Oleh : Vera Carolina, S.P
Ibarat pepatah sudah jatuh tertimpa tangga. Kondisi ekonomi masyarakat saat ini sedang sulit. Harga bahan-bahan pokok naik hingga penghujung tahun. Ditambah pemberitahuan kebijakan kenaikan PPN 12% menjadi beban berat masyarakat hari ini. Dilansir dari CNBC Indonesia Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati menyampaikan alokasi uang negara yang dipungut dari masyarakat hingga hutang negara salah satunya diperuntukan 20% dr APBN dipakai untuk sektor pendidikan dalam negeri. Hanya saja yang menjadi persoalan adanya kenaikan PPN 12% meskipun sebagian pemasukan pajak untuk pedidikan akan tetapi kondisi ekonomi masyarakat sedang sulit akan menimbulkan keresahan dimasyarakat jika PPN dinaikkan.
Meskipun pemerintah meyakinkan bahwa PPN 12% hanya untuk barang mewah, fakta di lapangan harga-harga barang lain tetap naik. Ini terkait ketidakjelasan di awal akan barang yang akan terkena PPN 12% sehingga penjual memasukan PPN 12% pada semua jenis barang. Misalnya, PPN atas kegiatan membangun dan merenovasi rumah, pembelian kendaraan bekas dari pengusaha penyalur kendaraan bekas, jasa asuransi, pengiriman paket, jasa agen wisata dan perjalanan keagamaan, dan lain sebagainya Ketika harga sudah naik, tak bisa dikoreksi meski aturan menyebutkan kenaikan PPN hanya untuk barang mewah saja.
Fakta nya terdampaknya pengenaan PPN atas sejumlah barang dan jasa itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 yang mengatur tentang skema PPN di tahun 2025, yaitu tarif efektif 12 persen untuk barang-barang mewah dan tarif efektif 11 persen untuk barang-barang non-mewah.
Dalam Pasal 4 PMK tersebut, pemerintah menyebutkan, ada sejumlah barang dan jasa kena pajak (BKP/JKP) tertentu yang selama ini sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan secara tersendiri. Pengenaan PPN atas barang dan jasa tertentu itu memang telah menggunakan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) nilai lain atau besaran tertentu. Meskipun dalam peraturannya PPN 12% hanya untuk barang mewah tetapi kondisi nyatanya tak hanya barang mewah yang ditarik PPN tersebut tetapi barang barang non mewah dikenakan tarif pajak demikian.
Setelah perbincangan PPN 12% menjadi perbincangan nasional, Negara tampak berusaha untuk cuci tangan dengan didukung media partisan. Dan menyebutkan berbagai program bantuan yang diklaim untuk meringankan hidup rakyat. Negara memaksakan kebijakan dengan membuat narasi seolah berpihak kepada rakyat, namun sejatinya abai terhadap penderitaan rakyat. Kebijakan ini menguatkan profil penguasa yang populis otoriter.
Pajak Kebijakan Zalim
Dalam sistem ekonomi kapitalis, pajak menjadi sumber utama pendapatan negara. Di Indonesia pemasukan terbesar dari pajak berkisar 82%. Sehingga penarikan pajak dalam sistem kapitalis suatu keharusan dan di legalisasi dalam perundang-undangan. Dari sisi pendapatan negara, perlambatan ekonomi global menyebabkan penerimaan pajak negara merosot seperti pemasukan pajak dari SDA misalnya batubara, minyak sawit dan nikel. Serta royalti sari perusahaan pertambangan dan perkebunan. Dengan kondisi demikian langkah yang cepat dalam mengumpulkan pemasukan dengan menaikan pajak pertambahan nilai.
Di tengah kondisi tersebut. Beberapa jenis pungutan juga dilakukan negara seperti asuransi kendaraan, cukai minuman ber pemanis dalam kemasan, kebaikan iuran BPJS, iuran tapera, pengurangan konsumsi BBM. Padahal jumlah penduduk masih banyak dalam kondisi pra sejahtera masih 15,71 persen penduduk Indonesia kategori miskin, kondisi yang tidak aman secara ekonomi sebesar 43,33 persen. Artinya penduduk yang rawan secara ekonomi hampir 60%.
Disamping itu korupsi anggaran negara semakin masif. Akibatnya uang negara masuk ke kantong para pejabat dan para pengusaha. Kepala PPATk mengungkapkan bahwa 36,67 persen proyek strategis nasional tidak digunakan untuk pembangunan proyek tersebut, al hasil untuk kepentingan pribadi. Jika kondisi tersebut masih ada, jelaslah bahwa kebijakan penarikan pajak sebagai kebijakan zalim yang mempersulit rakyat dalam kehidupannya. Sejatinya negara hadir dalam pengurusan urusan rakyat.
Penguasa dalam Perspektif Islam
Islam mewajibkan penguasa sebagai raa'in yang mengurus rakyat sesuai dengan aturan Islam, dan tidak menimbulkan antipati pada rakyat dan tidak membuat rakyat menderita. Islam mewajibkan penguasa hanya menerapkan aturan Islam saja. Allah mengancam penguasa yang melanggar aturan Allah.
Pajak dalam perspektif Islam adalah bati, sebab pos-pos pemasukan dan pengeluaran APBN mengacu pada syariat Islam. Berdasarkan dalil Al Quran, hadis, ijma sahabat dan Qiyas menetapkan bahwa pemasukan utama APBN negara bukan pajak. Sehingga pajak tidak menjadi sumber utama pendapatan negara. Slumber pendapatan negara dalam Islam ada 12 seperti fai, anfaal, ghanimah dan khusus, pungutan dari tanah yang berstatua kharaj, pungutan jizyah, harta milik umum, harta milik negara, harta yang ditarik dari perdagangan luar negeri, harta yang disita dari pejabat dan pegawai negara yang diperoleh dengan cara haram, harta rikaz dan tambang, harta yang tidak ada pemiliknya, harta orang-orang mirtad, pajak dan zakat.
Hanya saja pajak (dharibah) diambil sewaktu-waktu saja ketikan kas APBN kosong. Pajak diambil dari orang-orang kaya saja dan dipungut sejumlah kebutuhan negara tidak boleh lebih dari kebutuhan. Pemasukan utama bukan pajak melainkan pemasukan yang sudah disebutkan diatas. Pemasukan dari pemilikan umum dan pemilikan negara memiliki potensi besar pemasukan ketika SDA yang ada dikelola oleh negara dan diperuntukan untuk rakyat. Al hasil, negara tidak mengandalkan hutang luar negeri sebagai penopang APBN. Kemandirian negara dalam pengelolaan SDA yang ada mampu membiayai kebutuhan rakyat nya. Penerapan APBN yang tidak berbasis pajak hanya bisa diterapkan dalam sistem Islam Kaffah.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar