PPN 12 Persen : Gula-gula Insentif, Akankah Efektif?


Oleh : vieDihardjo (Alumnus Hubungan Internasional) 

Direktur Center Of Economic And Law Studies (Celios) Bhima Yudistira menyatakan bantalan dan subsidi akan digelontorkan pemerintah untuk mengatasi dampak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% tidak efektif. Yudhistira menyatakan “"Iya sebaiknya tidak menaikkan tarif PPN. Itu pilihan terbaik," (www.kompas.com 17/12/2024). Namun pemerintah ‘kekeuh’ PPN naik dengan argumentasi amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) nomor 7 tahun 2021. Untuk mengatasi dampak kenaikan PPN 12% pada berbagai kelompok adalah dengan memberikan beberapa subsidi. Pemerintah menilai dengan memberikan subsidi atau bantalan dapat mengurangi dampak ekonomi akibat kenaikan PPN 12%. Pemberian insentif PPN 12 persen, antara lain bantuan beras 10 kilogram per bulan dan diskon listrik 50 persen bagi pelanggan di bawah 2.200 VA selama dua bulan pada Januari-Februari 2025 (www.kompas.com 17/12/2024)

Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pemerintah akan menggelontorkan insentif PPN 2025 sebesar Rp 265,6 triliun sementara kenaikan PPN 12% akan memberikan tambahan penerimaan negara sebesar 75 trilliun. Secara perhitungan biaya subsidi atau bantalan tidak cukup signifikan menambah penerimaan negara. “ Artinya masuk kantong kiri, keluar kantong kanan, tidak efektif” ujar Bhima Yudhistira (www.kompas.com 17/12/2024). Subsidi atau bantalan hanya diberikan dalam jangka waktu dua bulan saja, sementara pada bulan ketiga (Maret) Umati islam memasuki bulan Ramadhan yang dipastikan kebutuhan pangan akan meningkat, dikhawatirkan harga-harga akan naik dampak kenaikan PPN 12%. Seorang pedagang di pasar Beringharjo, Sri Handani mengatakan, “Harga nanti pasti terpengaruh, jadi lebih tinggi. Khawatirnya, ya permintaannya berkurang. Apalagi di awal-awal, butuh penyesuaian. Tapi selanjutnya itu jadi biasa, Kayak dulu (PPN) dari 10 persen ke 11 persen, sekarang ke 12 persen. Tapi, ini belum berpengaruh kalau dengar-dengar ya Januari 2025 ada kenaikan”(www.jogja.tribunnews.com23/12/2024). Pola konsumsi masyarakat menjelang Ramadhan dan idul fitri bisa terbaca karena terjadi berulang, kenaikan PPN 12% yang akan berdampak pada harga bahan pokok tentu akan makin memberatkan masyarakat dan menurunkan daya beli. 

Beberapa insentif dan stimulus juga diberikan pada kelas menengah dan dunia usaha. Diantaranya kebijakan PPN DTP (Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah) dengan diskon 100% pada Januari-Juni 2025 dan 50% pada Juli-Desember 2025, sehingga kelas menengah masih dapat membeli rumah dengan harga maksimal 5 milyar. Pemerintah juga menerapkan PPN DTP pada bagi kendaraan listrik berbasis baterai dan hybrid, dan memerikan insentif pada Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 DTP pada sektor padat karja dengan penghasilan dibawah 10 juta. 


Gula-gula insentif, apakah efektif? 

Direktur Center Of Economic And Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan bahwa 4 paket kebijakan sebagai stimulan ekonomi tidaklah efektif, “"Stimulus tidak mampu mengurangi beban ekonomi yang ditanggung masyarakat dan pelaku usaha,"(www.msn.com 24/12/2024) Hal senada disampaikan oleh Eksekutif Direktur Center Of Reform On Economics (CORE) Mohammad Faisal yang mengatakan, bansos dan program subsidi pemerintah tidak memiliki pengaruh menjaga ekonomi Indonesia, pasca kenaikan PPN. Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto, menegaskan bahwa satu-satunya solusi untuk menjaga kondisi ekonomi Indonesia dengan segala kenaikan kebutuhan anggaran negara adalah dengan menunda kenaikan PPN. "Solusi terbaiknya menunda kenaikan, setidaknya sampai laju konsumsi secara relatif konsisten berada di atas pertumbuhan ekonomi," kata Eko (www.msn.com 24/12/2024). 

Meski kritik dari berbagai ahli terkait stimulus yang tidak efektif menopang daya beli masyarakat yang kian menurun akibat kenaikan PPN 12%, pemerintah bergeming. Masyarakat juga menyatakan protes dengan membuat petisi tolak PPN 12 persen yang berjudul “Pemerintah segera batalkan kenaikan PPN”, petisi mengangkat tagar #PajakMencekik dan #TolakKenaikanPPN it, dalam deskripsi alasannya menyebut bahwa rencana menaikan kembali PPN merupakan kebijakan yang akan memperdalam kesulitan masyarakat. Petisi telah ditandangani orang,hingga 195.344 pada 26/12/2024 dari target sebanyaki 200.000 tandatangan. Petisi juga telah disampaikan pada Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) pada 19/12/2024. Petisi online tersebut mendapat respon posistif dari sejumlah pihak yang mendukung agar presiden Prabowo meneken Perppu untuk menunda atau membatalkan kenaikan PPN 12% sampai kondisi ekonomi masyarakat stabil, atau daya beli masyarakat kembali kuat. Diantaranya Direktur Eksekutif Institute For Development Economics And Finance (Indef) Esther Sri Astuti menyampaikan “Betul (bergantung Prabowo), intinya political will. Itu bisa (dengan menerbitkan Perppu) (www.maklumat.id 28/12/2024). 

Pemerintah bergeming dengan tetap memberlakukan PPN 12% dan mencoba mengendalikan dampaknya dengan berbagai stimulus berupa insentif dan bantalan pada berbagai kelompok terdampak yang menurut beberapa ahli ekonomi tidak akan efektif dan tidak bisa menahan daya beli masyarakat yang akan ‘terjun bebas’ sebagai dampak kebijakan ini. 


Dalam Islam pajak bukan penerimaan utama negara 

Dalam undang-undang negara islam (Khilafah) pasal 150 berbunyi, 
Apabila sumber tetap pemasukan Baitul Mal tidak mencukupi anggaran negara, maka negara boleh memungut pajak dengan pengalokasian sebagai berikut:
Untuk memenuhi biaya yang menjadi kewajiban Baitul Mal kepada para fakir, miskin, ibnu sabil dan pelaksanaan kewajiban jihad.
Untuk memenuhi biaya yang menjadi kewajiban Baitul Mal sebagai ganti jasa dan pelayanan kepada negara seperti gaji para pegawai, gaji tentara dan santunan para penguasa.
Untuk biaya-biaya yang menjadi kewajiban Baitul Mal demi mewujudkan kemaslahatan dan pembangunan tanpa biaya pengganti, seperti pembangunan jalan raya, pengadaan air minum, pembangunan masjid, sekolah dan rumah sakit.
Untuk kebutuhan biaya yang menjadi tanggung jawab Baitul Mal dalam keadaan darurat—bencana mendadak—yang menimpa rakyat, seperti bencana kelaparan, angin topan, atau gempa bumi.
Penarikan pajak pada kaum muslimin sesuai ketentuan yang diperbolehkan syariah karena kas negara (Baitul mal)kosong diperbolehkan untuk membiayai hal-hal tersebut diatas bukan semata-mata karena perintah Khalifah. Namun didalam islam, pajak bukanlah sumber penerimaaan negara yang utama. Menurut Abdul Qadir Zallum dalam Al-Amwal Fi Daulah al-Khilafah (Al Waie 17/5/2024) 

Pendapatan dari harta rampasan perang (anfaal, ghaniimah, fai dan khumus); pungutan dari tanah yang berstatus kharaj; pungutan dari non-Muslim yang hidup dalam Negara Islam (jizyah); 
Harta milik umum
Harta milik negara
Harta yang ditarik dari perdagangan luar negeri (‘usyur)
 Harta yang disita dari pejabat dan pegawai negara karena diperoleh dengan cara haram
 Harta rikaz dan tambang
Harta yang tidak ada pemiliknya
Harta orang-orang murtad
pajak dan zakat 

Dalam islam, seluruh pos penenerimaan dan pengeluaran negara didasarkan pada nash-nash syara didalam Al qur’an dan As Sunnah, ijma’ sahabat dan qiyas. Bukan pembangunan-pembangunan yang didasarkan pada kehendak dan proyek-proyek penguasa. 

Salah satu sumber penerimaan negara yang cukup besar adalah dari sumberdaya alam dengan dengan deposit yang sangat besar seperti tambang (sumber-sumber energi), air (sumberdaya kelautan), padang (hutan) jika dikelola secara benar sesuai syariah islam, yaitu dikelola oleh negara, bukan diserahkan kepada pemilik modal (oligarki) maka potensi penerimaan APBN cukup besar untuk mengurus rakyat. 

Maka pajak bukanlan instrumen utama instrumen penerimaan didalam negara islam, sehingga pemerintah juga tidak perlu menyediakan gula-gula insentif untuk menanggulangi dampak kenaikan pajak. Negara islam akan mengoptimalkan sumber-sumber penerimaan lain sesuai yang diatur oleh syariah sedangkan pajak akan menjadi pilihan terakhir saat kas negara benar-benar kosong. Maka perekonomian Indonesia perlu diatur sesuai dengan syariah islam agar membawa keberkahan dan kemakmuran rakyat juga kemajuan negeri ini. Umat islam bisa terus mendorong diterapkannya islam secara menyeluruh ‘kaffah’ dalam bingkai Khilafah’ala min hajin nubuwwah.

Wallahu’alam bisshowab. 





Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar