Pajak dan Sistem Kapitalisme tidak mampu Mensejahterakan Rakyat


Oleh : Arini Fatma Rahmayanti

Akhir tahun 2024 terdengar rumor kenaikan pajak PPN menjadi 12% yang akan diberlakukan pada awal tahun 2025. Tentu berita ini mengundang perhatian rakyat, sebab sampai hari ini masi banyak rakyat yang hidup dibawah garis kemiskinan, bahkan rakyat yang kelas menegahpun masih pontang-panting berjuang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sehingga banyak rakyat yang menolak rencana kenaikan pajak PPN menjadi 12% tersebut. 

Dilansir dari CNN Indonesia, penolakan masyarakat terhadap kenaikan PPN jadi 12 persen semakin menguat. Sebanyak 197.753 orang telah meneken petisi menolak kenaikan PPN menjadi 12 persen. Jumlah tersebut merupakan data yang masuk hingga Sabtu (28/12), pukul 13.00 WIB. Inisiator petisi, Bareng Warga, menyatakan kenaikan PPN akan memperdalam kesulitan masyarakat. Sebab, kebijakan tersebut diberlakukan di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang terpuruk.

Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS), angka pengangguran terbuka masih di kisaran 4,91 juta orang. Kemudian dari 144,64 juta orang yang bekerja, sebagian besar atau 57,94 persen bekerja di sektor informal. Jumlahnya mencapai 83,83 juta orang. Kata inisiator petisi, pendapatan atau upah masyarakat juga masih terdapat masalah. Data BPS per bulan Agustus, sejak tahun 2020 rata-rata upah pekerja semakin mepet dengan rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP). Trennya sempat naik di tahun 2022, namun kembali menurun di tahun 2023. Tahun ini selisihnya hanya 154 ribu rupiah.

"Naiknya PPN yang juga akan membuat harga barang ikut naik sangat mempengaruhi daya beli. Kita tentu sudah pasti ingat, sejak bulan Mei 2024 daya beli masyarakat terus merosot. Kalau PPN terus dipaksakan naik, niscaya daya beli bukan lagi merosot, melainkan terjun bebas," ucap inisiator.

Selain itu banyak mahasiswa dan masyarakat yang turut kejalan, protes akan rencana kenaikan pajak PPN menjadi 12% ini. Ditansir dari KONTAN.CO.ID, sejumlah mahasiswa dan elemen masyarakat mulai turun ke jalan menolak kenaikan tarif Pajak pertambahan Nilai (PPN) 12% yang berlaku pada 1 Januari 2025. Mereka di antaranya berasal dari BEM Universitas Negeri Jakarta (UNJ), KBM STEI SEBI, HMI se-Jakarta dan Politeknik Negeri Media Kreatif. Selama aksi, massa menyanyikan lagu “Buruh Tani” serta lagu perjuangan mahasiswa lainnya. Demonstran tolak PPN 12% juga membawa sejumlah poster yang berisi aspirasi dan tuntutan. “Utangmu urusanmu. Utang negara ya urusanmu,” bunyi salah satu poster yang bergambarkan siluet menyerupai Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Dilansir dari CNBC Indonesia, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan sinyal kuat bahwa, tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang diamanatkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) naik menjadi 12% pada Januari 2025 akan tetap dilaksanakan. Penegasan ini ia sampaikan saat rapat kerja dengan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Komisi XI DPR. Sri Mulyani menjawab pertanyaan para anggota DPR tentang kepastian kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025.
"Sudah ada UU, nya kita perlu siapkan agar itu bisa dijalankan. Tapi dengan penjelasan yang baik sehingga kita tetap bisa... bukannya membabi buta, tapi APBN memang tetap harus dijaga kesehatannnya," tegas Sri Mulyani dalam rapat dengan Komisi XI, dikutip Senin (25/11/2024).

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi S Lukman mengatakan, kenaikan PPN ini akan berdampak pada harga produk makanan dan minuman (mamin) olahan yang harus dibayar konsumen. "Dampaknya besar sekali. Karena kenaikan 1% itu akan dirasakan oleh konsumen. Apalagi FMCG (fast moving consumer goods) pangan itu price sensitive," katanya kepada CNBC Indonesia, Senin (25/11/2024).

Selain itu, berdasarkan kajian LPEM FEB UI dalam Seri Analisis Makro Ekonomi Indonesia Economic Outlook 2025 disebutkan bahwa PPN dapat berisiko memperburuk tekanan inflasi. "Tarif PPN yang lebih tinggi biasanya mengakibatkan kenaikan harga barang dan jasa secara langsung, sehingga meningkatkan biaya hidup secara keseluruhan. Efek ini dapat menjadi tantangan bagi rumah tangga berpenghasilan rendah, yang mungkin mengalami penurunan daya beli, sehingga mengarah pada penurunan pengeluaran dan konsumsi konsumen secara keseluruhan," kata Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky.

Tidak ketinggalan, kelompok buruh telah mengancam menggelar aksi mogok kerja nasional jika pemerintah tetap menaikkan PPN menjadi 12% mulai Januari 2025. Hal ini disampaikan langsung oleh Presiden KSPI sekaligus Presiden Partai Buruh Said Iqbal. Dia menegaskan aksi mogok kerja akan dilakukan selama dua hari. "Aksi ini direncanakan akan menghentikan produksi selama minimal dua hari," kata Said Iqbal, dalam keterangannya. Dia menilai upaya pemerintah meningkatkan rasio pajak seharusnya tidak dilakukan dengan membebani rakyat kecil.

"Tetapi dengan memperluas jumlah wajib pajak dan meningkatkan penagihan pajak pada korporasi besar dan individu kaya," tegasnya. Menurut Said Iqbal, kenaikan PPN 12% hanya akan menekan daya beli, mengancam keberlangsung usaha, memici risiko PHK dan memicu kesenjangan sosial, "Lesunya daya beli ini juga akan memperburuk kondisi pasar, mengancam keberlangsungan bisnis, dan meningkatkan potensi PHK di berbagai sektor," ungkap Said Iqbal.

Sungguh kondisi ini sangat memperlihatkan bagaimana wajah asli penguasa dalam sistem demokrasi kapitalisme yang seharusnya menjadi wakil rakyat dan mensejahterakan rakyat, namun ternyata mereka adalah pemeran utama yang menyengsarakan rakyat. Dalam sistem demokrasi kapitalisme siapapun yang terpilih menjadi penguasa maka mereka akan tetap menerapkan sistem ekonomi kapitalisme. sistem ekonomi kapitalisme inilah yang menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan negara, pajak adalah suatu keniscayaan dan prinsip ini tidak bisa dihilangkan dalam sistem ini, sehingga kenaikan pajak akan selalu terjadi, hal ini menunjukkan bahwa rakyat sejatinya sedang membiayai sendiri kebutuhannya, bukan dibiayai oleh negara atau negara berlepas tangan akan tanggung jawab mereka sebagai pengurus rakyat.

Negara dalam sistem demokrasi kapitalisme tidak lebih dari sekedar fasilitator dan regulator, dan yang menyakitkannya lagi, setiap regulasi yang dikeluarkan penguasa dalam sistem demokrasi kapitalisme ini hanya menguntungkan para pemilik modal, tidak pernah ada regulasi yang bener-bener menguntungkan rakyat, seperti kebijakan pajak. Pungutan pajak jelas menyengsarakan, karena pungutan ini tidak memandang kondisi rakyat.

Kebijakan yang selalu merugikan rakyat tidak pernah ditemukan dalam sistem pemerintahan islam. Dalam kitab Syakhshiyah Al-Islamiyah, karangan Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa islam telah memerintahkan agar penguasa memperhatikan rakyatnya, memberikan nasihat, dan memperingati agar tidak sepeserpun menyentuh harta kekayaan milik umum. Maksud dari tidak menyentuh kekayaan milik umum ini adalah negaralah yang wajib mengelola keseluruhan harta milik umum atau SDA, dan tidak boleh menyerahkan pengelolaannya pada swasta atau segelintir kelompok. Hasil dari pengelolaan SDA wajib dikembalikan negara kepada rakyat dalam bentuk pendidikan, kesehatan, pelayanan yang baik, dan membangun berbagai fasilitas umum untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. 

Pemasukan dan pengeluaran negara dalam sistem ekonomi islam tidak berbasis pajak dan utang, artinya dalam sistem ekonomi islam pajak tidak menjadi sumber pemasukan utama negara, tidak ada beban wajib pajak bagi kaum muslimin. Terdapat tiga jenis pemasukan negara dalam sistem ekonomi islam yakni harta milik negara, harta milik umum, dan harta zakat, serta telah ditetapkan pos pengeluarannya oleh syariat yang berpijak pada kesejahteraan rakyat dan dakwah islam. 

Pajak dalam sistem ekonomi islam adalah alternatif paling terakhir sebagai sumber pemasukan negara, dan hanya diterapkan pada kondisi ketika kas negara dalam keadaan kosong sedangkan banyak kewajiban yang harus dipenuhi negara. Pungutan pajak ini juga hanya dikenakan pada individu tertentu sesuai dengan dana yang dibutuhkan. Kebijakan dalam sistem islam dikeluarkan dengan dorongan takwa, dan jauh dari kedzoliman, sebab lahirnya kebijakan hanya syariat islam, dan dengan pengawasan dari majelis umat, partai politik/jamaah dakwah, individu yang berdasarkan syariat islam. Wallahualam.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar