Oleh : Ummu Fadillah
Dilansir dari KONTAN.CO.ID, sejumlah elemen masyarakat mulai turun ke jalan menolak kenaikan tarif Pajak pertambahan Nilai (PPN) 12% yang berlaku pada 1 Januari 2025. Barang apa saja yang akan dipungut PPN 12%? Lalu apa dampak PPN 12% bagi masyarakat?
Penolakan PPN 12% antara lain dilakukan oleh mahasiswa. Diberitakan Kompas.com, aliansi mahasiswa yang tergabung dalam BEM Seluruh Indonesia (SI) menggelar aksi unjuk rasa menolak kebijakan PPN 12% di samping Patung Arjuna Wijaya, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (27/12/2024).
Mereka di antaranya berasal dari BEM Universitas Negeri Jakarta (UNJ), KBM STEI SEBI, HMI se-Jakarta dan Politeknik Negeri Media Kreatif. Selama aksi, massa menyanyikan lagu “Buruh Tani” serta lagu perjuangan mahasiswa lainnya.
Demonstran tolak PPN 12% juga membawa sejumlah poster yang berisi aspirasi dan tuntutan. “Utangmu urusanmu. Utang negara ya urusanmu,” bunyi salah satu poster yang bergambarkan siluet menyerupai Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Diberitakan sebelumnya, pemerintah memastikan PPN 12% berlaku sejak awal tahun 2025. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, terdapat kebijakan PPN 12% yang akan dikenakan khusus untuk barang mewah yang sebelumnya dibebaskan PPN.
Penyesuaian tarif PPN akan dikenakan bagi barang dan jasa yang dikategorikan mewah dan dikonsumsi masyarakat mampu. Barang-barang tersebut di antaranya, kelompok makanan berharga premium, layanan rumah sakit kelas VIP, dan pendidikan yang berstandar internasional yang berbayar mahal.
“Kita juga perlu untuk sedikit memperbaiki agar dalam hal ini azas gotong royong dan keadilan tetap terjaga, yaitu kelompok yang masuk dalam golongan yang dikonsumsi oleh desil 10 yaitu desil paling kaya desil 9-10 kita akan berlakukan pengenaan PPN-nya,” tutur Sri Mulyani dalam konferensi pers, Senin (16/12).
Sri Mulyani mencontohkan, makanan mewah yang premium seperti daging sapi wagyu atau kobe yang harganya kisaran Rp 2,5 juta hingga Rp 3 juta per kilo. Sementara itu, daging yang dinikmati masyarakat secara umum berkisar antara Rp 150-200 ribu per kilo tidak dikenakan PPN.Untuk sekolah premium, tarif PPN 12% akan dikenakan pada sekolah-sekolah yang biaya pembayarannya mencapai ratusan juta.
“Kesehatan yang premium juga akan dikenakan PPN, dan juga PPN untuk pelanggan listrik 3.500-6.600 volt ampere (VA) dikenakan PPN,” jelasnya. Adapun dalam bahan paparan Sri Mulyani dirincikan, beberapa contoh barang mewah yang sebelumnya dibebaskan PPN, kini akan dikenakan PPN.
Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan negara dalam sistem Kapitalisme. karena itu pajak adalah satu keniscayaan, demikian pula kenaikan besaran pajak dan beragam jenis pungutan pajak.
Ketika pajak menjadi sumber pendapatan negara, maka hakekatnya rakyat membiayai sendiri kebutuhannya akan berbagai layanan yang dibutuhkan. Artinya negara tidak berperan sebagai pengurus rakyat. Dan dalam sistem kapitalisme negara hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator, melayani kepentingan para pemilik modal. Rakyat biasa akan terabaikan. Rakyat menjadi sasaran berbagai pungutan negara yang bersifat ‘wajib’ sebagai konsekuensi posisinya sebagai warga negara
Pungutan pajak jelas mneyengsarakan, karena pungutan itu tidak memandang kondisi rakyat. Mirisnya banyak kebijakan pajak yang memberikan keringanan pada para pengusaha, dengan alasan untuk meningkatkan investasi pengusaha bermodal besar. Asumsinya investasi akan membuka lapangan kerja dan bermanfaat untuk rakyat. Padahal faktanya tidak seperti itu.
Berbagai lapisan masyarakat, mulai buruh sampai akademisi menolak kebijakan kenaikan PPN. Ada berbagai alasan yang disampaikan, termasuk kenaikan pajak akan menurunkan inovasi teknologi. Namun pemerintah tetap menaikkan PPN per 1 Januari 2025 meski banyak yang menandatangani petisi menolak kenaikan PPN.
Lebih menyedihkannya lagi, ternyata kenaikan PPN dari tahun ke tahun berpengaruh terhadap makin menurunnya kelompok kelas menengah masyarakat negeri ini, padahal kelompok tersebut merupakan penopang perekonomian nasional. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat telah terjadi penurunan jumlah kelas menengah dalam lima tahun terakhir. Tercatat pada 2019, jumlah kelompok kelas menengah sebanyak 57,33 juta orang, lantas pada 2024 jumlahnya merosot menjadi 47,85 juta orang. Artinya, ada hampir 10 juta orang di kalangan menengah turun kasta dalam kurun waktu tersebut.
Dalam laporan yang sama, BPS mencatat pengeluaran untuk pajak makin besar dalam alokasi kelas menengah. Jumlah pengeluaran untuk pajak/ iuran pada 2019 sebesar 3,48%. Angka tersebut mengalami kenaikan 1,05% menjadi 4,53% pada 2024. (Republika, 14-9-2024).
Dari data-data ini semua, kita dapat melihat betapa kebijakan kenaikan pajak yang ditetapkan pemerintah negeri ini menimbulkan kesulitan bagi rakyat, bahkan menyebabkan ‘turun kasta’. Sangat jelas, kebijakan ini benar-benar tidak mempertimbangkan kesejahteraan rakyatnya. Pemerintah seolah menutup mata atas penderitaan rakyatnya. Sehingga, ketika memutuskan kebijakan, sering kali tidak berpihak terhadap kepentingan masyarakat luas. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula.
Di dalam sistem Islam, penguasa berposisi sebagai ra’in (pengurus) terhadap urusan rakyat. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah saw., “Imam adalah ra’in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari).
Negara Islam (Khilafah) menjalankan politik ekonomi Islam, yaitu memenuhi kebutuhan pokok rakyat (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan) tiap individu dan mewujudkan kemampuan rakyat untuk memenuhi kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier). Negara menerapkan sistem ekonomi Islam di bidang industri, pertanian, dan perdagangan sehingga mampu membuka lapangan kerja seluas-luasnya. Dengan demikian, rakyat laki-laki dewasa bisa bekerja untuk menafkahi keluarganya sehingga mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan dengan layak.
Adapun pendidikan, kesehatan, dan keamanan disediakan negara secara gratis dan berkualitas sehingga semua rakyat bisa menikmatinya tanpa biaya. Negara juga menyediakan fasilitas publik seperti transportasi, bahan bakar minyak, listrik, gas, dan lainnya dengan murah bahkan gratis sehingga rakyat mudah mengaksesnya. Dengan riayah (pengurusan) oleh Khilafah ini terwujudlah kesejahteraan pada tiap-tiap individu rakyat.
Negara Khilafah bisa mewujudkan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat tersebut karena memiliki APBN berupa baitulmal yang sumber pemasukannya luar biasa besar. Berdasarkan buku Sistem Keuangan Negara Khilafah karya Syekh Abdul Qadim Zalim rahimahullah, pemasukan Khilafah berasal dari tiga bagian, yaitu fai dan kharaj, kepemilikan umum, dan zakat. Bagian fai dan kharaj terdiri dari seksi ganimah, kharaj, status tanah, jizyah, fai, dan dharibah. Bagian kepemilikan umum terdiri dari seksi migas; listrik; pertambangan; laut, sungai, perairan, dan mata air; hutan dan padang rumput; serta aset yang diproteksi negara. Bagian zakat terdiri dari zakat uang dan perdagangan; zakat pertanian dan buah-buahan; serta zakat ternak sapi, unta, dan kambing.
Negeri-negeri muslim dikaruniai kekayaan alam yang luar biasa, termasuk pertambangan yang terkategori kepemilikan umum. Dari sektor ini saja, dengan pengelolaan oleh negara berdasarkan syariat, akan memberikan hasil yang luar biasa nilainya secara ekonomi. Dengan penerimaan baitulmal yang luar biasa besarnya, terutama dari sektor pertambangan, Khilafah akan mampu membiayai belanja negara dan pembangunan tanpa mengalami defisit (berutang) dan tanpa memungut pajak.
Dengan demikian, Khilafah tidak akan menetapkan target pajak tahunan. Khilafah juga tidak akan memajaki rakyat seperti penguasa kapitalis hari ini. Memang ada salah satu pemasukan negara yang disebut pajak (dharibah), tetapi penerapannya jauh berbeda dengan pajak dalam kapitalisme.
Pajak di dalam sistem Islam hanya dipungut ketika kas negara kosong, sedangkan pada saat yang sama ada kebutuhan rakyat yang harus dipenuhi. Pajak tidak boleh dipungut ketika di baitulmal ada harta. Kebutuhan yang dipenuhi dengan memungut zakat adalah kebutuhan yang jika tidak terpenuhi, akan menyebabkan terjadinya dharar, sedangkan dharar harus dihilangkan. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak boleh ada bahaya (dharar) dan saling membahayakan.” (HR Ibnu Majah dan Ahmad). Pajak tidak dipungut terus-menerus atau tahunan. Ketika kebutuhan dana sudah tercukupi, pemungutan pajak dihentikan.
Selain itu, pajak di dalam sistem Islam hanya dipungut dari laki-laki muslim kaya saja, sedangkan perempuan, anak-anak, orang miskin, dan nonmuslim tidak dipungut pajak. Dengan demikian, pemungutan pajak di dalam sistem Islam tidak akan menimbulkan kezaliman. Wallahualam bissawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar