Negara Abai, Dosen Kehilangan Hak Tunjangan Kinerja


Oleh : Apt. Siti Nur Fadillah, S.Farm

Tahun baru, pemerintahan baru, dan kekecewaan baru. Miris, pemerintah semakin amatir mengurus negara. Setelah mengabaikan urusan pendidikan dasar karena mementingkan program makan bergizi gratis, kini pemerintah menghentikan pemberian tunjangan kinerja (Tukin) dosen ASN di bawah Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek) (Tempo, 09/01/2025). Tukin yang sudah ditetapkan sejak 2020 dan dijanjikan oleh Nadiem Makarim akan terealisasi pada 2025, kini hilang tidak ada kejelasan. Pemerintah sudah menunggak pembayaran tukin selama 5 tahun (Kompas, 07/01/2025). 

Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Jenderal Kemendikti Saintek, Togar Mangihut, mengatakan penyebab utama batalnya pencairan tukin dosen adalah perubahan nomenklatur yang terjadi secara berulang kali di kementerian terkait. Perubahan dan pemisahan Kementerian Pendidikan membuat Kementerian Keuangan tidak mengabulkan pengajuan alokasi anggaran tukin. Atau dengan kata lain tukin dosen tidak masuk APBN 2025 (Klikpendidikan.id, 06/01/2025). 

Alasan Togar terasa sangat tidak masuk akal. Jika benar perubahan nomenklatur menjadi penyebabnya, mengapa pegawai Kementerian lain yang mengalami pemisahan lembaga tetap mendapat tunjangan kinerja. Bahkan tukin pegawai Badan Intelijen Negara naik 150% dan Kementerian Keuangan naik 300% (Tempo, 09/01/2025). 


Sistem Demokrasi Tidak Peduli Pendidikan Generasi

Apapun alasannya, penghapusan tukin merupakan bukti nyata atas abainya pemerintah terhadap sektor pendidikan. Ilmu dan pengetahuan sebagai investasi masa depan, kalah dengan program pragmatis seperti makan siang gratis. Pendidikan yang seharusnya menjadi prioritas APBN, justru kalah penting dengan sektor lain. Misalnya, pagu untuk Kemendikti Saintek hanya senilai Rp 83.2T, separuh dari anggaran Kementerian Pertahanan (Kemenhan) yaitu Rp 165.2T (Kemenkeu, 2025). Dan tentu saja tukin dosen tidak masuk dalam anggaran tersebut.

Jika kita amati lebih lanjut, pendanaan yang terbatas serta pemerintah yang abai, tidak terlepas dari sistem demokrasi yang diterapkan Indonesia. Prinsip kedaulatan di tangan rakyat, telah menjadi bumerang yang merugikan rakyat sendiri. Ketika aturan dibuat rakyat, yang terjadi hukum hanya berpihak kepada rakyat yang berkuasa saja. Dan sekarang kita saksikan betapa prinsip tersebut telah menjelma ke dalam sistem ekonomi dan melahirkan sistem ekonomi kapitalis. 

Sistem ekonomi yang memberi kebebasan penuh untuk meraih keuntungan pribadi sebesar-besarnya. Tidak ada aturan kepemilikan, baik itu barang tambang, jalan raya, maupun fasilitas umum, semua bisa dikuasai pribadi.

Dari tiadanya aturan kepemilikan harta milik umum tersebut, sumber daya alam kini dieksploitasi seenak hati. Menghasilkan ketimpangan ekonomi dan hilangnya pendapatan negara. Padahal jika dikelola dengan tepat, harta milik umum Indonesia dapat memberikan penerimaan besar. Sebagai contoh, batubara dengan produksi 687 juta ton dan harga rata-rata USD 345/ton. Saat nilai tukar Rp15.600/USD serta gross profit margin 57,4% akan menghasilkan laba Rp2.002T. Nilai laba dari batu bara saja nyaris memenuhi kebutuhan belanja APBN 2025 yaitu Rp3.621,3T. Lebih dari cukup untuk memberikan gaji dan tunjangan layak untuk para dosen. 

Namun, kenyataannya pemerintah lebih memilih pajak sebagai pendapatan utama negara. Bahkan berdasarkan Informasi APBN 2025, Rp2.409,9T dari Rp3.005,1T pendapatan negara berasal dari pajak (Kemenkeu, 2025). Rakyat makin terbebani, hak-haknya tidak terpenuhi. 


Idealnya Pendidikan Tinggi dalam Islam

Buruknya pengelolaan APBN dan abainya penguasa terhadap rakyat adalah sebagian bukti bahwa tidak ada kemaslahatan melainkan dengan Islam. Sebab Islam sejak 1400 tahun lalu mengajarkan bahwa kepemimpinan yaitu untuk riayah as-syu'un al-ummah atau mengurusi kepentingan rakyat. Bukan untuk mengurusi kepentingan pejabat, memeras uang rakyat, atau justru merampas hak rakyat. Kemaslahatan tersebut diwujudkan dengan cara mengembalikan kedaulatan tertinggi kepada Allah Sang Maha Pencipta dan Maha Pengatur. Yang memahami seluruh problematika manusia dan menurunkan solusinya melalui Al-Qur'an dan hadis. 

Dalam hal gaji dan tunjangan dosen misalnya. Dikarenakan sejak awal Islam telah mengajarkan bahwa menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim. Maka sektor pendidikan akan diprioritaskan, sehingga seluruh aspek yang berkaitan dengan menuntut ilmu akan dipermudah. Infrastruktur yang memadai, kurikulum yang bermutu, dan pengajar yang kompeten dapat diakses oleh seluruh masyarakat secara terjangkau bahkan tanpa biaya. Pengajar atau dosen sebagai pemilik ilmu akan dimuliakan dan diberi gaji dan tunjangan yang layak. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt.,

Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat” (Al-Mujadilah ayat 11)

Sebagai gambaran, pada masa Khalifah Umar bin Khattab guru digaji hingga 15 dinar/bulan (1 dinar = 4,25 gram emas). Bila mengacu pada harga emas saat ini, maka gaji guru pada saat itu kurang lebih Rp 101 juta per bulan. Dengan nominal ini para pengajar atau dosen tidak perlu lagi bingung mencari pendapatan tambahan. Mereka dapat fokus mendidik para siswa agar memiliki kepribadian Islam dan mengabdi untuk umat. 

Terwujudnya kondisi ini tentu saja ditunjang oleh sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi yang mensejahterakan karena memiliki aturan kepemilikan dan mengatur pemanfaatan harta sesuai syari'at. Harta milik umum seperti minyak bumi, gas alam, hutan, dan lain-lain harus dikelola oleh negara dan tidak boleh dikuasai pribadi. Dengan begitu pendapatan negara akan melimpah dan lebih dari cukup untuk membiayai sektor pendidikan. Jaminan yang diberikan Islam ini akan menjadikan dosen hidup sejahtera tanpa harus takut kehilangan haknya. Wallahua’lam bishawab. []




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar