Oleh : Elly Waluyo (Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)
Kebebasan merupakan asas yang melingkupi sistem sekularisme yang diterapkan saat ini. Sistem yang memisahkan agama dari kehidupan telah menyerahkan batasan benar dan salah pada masing-masing Individu. Hak asasi manusia seringkali dijadikan tameng dalam kebebasan bertindak.
Hal ini menjadi pupuk bagi penyakit masyarakat termasuk menjamurnya perilaku menyimpang lesbian, homo, gay, biseksual dan transgender (LGBT) atau biasa disebut kaum pelangi. Oleh karenanya sistem yang lahir dari hawa nafsu manusia ini tak akan mampu memberikan solusi mengakar pada segala macam problematika umat karena sudah menjadi tabiatnya sistem kufur ini, jikalau pemerintah hanya mampu menjadi regulator saja dan tak pernah dibarengi dengan tindakan nyata karena akan selalu ditunggangi oleh kepentingan para kapital yang menjadi penyokong dalam generalisasi LGBT.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatra Barat (Sumbar) mulai jengah dengan semakin merebaknya LGBT di daerah Minang sehingga memutuskan mengkaji ulang peraturan daerah (Perda) terkait LGBT. Menurut Srikurnia Yati kepala Dinas Kesehatan Kota Padang, diantara 308 kasus HIV yang terjadi di kota Padang terdapat 142 (46,3%) warga Kota Padang terjangkit, sedangkan 166 kasus (53,8%) dari luar kota Padang. Lebih dari 50% kasus tersebut menjangkiti individu dengan usia produktif 24 hingga 45 tahun. tertinggi terjadi di kecamatan Koto Tengah dengan 40 kasus, diikuti kecamatan Lubuk Begalung sebanyak 22 kasus dan 4 kasus di kecamatan Lubuk Kilangan.
Senada dengan Srikurnia, Nanda Satria selaku wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumbar juga menilai bahwa perilaku menyimpang adalah penyebab utama merebaknya kasus HIV/AIDS di Kota Padang. Kasus tersebut tentu mencoreng filosofi Minang yakni“ adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”. Sehingga Nanda pun merangsek pemerintah untuk mengatasi penyakit masyarakat tersebut melalui edukasi bahaya LGBT di berbagai macam media seperti baliho, videotron. (https://news.republika.co.id : 04 Januari 2025 )
Rencana penyusunan perda untuk memberantas LGBT hanyalah harapan kosong di tengah penerapan sistem sekularisme saat ini. LGBT merupakan hasil panen yang dipetik dari sistem kufur tersebut. Asas kebebasan yang mendasari sistem sekularisme menjadi penyebab lahirnya HAM sehingga individu bebas menentukan orientasi seksualnya dan bebas pula dalam menggaungkan perilaku menyimpang itu ke publik.
Oleh karenanya keberadaan perda dalam memberantas LGBT sebenarnya sangat baik, tetapi perda tersebut akan selalu menuai kontroversi dan pertentangan dari berbagai pihak termasuk pemerintah pusat. Karena acuan pemerintah dalam sistem ini adalah HAM bukan syariat. Kalau pun terlahir, maka Perda LGBT hanya menjadi simbolis saja karena tak didukung dengan hukum yang mampu menjerakan atau mencegah.
Perda pun akhirnya hanya menjadi solusi kosong yang semakin menyuburkan pelaku LGBT. Tak ada lagi solusi yang mampu memberangus perilaku menyimpang tersebut selain menerapkan syariat Islam secara kaffah. Hanya Islam yang memiliki sistem sosial untuk mengatur hubungan antar Individu baik dengan sesama jenis maupun berbeda jenis kelamin dan melindungi orientasi seksualnya.
Islam juga menyediakan seperangkat hukum yang mampu menjerakan dan mencegah terjadinya perilaku menyimpang. Negara secara masif akan menutup berbagai celah yang memungkinkan berbagai pemahaman sesat masuk dan merusak fitrah warga negaranya atau peluang dalam melakukan pelanggaran.
Mekanisme tiga pilar dijalankan untuk mencegah LGBT yakni ketakwaan Individu yang diraih dari pendidikan dalam keluarga, kontrol masyarakat yang senantiasa beramar ma’ruf nahi mungkar, dan negara yang menerapkan syariat Islam. Demikianlah syariat Islam dalam mengatur dan melindungi umat, tak hanya didunia namun berimbas ke akhirat.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar