Perceraian Rapuhnya Ikatan Rumah Tangga dan Gagalnya Negara Sekuler


Oleh : Intan Marfuah (Aktivis Muslimah)

Dilansir dari KALTIMPOST.ID, Pengadilan Agama Kelas II Tanah Grogot menangani perkara perceraian di Kabupaten Paser selama 2024. Total ada 507 perkara, terdiri dari cerai gugat dan cerai talak. Jumlah perkara ini meningkat dibanding 2023 yang hanya ada 497 kasus.

"Penyebab perceraian bermula dari pertengkaran antara suami-istri. Selain itu permasalahan ekonomi, perselingkuhan, dan masih lainnya," kata Panitera Muda Pengadilan Agama Tanah Grogot, Hijerah, Selasa (7/1/2025).

Perkara yang sudah didaftarkan pelapor, baik itu suami atau istri, biasanya tuntas dan jarang terjadi pembatalan. Artinya yang datang ke Pengadilan Agama, niatnya sudah bulat berpisah. Mediasi atau kesepakatan yang terjadi saat sidang, biasanya lebih ke mediasi hak masing-masing setelah perceraian.

Tiap satu perkara perceraian yang masuk, maksimal selesai putusan sidangnya sekitar tiga bulan dengan jumlah rata-rata dua kali sidang. Jika tergugat hadir pada sidang pertama, biasanya bisa lebih cepat.(Kaltimpost.ID, 07-Januari-2025)

Memang banyak faktor sosial maupun ekonomi yang menjadi penyebab perceraian, misal kemiskinan, ketakharmonisan, KDRT, termasuk kasus judi online. Dalam rumah tangga muda, kelabilan emosi pasangan dan faktor ekonomi dituding menjadi penyebab utama. Namun, berbagai penyebab ini sebenarnya hanya persoalan cabang, bukan akar masalah yang sebenarnya.

Apabila kita dalami penyebab maraknya gugat cerai di Indonesia, semua bermuara pada satu jawaban, yaitu penerapan sistem kehidupan kapitalistik beserta turunannya, yakni liberalisme, sekularisme, dan feminisme.

Sistem hidup dalam kapitalisme menjadikan materi sebagai tolok ukur kebahagiaan. Seseorang akan merasa bahagia jika ia mampu memenuhi seluruh kebutuhannya, primer hingga tersier. Bahkan, kapitalisme telah memanipulasi keinginan sebagai kebutuhan sehingga kebutuhan ini meluas. Rumah mewah, makanan enak, perhiasan, fesyen, sampai peralatan dapur, semua menjadi kebutuhan.

Bahkan, bagi perempuan, kosmetik menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditinggalkan. Jika suami tidak mampu memenuhi semua “kebutuhan” ini, istri merasa kurang. Tuntutan istri yang tinggi pada akhirnya membuat suami stres sehingga memunculkan pertikaian antara keduanya.

Di sisi lain, sistem ekonomi kapitalisme menjadikan akses terhadap sumber daya hanya bagi orang-orang yang memiliki modal. Muncul kesenjangan antara golongan kaya dan miskin. Sistem ini pula yang menjadikan semua kebutuhan dibisniskan. Kebutuhan terhadap pendidikan dan layanan kesehatan pun menjadi teramat mahal.

Tidak heran jika tekanan hidup terus meningkat. Apalagi pada pasangan muda yang perekonomiannya belum stabil. Ditambah belum stabil juga secara emosi, menjadikan suami rentan melakukan KDRT. Istri pun mudah mengambil keputusan singkat, menentukan langkah sendiri, mencari pekerjaan, pergi dari suami menjadi TKW di luar negeri, ataupun berpaling ke laki-laki lain.

Ditambah dengan makin tersebarnya feminisme yang membuat perempuan merasa punya hak yang sama untuk mencari uang. Semua berujung pada perselisihan dan keretakan rumah tangga yang sering kali diakhiri dengan gugatan cerai istri kepada suaminya.

Adapun liberalisme, paham yang mengedepankan kebebasan individu, penampakannya sudah begitu nyata di masyarakat. Perempuan yang tidak menutup aurat, khalwat, dan pergaulan yang tidak mengenal batas, menjadikan perselingkuhan marak di tengah masyarakat. Tidak hanya suami berselingkuh, istri juga sering kebablasan, menyimpan PIL (pria idaman lain). Apalagi dengan menjamurnya media sosial. Peluang berselingkuh makin terbuka lebar. Dalam liberalisme, masalah perselingkuhan dianggap sebagai masalah pribadi yang tidak layak dicampuri orang lain. Kontrol sosial menjadi mandul.

Lalu sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Paham ini membuat umat Islam memandang agama semata ritual. Dalam kehidupan sehari-hari, hukum-hukum agama dipinggirkan, termasuk dalam pengelolaan rumah tangga. Akibat yang terjadi kemudian adalah para suami yang tidak paham kewajiban menafkahi istri dan anak-anak, menelantarkan mereka, dan tidak bertanggung jawab. Mereka tidak paham kelak akan diminta pertanggungjawaban di akhirat atas pengurusannya itu.

Bahkan, saat ini kapitalisme memunculkan tren di kalangan pasangan muda yang sama-sama bekerja, membuat perjanjian pranikah. Misal, mengenai pengelolaan harta dalam pernikahan dan apabila terjadi perceraian. Artinya, dari sebelum menikah, pasangan ini sudah dihantui kekhawatiran akan bercerai. Tentu ini menciptakan komitmen yang lemah terhadap pernikahan.

Inilah sejatinya penyebab dari tingginya perceraian, terutama gugat cerai. Dengan demikian, selama kapitalisme beserta turunannya tidak dibongkar habis, masalah perceraian akan terus marak. Sebagaimana tampak jelas di negara-negara Eropa dan Amerika yang menjadi lokomotif kapitalisme, perceraian bahkan hampir mencapai 50%.

Lima tahun pertama dalam pernikahan memang merupakan masa-masa kritis. Ekonomi dan emosi yang belum stabil, landasan pernikahan yang semata cinta secara fisik, kesulitan dalam beradaptasi dengan karakter pasangan yang berbeda, maupun ketaksiapan menghadapi masalah. Semua bisa memicu keputusan untuk bercerai. Kondisi ini dapat dihindari dengan menerapkan aturan-aturan Islam dalam berkeluarga sehingga melahirkan ketenangan dan ketenteraman.

Allah Swt. berfirman, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS Ar-Ruum: 21).

Pemahaman terhadap agama adalah kunci dari kehidupan pernikahan yang sakinah. Islam, melalui Rasulullah saw., mengajarkan bahwa pergaulan antara suami-istri adalah pergaulan persahabatan yang diwarnai dengan kasih sayang antara keduanya. Keduanya saling menghormati, saling menahan diri, dan saling menolong, semata untuk mencari rida Allah dan menggapai surga-Nya bersama-sama.

Untuk itu, Islam mengatur dengan terperinci tentang hak dan kewajiban antara suami-istri secara seimbang sesuai fitrah kemanusiaan mereka. Islam memerintahkan perempuan untuk taat kepada suaminya selama bukan dalam kemaksiatan. Pahala ketaatan itu sangat besar, bahkan menyamai pahala amal-amal yang utama.

Nabi saw. bersabda, “Apabila seorang wanita menjaga salat lima waktu, berpuasa pada bulannya, menjaga kehormatannya, dan menaati suaminya, niscaya ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan.” (HR Ahmad dan Ibnu Hibban).

Ketaatan istri pada suami adalah salah satu pilar ketenteraman rumah tangga. Ibarat kapal, sudah pasti nakhoda harus satu. Begitu pula kepemimpinan rumah tangga. Kepemimpinan ganda hanya akan menimbulkan persaingan, pertentangan, dan perselisihan yang mengancam keutuhan rumah tangga.

Mengenai hal ini, Allah Swt. telah menyerahkan kepemimpinan rumah tangga bagi suami. Firman-Nya, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” (QS An-Nisaa: 34).

Kepemimpinan di tangan suami dan ketaatan istri padanya tidak akan membuat istri menjadi lebih rendah posisinya sehingga rentan terhadap KDRT. Ini karena Islam—pada saat yang sama—juga memerintahkan suami untuk memperlakukan istri dengan baik. Sayangnya, hal inilah yang jarang dibahas di tengah umat sehingga kesan yang muncul dari wajib taatnya istri pada suami adalah ketimpangan kedudukan mereka di mata syariat.

Allah Swt. berfirman, “Dan pergaulilah mereka (istri-istrimu) dengan baik.” (QS An-Nisaa: 19).

Dengan ketentuan seperti ini, kepemimpinan suami bukanlah kepemimpinan yang bersifat otoriter. Ia wajib memperhatikan kepentingan, kondisi, dan perasaan istrinya. Kepemimpinannya adalah kepemimpinan kasih sayang untuk membimbing istri dan anak-anaknya mendapatkan rida Allah. Rasulullah saw. adalah teladan terbaik dalam hal ini. 

Beliau saw. bersabda, “Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik perlakuannya terhadap keluarganya. Sesungguhnya aku sendiri adalah orang yang paling baik di antara kalian dalam memperlakukan keluargaku.” (HR Ibnu Majah).

Rasulullah saw. telah memberikan contoh yang indah dalam kehidupan rumah tangganya. Beliau mendengarkan pendapat istrinya, mengikuti saran-saran mereka, bahkan mengajak mereka bercanda. Baiknya, pergaulan suami akan memudahkan istri untuk menjaga ketaatan.

Sebaliknya juga, ketaatan istri kepada suami memiliki kekuatan untuk menenteramkan hati suami. Timbal balik yang harmonis seperti ini akan menciptakan rumah tangga yang diliputi kedamaian, sakinah mawaddah warahmah, serta menjauhkan suami maupun istri dari ketakpuasan yang mengarah pada perselingkuhan dan perceraian. Tidak hanya mengatur kehidupan rumah tangga yang harmonis, Islam juga menyiapkan sistem yang mendukungnya.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar