada di Saudi 40 hari. Menurutnya, masih cukup ada waktu kosong untuk para jemaah sebelum melaksanakan ibadah pada puncak haji. Tapi, hal tersebut akan didiskusikan terlebih dahulu dengan pemerintah Arab Saudi. Lebih jauh, Imam Besar Masjid Istiqlal itu menegaskan bahwa Presiden Prabowo Subianto menginginkan agar pelaksanaan ibadah haji tahun 2025 lebih efisien dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Selama ini, jemaah haji untuk gelombang pertama terbang dari Indonesia menuju Bandara Amr Mohammad bin Abdul Aziz Madinah. Di sana, jemaah tinggal selama 8-9 hari. Setelah itu, jemaah akan bergerak ke Makkah sampai puncak haji selesai. Beberapa hari setelah puncak haji, barulah jemaah kembali ke Indonesia. Sebaliknya, untuk jemaah gelombang dua, mereka akan terbang dari Indonesia langsung landing di Bandar King Abdul Aziz Jeddah. Dari situ, jemaah akan langsung ke Makkah sampai puncak haji selesai. Setelah itu, jemaah akan bergerak ke Madinah dan tinggal sekitar 8-9 hari. Barulah jemaah pulang ke Tanah Air.

Paradigma penyelenggaraan ibadah haji oleh penguasa dalam sistem sekuler hanya berorientasi pada keuntungan materi bahkan rawan korupsi, alih-alih mewujudkan kenyamanan beribadah. Lebih parahnya lagi, aspek politis ibadah yang menyatukan kaum muslim sedunia ini telah tergerus dalam bingkai ibadah mahdah saja. Jelas bahwa dalam sistem yang menyandarkan perbuatan pada asas manfaat ini menghasilkan penyelenggaraan ibadah haji yang tidak menjamin kenyamanan dalam beribadah bagi umat Islam.

Seyogianya jemaah haji adalah tamu Allah. Status tersebut mengharuskan negara benar-benar serius dalam mempersiapkan pelaksanaannya. Dalam rentang sejarah peradaban Islam, Khilafah mengelola penyelenggaraan ibadah haji dengan penuh tanggung jawab. Hal ini sebagai implementasi secara paradigmatis dan mendasar bahwa pemimpin adalah pengurus dan pelayan bagi rakyatnya.

Sebagaimana sabda Rasulullah Saw., "Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka." (HR. Abu Nu'aim). Juga sabdanya, “Pemerintah adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR. Al-Bukhari).

Dalam hadis lain disebutkan pula bahwa Rasulullah Saw. bersabda sebagaimana yang dituturkan oleh Ibnu ’Umar, “Setiap kalian adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang amir (kepala pemerintahan) adalah pemimpin bagi rakyatnya, yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya; seorang laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya; seorang perempuan adalah pemimpin atas rumah tangga suaminya dan anak-anaknya yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.….” (HR. Bukhari Muslim).

Khilafah juga memahami betul mekanisme agar seorang jemaah bisa meraih predikat haji mabrur. Oleh karena itu, para pejabat yang mendapat amanah dalam penyelenggaraan haji akan memperhatikan setiap detil wajib, rukun, dan sunnah haji agar semuanya terlaksana secara sempurna sesuai syariat.

Untuk itu, Khalifah akan mengatur adanya suatu organisasi pemerintahan untuk mewujudkan kemaslahatan umat dalam penyelenggaraan ibadah haji. Khalifah akan berupaya maksimal untuk memudahkan jemaah dalam menjalankan seluruh tahapan termasuk saat di tanah suci, dengan menyediakan segala sarana dan prasarana.

Hal ini dapat kita telusuri dari jejak penyelenggaraan ibadah haji di era kejayaan Islam. Sebagaimana pada masa Khilafah Utsmani, yang tidak lain bisa menjadi salah satu model pengurusan haji oleh Khalifah pada masanya. Saat itu, persiapan sarana haji telah dimulai tiga bulan sebelum musim haji. Khilafah Utsmani, di bawah pimpinan Sultan Utsmani, telah memberikan perhatian lebih dan besar pada aktivitas ini. Melalui lajnah khusus, Khalifah memberi amanah berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah haji. Tugas utamanya adalah memonitor dan memperhatikan semua urusan rombongan haji di wilayah-wilayah Islam, serta menginstruksikan kepada wali di wilayah-wilayah itu untuk memenuhi kebutuhan para jemaah haji.

Selain itu, Khalifah juga berupaya membangun sarana dan prasarana yang memudahkan para jemaah dalam melaksanakan ibadah. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid II pada 1900 M, beliau memerintahkan pembangunan jalur Kereta Api Hijaz (Hejaz Railway) untuk memudahkan jemaah haji menuju Makkah. Kebijakan ini direalisasikan karena sebelumnya para jemaah haji harus melakukan perjalanan selama berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan jika menunggang unta.

Begitu Khalifah membangun jalur kereta api di Hijaz, para jemaah dapat memperpendek perjalanan dan waktu tempuh. Khalifah juga membangun sejumlah tempat yang berfungsi sebagai rumah singgah sekaligus tempat menambah perbekalan bagi para jemaah. Dengan demikian, para jemaah dapat dengan nyaman melaksanakan rangkaian ibadah haji.

Demikian juga perihal sikap tegas yang Sultan Abdul Hamid II lakukan terhadap Belanda saat berupaya menghalangi kaum muslim Aceh melakukan ibadah haji. Warga Aceh lantas mengirim surat kepada Sultan dengan maksud mendapat pembelaan. Sultan Abdul Hamid II pun memanggil duta besar Belanda untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Inilah role model kepemimpinan yang benar-benar mewujudkan kemaslahatan umat dalam menjalankan ibadah. Ini tidak lain karena Khalifah memandang bahwa rangkaian ibadah haji bukan ibadah ritual semata, melainkan menyimpan unsur politis yang mampu menggentarkan musuh-musuh Islam, sekaligus menjadi sarana untuk mendakwahkan Islam ke penjuru dunia. Sayangnya, aspek politis ibadah haji ini kian terdistorsi seiring dengan sekat-sekat geografis negara bangsa yang menghalangi persatuan kaum muslim.

Dalam sistem Islam, seluruh pejabat dan petugas memikul amanah dan tanggung jawab sebagai pengurus dan perisai umat. Mereka memahami bahwa setiap langkah dalam menjalankan amanah akan Allah tuntut pertanggungjawabannya. Konsekuensi dari kesadaran itu adalah menjalankan amanah dengan spirit keimanan, bukan karena adanya asas materi dan manfaat yang mereka peroleh.

Dengan sistem Islam penyelenggaraan ibadah haji tidak akan dikurangi waktunya demi penurunan biaya haji. Yang ada adalah peningkatan pelayanan kepada umat sebagai salah satu layanan pemerintah kepada rakyatnya. 

Indonesia juga bisa melakukannya asalkan mau menerapkan sistem Islam. Jika Islam telah diterapkan sebagai sistem bernegara maka bukan hanya ritual ibadah yang terjaga, bahkan akan meningkatkan takwa di dalam hati kaum muslimin. Sebab aturan atau hukum Islam ini tidak akan tegak kecuali jika tiga pilar tegaknya hukum Islam diterapkan, yaitu pembinaan individu yang mengarah kepada pembinaan masyarakat, kontrol masyarakat, dan adanya suatu sistem yang terpadu yang dilaksanakan oleh sebuah negara sebagai pelaksana dari aturan Allah SWT. dan Rasul-Nya.

Wallahu'alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar