Oleh : Masrina Sitanggang
Kenaikan pajak resmi diberlakukan sejak 1 Januari. Sebagaimana yang telah diumumkan oleh Presiden Prabowo Subianto di gedung Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta Pusat, pada Selasa (31/12/2024). Kebijakan tersebut merupakan amanah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dengan tujuan untuk menjaga daya beli masyarakat, menjaga inflasi rendah, dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Setiap kebijakan yang diberlakukan tentu saja akan memiliki dampak terhadap masyarakat luas. Menurut Pakar Ekonomi dari Universitas Indonesia, Dr. Irwan Setiawan, dalam wawancaranya yang dimuat di Kompas, berpendapat bahwa kenaikan PPN 12% berpotensi menekan daya beli masyarakat, terutama di kelompok menengah ke bawah.
Menyikapi protes masyarakat, pemerintah memutuskan untuk tidak mengenakan tarif PPN 12 persen pada barang-barang kebutuhan dasar dan masih memberikan bantuan stimulan untuk mendukung daya beli masyarakat, termasuk bantuan beras dan diskon tarif listrik. Pemerintah berkomitmen memberikan bantuan senilai Rp 38,6 triliun sebagai respons terhadap kebijakan ini, menunjukkan bahwa mereka menyadari dampak ekonomi yang mungkin ditimbulkan oleh kenaikan tarif PPN.
Selain itu, pemerintah juga memberikan diskon listrik sebesar 50% untuk bulan Januari dan Februari tahun 2025. Hal ini tidak lain untuk memberikan keringanan kepada masyarakat atas kebijakan pemerintah terkait kenaikan PPN menjadi 12%. Saat berkunjung ke PLN Unit Pengatur Beban Gandul, Depok, bersama Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo, Jumat (27/12). Direktur Keuangan PT PLN Sinthya Roesly mengungkapkan bahwa Januari dan Februari ini PLN akan kehilangan pendapatan sekitar Rp5 triliun per bulan.
Sudah menjadi hal biasa ketika pemerintah memberlakukan suatu peraturan yang membebani rakyat, mereka akan menstimulasi kelancaran peraturan tersebut dengan memberikan insentif atau sejenisnya terhadap rakyat. Jika dilihat sekilas seolah menunjukkan kepedulian terhadap rakyat. Namun jika diperhatikan dengan kacamata pembesar, bantuan ini hanyalah ibarat umpan yang digunakan untuk memancing. Sama sekali tidak memberikan solusi berarti untuk rakyat kecuali untuk membungkam suara mereka rakyat atas kebijakan yang yang tidak berpihak pada rakyat.
Pemasukan terbesar negara hari ini berasal dari pajak. Bahkan mencapai 60-70% dari total keseluruhan pendapatan negara. Angka ini jelas sangat fantastis. Maka sangat wajar jika dikatakan bahwa negara ditopang oleh pajak.Karena itu pajak adalah satu keniscayaan, demikian pula kenaikan besaran pajak dan beragam jenis pungutan pajak.
Ketika pajak menjadi sumber pendapatan negara, maka hakekatnya rakyat sedang membiayai sendiri kebutuhannya akan berbagai layanan yang dibutuhkan. Artinya negara tidak berperan sebagai pengurus rakyat. Dan dalam sistem kapitalisme negara hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator, melayani kepentingan para pemilik modal. Rakyat biasa akan terabaikan. Rakyat menjadi sasaran berbagai pungutan negara yang bersifat ‘wajib’ sebagai konsekuensi posisinya sebagai warga negara.
Pungutan pajak jelas menyengsarakan rakyat, karena pungutan itu tidak memandang kondisi rakyat. Mirisnya banyak kebijakan pajak yang memberikan keringanan pada para pengusaha, dengan alasan untuk meningkatkan investasi pengusaha bermodal besar. Asumsinya investasi akan membuka lapangan kerja dan bermanfaat untuk rakyat. Padahal faktanya tidak demikian.
Berbagai lapisan masyarakat, mulai buruh sampai akademisi menolak kebijakan kenaikan PPN. Ada berbagai alasan yang disampaikan, termasuk kenaikan pajak akan menurunkan inovasi teknologi. Namun pemerintah tetap menaikkan PPN per 1 Januari 2025 meski banyak yang menandatangani petisi menolak kenaikan PPN.
Islam memandang pajak sebagai alternatif terakhir sumber pendapatan negara, itu pun hanya dalam konsisi tertentu, dan hanya pada kalangan tertentu. Yakni ketika negara benar-benar kondisi darurat, sementara Baitul mal sedang mengalami kekosongan. Dan pajak ini diberlakukan untuk orang muslim yang kaya saja, dan berlaku untuk saat itu juga. Ketika darurat telah dilalui maka pemberlakuan pajak tersebut juga akan dihentikan saat itu juga.
Islam memiliki sumber pendapatan yang banyak dan beragam, sesuai dengan pos-pos kepemilikan yang telah ditetapkan oleh syariah. Dan dengan pengaturan sistem politik dan ekonomi islam, khilafah akan mampu menjamin kesehateraan rakyat individu per individu.
Islam juga menetapkan penguasa sebagai rain dan junnah, dan mengharamkan penguasa untuk menyentuh harta rakyat. Kewajiban penguasa mengelola harta rakyat untuk dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk berbagai fasilitas umum dan layanan yang akan memudahkan hidup rakyat.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar