Oleh : vieDihardjo (Ketua Komunitas Ibu Hebat)
Komunitas Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) terus berkembang, baik dalam skala nasional maupun global. Dari laman Statistica pada tahun 2023 diungkap sebuah hasil survei yang dilakukan pada tahun 2021 di 27 negara mengambarkan hanya sekitar 70% responden menyatakan tertarik kepada lawan jenis. Sisanya sekitar 30% menyatakan dengan tegas bahwa mereka adalah homoseksual baik lesbian maupun gay, terbesar dari Australia, Inggris Raya, Belgia dan Belanda. Indonesia, Sebuah penelitian dilakukan tentang “Eksistensi LGBT di Indonesia dalam perspektif HAM, Agama dan Pancasila” diterbitkan dalam Jurnal Kewarganegaraan volume 18, nomor 2 (2021) memaparkan data LGBT yang terus meningkat terutama di kota-kota besar, seperti, Bali, Jakarta, Surabaya dan Yogyakarta. Penelitian ini menyebut kelompok LGBT memiliki komunitas bernama Gaya Nusantara yang diklaim sebagai komunitas gay terbesar di Asia Tenggara dengan sebaran di 11 kota di seluruh Indonesia.
Paparan data dari United Nation Development Program (UNDP) tahun 2014 Disebutkan bahwa pada 2013, ada dua jaringan nasional organisasi LGBT, dan 119 organisasi di 28 dari 34 provinsi Indonesia. LGBT telah berkembang menjadi LGBTQ+ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender dan Queer +) yang merujuk pada berbagai jenis orientasi seksual. MIsalnya Androseksual (ketertarikan secara seksual pada maskulinitas), Autoseksual (ketertarikan seksual, QQ (Keterbukaan identitas gender, orientasi seksual), Pomoseksual (Penolakan terhadap identitas seksual dan tidak menjadi bagian dari salah satunya) dan sebagainya. LGBTQ+ adalah konsep yang diarusderaskan agar khalayak umum menerima dan tidak mendiskriminasi identitas gender dan orientasi seksual seseorang, artinya LGBTQ+ harus diterima sebagai bagian dari kehidupan normal.
Disisi lain, ternyata isu-isu tentang LGBTQ+ turut ‘dimainkan’ menjelang tahun politik 2024 kemarin. Sentimen-sentimen anti LGBTQ+ digaungkan untuk tujuan elektoral (pemilu). Berbagai pernyataan politisi tenteng isu ini hingga mendorong lahirnya aturan-aturan anti LGBTQ+. Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ika Ningtyas, mengungkapkan, “pada awal Januari 2023 saja, banyak kepala daerah yang tiba-tiba mengangkat isu LGBT, mulai dari Medan hingga ke beberapa kabupaten dan kota lain”(www.bbc.com)
Perda Anti LGBT, Solusi Setengah Hati
Data dari AJI mengungkap, dari 113 media online, mayoritas menyiarkan pernyataan-pernyataan anti LGBT dari tokoh atau ormas yang berafiliasi dengan partai politik. Sejumlah 31 liputan memuat pernyataan-pernyataan anti-LGBT dari anggota-anggota DPRD dan 25 liputan dari walikota dan bupati. “Para politisi berusaha menarik suara mayoritas dengan memainkan isu LGBT yang dianggap bisa membantu mereka mencapai suara elektoral di setiap Pemilu,” ujar Ika (www.bbc.com) Sebetulnya, jika ditelaah lebih dalam sebetulnya LGBTQ+ lahir dari sebuah sistem kehidupan yang menjauhkan agama dari sistem kehidupan (sekulerisme), penyinpangan orientasi seksual yang terjadi justru menuntut untuk diterima dengan mendalilkan hak kebebasan berekspresi dan berkehendak yang termaktub dalam Hak Asasi Manusia (HAM) yang diratifikasi oleh banyak negara, termasuk Indonesia.
Niat menerbitkan perda berantas LGBT adalah niat yang baik. Hanya saja, penyimpangan yang dilakukan oleh kaum’pelangi’ ini lahir dari sebuah sistem sekuler yang mendewakan kebebasan maka mustahil akan bisa memberi solusi tuntas. Akan ada pro kontra yang terus-menerus terjadi. Para pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) akan berpendapat bahwa orientasi seksual adalah hak kebebasan berekspresi. Diantara yang menolak wacana perda berantas LGBT adalah Jaringan Antar Umat Beragama (JAKATARUB). Kelompok ini menilai penerbitan perda berantas LGBT diskriminatif. Koordinator Jakatarub, Arfi menyatakan ‘Kalau ini benar terjadi dan diseriuskan, tentu ya Jakatarub menyesalkan. Karena akan menambah lagi perda diskriminatif di Jabar,”(www.tempo.co)
Senada dengan Jakatarub, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengingatkan kesamaan hak setiap warganegara dihadapan hukum berdasarkan konstitusi negara, yaitu UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Komisioner Komnas HAM, Anis, menyatakan, “Jadi tidak boleh ada diskriminasi berbasis apa pun” (www.tempo.co). Pernyataan Walikota Medan, Bobby Nasution yang menyatakan bahwa LGBT dilarang di kota Medan, langsung mendapat respon dari Pendamping Transpuan Indonesia, Hartoyo yang menyatakan ” Apakah seorang warga homoseksual atau heteroseksual, transgender atau tidak, menikah atau tidak menikah, beribadah atau tidak beribadah itu semua bukan wewenang atau tugas wali kota untuk turut masuk dan mengatur” (www.tempo.co)
Wacana Perda Berantas LGBT sebagai sebuah niat baik tidak disupport oleh sistem yang ada sehingga menjadi solusi setengah hati. Masih banyak kelompok masyarakat yang kontra, baik pelaku LGBT maupun kelompok-kelompok yang menerima mereka dengan berbagai motif, semisal hak asasi maupun eksploitasi baik materi maupun seksual.
Berantas LGBT dengan Sistem Islam
LGBT dan kini berkembang menjadi LGBTQ+ adalah persoalan global yang juga menimpa negeri-negeri muslim, Penerimaan atau legal acceptance atas same-sex marriage terhadap kelompok masyarakat dengan penyakit perilaku seksual menyimpang ini, kini telah mencapai 32 negara. Bahkan, Amerika Serikat sebagai negara sekuler utama awalnya menolak keras kelompok ini pada tahun 50-an kini menerima melalui voting di Mahkamah Agung pada 2015 dengan hasil 5 banding 4. Dan kemenangan ini segera disebarluaskan dengan dukungan secara terang-terangan Dubes AS untuk Indonesia “Pihak Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia menegaskan dukungannya terhadap pernikahan sejenis di kalangan lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT). Dubes AS untuk Indonesia Robert O. Blake bahkan mendesak Pemerintah Indonesia mengambil sikap serupa.” (Koran Republika, 12 Februari 2016 dalam www.alwaie.net)
Sebagai sebuah agenda global, maka yang bisa menghentikan adalah sebuah kekuatan adidaya yang memiliki kemampuan lebih besar. Negara adidaya itu bernama Khilafah Islam!. Khilafah adalah negara global yang menggunakan Al qur’an dan As sunnah dalam mengelola negara.
Kehidupan islam berbada secara diametral kehidupan sekuler, yang memisahkan agama dari kehidupan. Islam mengaharamkan LGBT dan memasukkannya dalam tindak kriminal (al-jariimah), berdasarkan hadis: “Lesbian adalah (bagaikan) zina di antara wanita.” (HR ath-Thabrani). Hukumannya adalah ta’ziir, bisa cambuk, penjara, publikasi, dan sebagainya (Abdurrahman Al-Maliki, Nizhaam al-‘Uquubaat dalam www.alwaie.net). Homoseksual atau gay dikenal dengan istilah liwaath. Imam Ibnu Qudamah mengatakan bahwa telah sepakat seluruh ulama mengenai haramnya homoseksual (Al-Mughni, 12/348 dalam www.alwaie.net)
Nabi saw. bersabda, ”Siapa saja yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Nabi Luth, maka bunuhlah keduanya.” (HR Al-Khamsah, kecuali an-Nasa‘i). Hukuman lesbian dan gay adalah hukuman mati dan tidak ada khilafiyah terhadap hal ini.
Perlakuan islam terhadap LGBTQ+ sangat komprehensif, mulai dari preventif (pencegahan) hingga kuratif. Dari sisi preventif dimulai dari pendidikan keluarga hingga masyarakat, seperti kurikulum pendidikan, hidupnya aktivitas amar ma’ruf nahi mungkar hingga kuratif (penegakan sistem sanksi yang menjerakan dan mencegah). Maka mencegah dan memberantas LGBTQ+ tidak bisa dilakukan melalui sistem yang justru menjadi pangkal muasal munculnya penyakit menyimpang ini atas nama kebebasan berekspresi dan berkehendak tetapi harus berasal dari sistem yang mencegah dari awal terjadinya penyakit ini dan menyedikan mekanisme sanksi yang menjerakan dan mencegah orang mengikuti dan melakukan hal yang sama, yaitu sistem islam yang diterapkan oleh sebuah negara adidaya (global) bernama Khilafah’ala minhajin nubuwwah.
Wallahu’alam bisshowab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar