Miris! Karena Nunggak SPP, Siswa Dihukum Belajar di Lantai


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

MI, bocah berusia 10 tahun dihukum oknum guru duduk di lantai menghadap papan tulis, dan tidak diperbolehkan gabung ke teman-temannya karena menunggak uang Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) selama 3 bulan. MI diketahui bersekolah di SD Swasta Abdi Sukma, Jalan STM, Kecamatan Medan Johor, Kota Medan.

Orang tua MI, Kamelia (38) mengatakan, peristiwa itu viral di media sosial setelah dirinya merekam lalu membagikan ke akun media sosial mengenai apa yang dialami anaknya. Kamelia merekam peristiwa itu pada Rabu, 8 Januari 2025. Kamelia menyuruh MI datang ke sekolah. Kamelia juga sudah berniat menjual handphone-nya untuk membayar SPP dan uang buku.

"Terus anak saya bilang kalau dia malu. Malu karena didudukkan di lantai," Kamelia mengungkapkan.

Mendapat penjelasan dari anaknya, di hari itu juga Kamelia datang ke sekolah dan melihat MI sedang duduk di lantai. Saat itu, MI di barisan paling depan, duduk di lantai.

"Teman-teman MI mengejar dan pegang tangan saya. Mereka bilang, ambil rapor MI, kasihan dia duduk di lantai seperti pengemis. Saya menangis, ke ruang kelas melihat anak saya duduk di lantai. Kenapa tega kali gurunya," Kamelia menuturkan.

Kamelia yang merekam anaknya sedang duduk di lantai juga sempat beradu argumen dengan H. Lalu Kamelia dibawa ke kantor kepala sekolah. Di ruangan itu, dia bertanya apakah kepala sekolah tahu masalah tersebut.

"Kepala sekolah bilang enggak tahu kalau anak saya dihukum sampai duduk di lantai. Peraturan itu juga kepala sekolah tidak tahu," bebernya.

Miris! Lebih miris lagi sebab kejadian itu tidak hanya menimpa MI, masih banyak di luaran sana yang mengalami hal serupa bahkan lebih tragis dari itu. Hanya saja luput dari perhatian karena tidak viral. Lagi-lagi perhatian baru diberikan ketika sudah viral. Padahal sudah seharusnya pendidikan dinikmati oleh semua kalangan sebab itu adalah hak sebagai warga negara.

Hal ini termaktub dalam Pasal 31 ayat 1-5 UUD 1945 yang mengatur tentang pendidikan dan kebudayaan. Berikut ini adalah isi pasal-pasal tersebut: 
Pasal 1: Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
Ayat 2: Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Ayat 3: Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional.
Ayat 4: Negara memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD.
Ayat 5: Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Memang sekolah tempat MI menimba ilmu adalah sekolah swasta, sehingga hal tersebut menjadi alibi di luar tanggung jawab negara. Jika saja seluruh pasal tersebut diterapkan dengan benar, tentu MI tidak akan bersekolah di swasta. Karena kenyataannya, banyak orang tua yang terpaksa menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta sebab banyak faktor, diantaranya sistem zonasi, kelayakan bangunan sarana dan prasarana sekolah, serta kurikulum dan pengajaran yang dipakai di sekolah swasta lebih baik dari sekolah negeri.

Hal itu terjadi karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap pendidikan. Kalaulah sekolah negeri diurus dengan benar, tidak akan kalah bersaing dengan sekolah swasta. Pengurusan tersebut bukan hanya pada yang telah disebutkan di atas tetapi juga tentang gaji guru dan kualitasnya.

Begitupun dengan sekolah swasta, tidak adanya bantuan dari pemerintah menjadikan sekolah swasta benar-benar mengandalkan sumbangan dari orang tua. Sedangkan beban administrasi sekolah lebih besar. Tidak heran dampaknya adalah mahalnya biaya pendidikan di sekolah swasta. Meski tetap dalam hal ini siapa pun tidak boleh menghukum siswa yang menunggak SPP apalagi dengan hukuman seperti itu. Sebab tidak ada seorang pun di dunia ini yang bercita-cita menjadi orang miskin.

Berbeda dengan sistem Islam. Di dalam Islam, menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap Muslim laki-laki dan perempuan. Orang yang berpengetahuan juga mendapat posisi yang tinggi di sisi Allah SWT. Dengan ilmu, seseorang dapat mempelajari manusia, alam semesta dan kehidupan. Dengan itu ia semakin dekat kepada Pencipta. Ia pun dapat memanfaatkan ilmunya secara efektif untuk memberikan kemaslahatan bagi umat manusia di berbagai bidang seperti pertanian, teknik, kedokteran, farmasi, dan astronomi. Karena itulah pendidikan menjadi salah satu perhatian utama para penguasa di masa pemerintahan Islam.
 
Ketika Negara Islam pertama berdiri di Madinah, Rasulullah Saw. sebagai kepala negara menjadikan masjid sebagai pusat pendidikan. Selain shalat lima waktu, masjid juga menjadi tempat diadakan halaqah-halaqah ilmu, disampaikan khutbah setiap Jumat, dan di dalamnya dibacakan Al-Quran. Menurut an-Naqbi, pada masa Nabi Saw. di Madinah terdapat lebih dari empat puluh masjid di Madinah. Hal ini dilakukan untuk mempermudah jarak penduduk Madinah dengan masjid Rasulullah Saw.

Nabi Saw. juga menyediakan fasilitas di sisi utara Masjid Nabawi, yaitu Shuffah, yang dihuni oleh fakir miskin dari kalangan Muhajirin, Anshar, dan para pendatang dari orang-orang asing. Di antara kegiatan penghuni Suffah adalah belajar membaca dan menulis. Salah satu yang menjadi pengajar mereka adalah Ubadah bin Shamit. Ubadah bin Shamit berkata: “Aku mengajarkan kepada sebagian penghuni Shuffah menulis dan al-Quran.”

Selain masjid, berdiri pula pusat-pusat pengajaran lainnya di Madinah, seperti kuttaab. Kuttaab adalah ruangan kecil untuk mengajar anak-anak membaca dan menulis dan menghapalkan al-Quran. Khatib al-Baghdadi menukil perkataan Ibnu Mas’ud: “Apakah kalian ingin saya membaca seperti bacaan Zaid? Saya telah membaca tujuh puluh surah langsung dari Rasulullah Saw., sedangkan Zaid masih bolak-balik ke kuttaab.”

Pentingnya pendidikan kepada rakyat juga ditunjukkan oleh Nabi saw. yang memberikan syarat tebusan kepada tawanan Perang Badar untuk mengajar anak-anak penduduk Madinah. Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. yang berkata: “Ada beberapa tawanan pada hari Perang Badar yang tidak memiliki tebusan. Rasulullah Saw. menjadikan tebusan mereka adalah dengan mengajarkan anak-anak kaum Anshar menulis.”

Ibnu Saad menuturkan riwayat dari ‘Amir yang berkata: “Tebusan bagi orang-orang yang tertawan dalam Perang Badar adalah empat puluh uqiyah. Bagi siapa yang tidak memilikinya, dia harus mengajarkan sepuluh orang Muslim cara menulis. Zaid bin Tsabit adalah salah satu dari mereka yang diajar.”

Tindakan Nabi Saw. tersebut menjadi dalil bahwa kepala negara wajib menyediakan pendidikan secara gratis kepada rakyatnya. Hal ini disebabkan oleh tawanan tersebut yang merupakan ghaniimah (harta rampasan perang) dan termasuk harta milik negara yang dibelanjakan demi kepentingan kaum Muslim. Selain itu, pendidikan merupakan kebutuhan dasar yang bertujuan untuk mengajarkan rakyat apa yang mereka butuhkan dalam kehidupan mereka. 

Dengan itu mereka mampu memperoleh manfaat dan menghindari kemadaratan. Oleh karena itu, negara wajib menyediakan layanan tersebut sesuai dengan kebutuhan hidup mereka, khususnya pendidikan dasar dan menengah yang saat ini menjadi kebutuhan primer. Kemudian pendidikan tinggi yang menjadi kebutuhan pokok bagi umat, seperti kedokteran, juga wajib disediakan sebagaimana halnya pendidikan dasar dan menengah secara gratis tanpa bayaran.
 
Begitupun pada masa Khulafaur Rasyidin. Pada masa Khulafaur Rasyidin, perhatian Negara terhadap pendidikan semakin besar sejalan dengan makin luasnya wilayah Negara Islam. Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. telah memerintahkan untuk memberikan tunjangan bagi para guru. Seperti yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Al-Wadhin bin ‘Atha’ yang berkata: “Ada tiga orang guru di Madinah yang mengajar anak-anak, dan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. memberikan nafkah kepada masing-masing dari mereka 15 dirham setiap bulan.” 

Ketika penaklukan semakin banyak dan orang-orang non-Arab serta penduduk pedalaman memeluk Islam, serta banyak anak-anak yang lahir, Khalifah Umar bin Khattab ra. memerintahkan untuk membangun rumah-rumah untuk pendidikan dan menempatkan orang-orang untuk mengajar dan mendidik anak-anak.

Pada masa Khalifah Umar bin Khattab ra., Yazid bin Abi Sufyan menulis surat kepada dia: “Sesungguhnya penduduk Syam telah bertambah banyak. Mereka telah mengisi kota-kota. Mereka membutuhkan orang-orang yang dapat mengajarkan al-Quran kepada mereka dan memahaminya. Karena itu tolonglah saya dengan orang-orang yang dapat mengajarkan mereka.” 

Lalu Khalifah Umar mengutus Muadz, Ubadah dan Abu ad-Darda’. Diriwayatkan bahwa Abu ad-Darda’ mengajar lebih dari 1.600 orang di masjid jami’ di Damaskus. Dari Muslim ibn Mishkam: Abu ad-Darda berkata kepadaku: “Hitunglah jumlah orang yang ada di majelis kami.” Dia berkata, “Mereka datang berjumlah seribu enam ratus lebih sedikit. Mereka membaca dan berlomba-lomba masing-masing sepuluh orang. Ketika shalat shubuh selesai, beliau menghadap mereka, membaca satu juz, dan mereka berkumpul di sekelilingnya, mendengarkan kata-katanya.” 

Pada masa Daulah Umayah, pendidikan mengalami perkembangan seiring dengan meluasnya wilayah Negara Islam. Di era tersebut, masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga berkembang menjadi pusat pendidikan, yang beberapa kemudian bertransformasi menjadi universitas terkemuka. Salah satunya adalah Universitas Al-Karaouine (Al-Qarawiyyin) yang didirikan pada tahun 859 dan dianggap oleh UNESCO serta Guinness Book of World Records sebagai universitas yang terus beroperasi dan tertua di dunia.

Beberapa masjid yang menjadi pusat pendidikan pada periode Khilafah Umayah antara lain: Masjid Agung Kairouan, Tunisia, yang didirikan oleh panglima penakluk Uqbah bin Nafi’ pada tahun 53 H/693 M. Di dalamnya terdapat dua sayap: sayap untuk para pria dan sayap untuk wanita. Masjid lainnya, yaitu Masjid Zaituniyah, Masjid al-Aqsha dan Masjid Qubbah ash-Shakhrah, Masjid Agung Wasith di Iraq dan Masjid Jami Umawi di Damaskus. Selain itu, terdapat berbagai kuttaab yang menjadi tempat belajar anak-anak berbagai tsaqaafah Islam, seperti membaca dan menulis Al-Quran.

Madaini menyebutkan bahwa anggaran tahunan Damaskus yang ditetapkan oleh Muawiyah mencapai empat ratus ribu dinar. Itu setelah dipotong pengeluaran wajib untuk Diwan Tentara dan para gubernur, para ahli fiqh, muazin dan hakim.

Rajaa’ bin Haywah (wafat 113 H/723 M)—seorang tabiín ahli fiqih yang tinggal di Palestina—menerima gaji sebesar tiga puluh dinar setiap bulan dari Yazid bin Abdul Malik.

Khatib al-Baghdadi menyatakan bahwa wajib atas Imam untuk menetapkan nafkah bagi orang yang menugaskan dirinya untuk mengajar fikih dan memberikan fatwa dalam hukum-hukum, sejumlah yang dapat mencukupi dirinya agar tidak perlu berprofesi lain untuk mencari nafkah. Nafkah tersebut diambil dari Baitul Mal kaum Muslim. Al-Baghdadi kemudian mengutip sebuah riwayat bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz menulis kepada gubernur Homs: “Lihatlah kaum yang mengkhususkan diri mereka untuk ilmu fiqih sehingga mereka mengurung diri di masjid dan meninggalkan pencarian dunia. Berilah setiap orang dari mereka seratus dinar yang dapat mereka gunakan untuk kebutuhan mereka, dari harta umat Muslim, ketika suratku ini sampai kepadamu. Sebaik-baik kebaikan adalah yang dilakukan dengan segera. Semoga keselamatan tercurah kepada dirimu.”

Khalifah juga berupaya memperluas jangkauan pendidikan ke berbagai wilayah hingga ke perkampungan dengan mengirim para ulama yang mendapatkan gaji dari Negara. Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengutus Yazid bin Abi Malik ad-Dimasyqi dan Al-Harits bin Yamjud al-Asy’ari untuk mengajarkan fiqih kepada masyarakat badui dan memberikan gaji kepada keduanya. Yazid menerima, tetapi Al-Harits menolak. Lalu dia menulis hal itu kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Khalifah Umar pun menulis, “Kami tidak memandang ada masalah dengan apa yang dilakukan Yazid, semoga Allah memperbanyak di antara kami seperti Al-Harits bin Yamjud.”18
 
Masa Khilafah Abbasiyah
Perhatian Khalifah pada masa Khilafah Abbasiyah terhadap pendidikan termasuk dari aspek pembiayaan juga sangat besar. Diriwayatkan oleh Ibnu Khalikah, bahwa ketika Khalifah Harun ar-Rasyid tiba di Kufah, ia memerintahkan untuk memberikan dua ribu dirham kepada setiap qari’ yang masyhur. Meskipun demikian, karena kezuhudan terhadap dunia, tidak semua menerimanya. Salah satunya adalah Dawud ath-Tha’i. Dia dengan rendah hati menolak menerima uang itu.

Pada masa itu orangtua murid juga dapat memberikan upah kepada guru yang mengajari anak-anak mereka. Meskipun demikian, sebagian dari guru tidak mengambil upah dari kegiatan mengajar mereka. Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Aku adalah seorang yatim dalam asuhan ibuku. Dia mengirimku ke kuttaab. Namun, dia tidak memiliki uang untuk membayar guru. Guru itu rela aku gantikan ketika dia pergi. Ketika aku telah menghapal Al-Quran, aku masuk ke masjid dan duduk bersama para ulama. Aku mendengar hadis dan permasalahan, lalu menghapalnya.”

Pada masa Khilafah Abbasiyah, sekolah-sekolah dalam bentuk wakaf berkembang dengan pesat. Di antaranya ada yang khusus untuk mengajarkan Al-Quran, tafsir, hadis, dan fiqih. Ada pula madrasah untuk ilmu kedokteran. Juga madrasah untuk anak-anak yatim. Masa ini juga menyaksikan kelahiran madrasah-madrasah Nizhamiyah di Baghdad, Naisabur dan Thus yang didirikan oleh Wazir Seljuk, Nizham Al-Mulk (w. 485H/1092M). Sistem tunjangan keuangan dan pelayanan khusus untuk guru dan murid diberikan secara sama. Disebutkan bahwa Nizham al-Mulk menginfakkan 600.000 dinar untuk pendidikan. Nilai wakaf Nizhamiyah Baghdad saja diperkirakan 60.000 dinar, dengan penghasilan tahunan 15.000 dinar.

Sistem pendidikan tersebut kemudian dikenal dengan istilah Nizhamiyyah. Dia meletakkan dasar bagi sekolah-sekolah lainnya. Bahkan universitas-universitas Eropa saat ini pada dasarnya mengikuti model Nizhamiyyah yang ada di Baghdad.

Pada masa Khilafah Abbasiyah, ilmu kedokteran juga berkembang pesat sejalan dengan perkembangan pelayanan kesehatan yang disediakan gratis. Salah satunya melalui pembangunan pelayanan kesehatan Bimaristan (bahasa persia, bimar yang berarti sakit dan satan berarti tempat atau rumah), yang merupakan rumah sakit lengkap dengan layanannya. Bimaristan ini, selain sebagai tempat pengobatan, juga memiliki sekolah kedokteran, ruang-ruang kuliah, perpustakaan medis yang penuh dengan buku, dan layanan lainnya. Salah satu Bimaristan yang paling terkenal adalah Bimarastan ar-Rashid. Pelayanannya diberikan secara gratis. Ada pula Bimaristan Ahmad bin Thulun yang didirikan di Kairo pada tahun 259 H/873 M, yang terdiri dari rumah sakit dan fakultas kedokteran, serta perpustakaan yang berisi lebih dari seratus ribu jilid buku dalam berbagai spesialisasi.

Maa syaa Allah tabarakaallah! Demikianlah sekelumit gambaran politik pendidikan dalam Islam yang telah menjadi bagian integral dari pembangunan peradaban Islam sejak zaman Nabi Muhammad Saw., masa Khulafaur Rasyidin, serta Kekhilafahan setelahnya. Negara wajib menyediakan pendidikan secara gratis kepada rakyatnya tanpa memandang agama, suku, ras, status ekonomi, dan sosial mereka. Tunjangan diberikan kepada guru-guru secara layak. Khalifah juga mengutus para ulama ke berbagai wilayah Islam dengan dukungan finansial yang sangat memadai. Dengan model pendidikan tersebut, lahirlah para ulama yang menghasilkan karya-karya intelektual yang tinggi, tidak hanya terbatas pada tsaqaafah Islam, tetapi juga mencakup berbagai ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi dunia seperti kedokteran, kimia dan astronomi. Semua itu adalah buah ketika ideologi Islam menjadi dasar politik pendidikan negara.

Khalifah memang akan kembali tegak karena itu adalah janji Allah SWT. yang tidak pernah mengingkari janji. Akan tetapi menjadi kewajiban kita untuk mengambil bagian dari besarnya pahala yang dijanjikan ketika kita berusaha menjemput janji Allah SWT. dengan melayakkan diri kita agar mendapat pertolongan-Nya segera dengan bersama-sama mengkaji Islam kaffah bersama kelompok dakwah Islam ideologis.

Wallahua'lam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar