Oleh: Wulan Safariyah (Aktivis Dakwah)
Mulai 1 Januari 2025, pemerintah resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen. Perubahan tarif ini sesuai dengan keputusan yang telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Beberapa barang yang akan dikenakan PPN 12 persen antara lain beras premium, daging premium, buah premium, jasa pendidikan premium, jasa pelayanan kesehatan premium, dan pelanggan listrik dengan daya 3500-6600 VA. Dilansir dari laman (tirto.id)
Sejumlah elemen masyarakat mulai turun ke jalan menolak kenaikan tarif Pajak pertambahan Nilai (PPN) 12%. Penolakan PPN 12% antara lain dilakukan oleh mahasiswa. Diberitakan Kompas.com, aliansi mahasiswa yang tergabung dalam BEM Seluruh Indonesia (SI) menggelar aksi unjuk rasa menolak kebijakan PPN 12% di samping Patung Arjuna Wijaya, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (27/12/2024).(Kontan.co.id)
Penolakan masyarakat terhadap kenaikan PPN jadi 12% semakin menguat. Sebanyak 197.753 orang telah meneken petisi menolak kenaikan PPN menjadi 12 persen. Jumlah tersebut merupakan data yang masuk hingga Sabtu (28/12), pukul 13.00 WIB.(CNNIndonesia.com)
Dampak Kenaikan Pajak
Kenaikan PPN ini, mendapatkan respon yang beragam dari masyarakat, salah satunya dari pakar ekonomi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Dr Kumara Adji Kusuma SFilI CIFP. Ia menyampaikan agar efektivitas penggunaan dana tambahan ini harus dipertimbangkan dengan cermat agar tidak menimbulkan dampak negatif yang lebih besar bagi masyarakat.
Dampak dari kebijakan ini ia nilai akan berpengaruh bagi masyarakat pada bidang ekonomi, seperti kenaikan biaya hidup, inflasi, menurunnya daya beli, hingga pengeluaran sektor usaha.
Selain itu, menurut Dr Adji kenaikan PPN ini bisa menjadi sumber pendapatan tambahan bagi pemerintah yang dapat digunakan untuk mendukung program-program fiskal seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.(Umsida.ac.id)
Dosen Departemen Manajemen Bisnis Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Dr Ir Arman Hakim Nasution MEng, ia menyoroti pentingnya kajian akademik sebelum menentukan kebijakan.
Menurut Arman, dampak dari kenaikan PPN ini secara langsung mempengaruhi roda perekonomian Indonesia. Tentunya dampak tersebut menyebabkan masyarakat harus membeli barang pokok maupun strategis lainnya dengan harga yang relatif lebih tinggi. “Dengan kenaikkan PPN ini, dapat diprediksikan nantinya daya beli masyarakat Indonesia akan menurun drastis,” tuturnya.
Dosen yang sekaligus diamanahi sebagai Kepala Pusat Kajian Kebijakan Publik Bisnis dan Industri ITS tersebut membeberkan bahwa berlakunya PPN 12 persen tersebut juga dapat memicu adanya inflasi di masa mendatang. Ketika masyarakat dan pelaku usaha memperkirakan harga akan terus naik, mereka akan cenderung menaikkan harga jual produknya lebih awal, sehingga mempercepat terjadinya inflasi di Indonesia.
Selain sektor ekonomi masyarakat, Arman menjelaskan bahwa rantai pasok industri akan mengalami perubahan yang signifikan juga karena kenaikan tarif PPN. Dengan meningkatnya biaya produksi yang digunakan, banyak perusahaan teknologi yang kesulitan meningkatkan kapasitas produksi sehingga menghambat laju inovasi di sektor teknologi industri. “Meningkatnya biaya produksi nanti akan mempermudah terjadinya shortage dalam berbagai produk strategis, jelasnya. Dilansir dari laman its.news,(28/12/2024)
Sudah seharusnya seperti ini sikap intelektual, kritis atas kebijakan pemerintah yang menyengsarakan rakyat di tengah kondisi ekonomi yang makin sulit. Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati justru menegaskan rencana kenaikan tarif PPN ini diperlukan untuk menjaga kesehatan APBN. dikutip dari laman cnbcindonesia,Senin (25/11/2024).
Dengan kebijakan menaikan pajak, apakah akan mensejahterakan rakyat atau malah menyengsarakan rakyat?
Pajak Dalam Sistem Kapitalisme
Dengan berbagai alasan pemerintah menaikkan pajak secara terus menerus, tanpa melihat kesulitan hidup yang dirasakan masyarakat. Semua ini bersumber dari sistem kapitalisme yang diterapkan diberbagai negara, termasuk di Indonesia. Sistem ini sering kali mengutamakan kepentingan pemilik modal (korporasi) di atas kepentingan masyarakat luas.
Dalam sistem kapitalisme pajak merupakan salah satu sumber pemasukan negara, karena itu pajak adalah satu keniscayaan, demikian pula besaran kenaikan pajak dan beragam jenis pungutan pajak.
Ketika pajak menjadi sumber pendapatan negara, maka hakekatnya rakyat membiayai sendiri kebutuhannya akan berbagai layanan yang dibutuhkan. Artinya negara tidak berperan sebagai pengurus rakyat.
Dalam sistem kapitalisme negara hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator yaitu yang mengeluarkan aturan, parahnya aturan yang dibuat hanya untuk melayani kepentingan dan menguntungkan para pemilik modal. Rakyat biasa akan terabaikan. Rakyat menjadi sasaran berbagai pungutan pajak oleh negara yang bersifat ‘wajib’ sebagai konsekuensi posisinya sebagai warga negara.
Mirisnya banyak kebijakan pajak yang memberikan keringanan pada para pengusaha, dengan alasan untuk meningkatkan investasi pengusaha bermodal besar. Asumsinya investasi akan membuka lapangan kerja dan bermanfaat untuk rakyat. Padahal faktanya tidak seperti itu.
Alih-alih membawa keadilan dan kesejahteraan, pungutan pajak malah membawa malapetaka dan menyengsarakan rakyat, karena pungutan itu tidak memandang kondisi rakyat. Ditambah beban pembiayaan publik yang juga tidak dijamin oleh negara.
Berbagai lapisan masyarakat, mulai buruh sampai akademisi menolak kebijakan kenaikan PPN. Ada berbagai alasan yang disampaikan, termasuk kenaikan pajak akan menurunkan inovasi teknologi. Namun pemerintah tetap menaikkan PPN per 1 Januari 2025 meski banyak yang menandatangani petisi menolak kenaikan PPN. Ini menggambarkan abainya negara terhadap kepentingan rakyat.
Pandangan Islam
Islam memandang pajak sebagai alternatif terakhir sumber pendapatan negara, itu pun hanya dalam konsisi tertentu, seperti ketika kas negara benar-benar kosong atau ada kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi. Bahkan pajak hanya dipungut dari kalangan tertentu saja yaitu dari kaum muslim yang mampu secara finansial, dan tidak dipungut dari non muslim.
Dalam sistem ekonomi Islam, negara memiliki sumber pendapatan yang banyak dan beragam. Seperti zakat ,ghanimah,fai,kharaj dan pengelolaan SDA. Dengan pengaturan sistem politik dan ekonomi islam, khilafah (Daulah Islam) akan mampu menjamin kesehateraan rakyat individu per individu.
Islam menetapkan penguasa sebagai ra'in dan junnah, yaitu pengurus rakyat. Negara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan memastikan kesejahteraan mereka secara individu.
Islam juga menetapkan aturan kepemilikan yang jelas, dimana sumber daya alam menjadi milik umum yang tidak boleh dimiliki oleh individu tertentu seperti penguasa maupun pengusaha atau pemilik modal. Kewajiban penguasa adalah mengelola harta rakyat untuk dikembalikan kepada rakyat. Hasil dari pengelolaan ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat dengan mekanisme yang diatur oleh syariat. Bisa dalam bentuk berbagai fasilitas umum dan layanan yang akan memudahkan hidup rakyat.
Demikianlah pengaturan Islam terkait pungutan pajak. Apabila diterapkan, tentu akan menghilangkan kesengsaraan rakyat atas kewajiban pajak sebagaimana diterapkan dalam sistem kapitalisme saat ini.
Allah Swt. berfirman, “Tidaklah pantas bagi mukmin dan mukminat, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketentuan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh ia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.” (QS Al-Ahzab: 36).
Wallahu'alam bissawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar