Tepatkah Solusi Bansos dan Subsidi dalam Menanggulangi Kenaikan PPN?


Oleh : Via Gantina, S.Pd (Muslimah Peduli Umat)

Menurut Yassierli, Menteri Ketenagakerjaan, kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 % tetap mempertimbangkan perlindungan bagi pekerja, terutama bagi mereka yang bekerja di sektor padat karya serta yang terkena dampak pemutusan hubungan kerja (PHK). Ia menjelaskan bahwa pemerintah telah menyiapkan berbagai program mitigasi untuk mendukung kesejahteraan pekerja di tengah pelaksanaan kebijakan tersebut.

Yassierli menambahkan, khususnya bagi pekerja di sektor padat karya, pemerintah memberikan insentif berupa Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yang ditanggung pemerintah bagi pekerja dengan penghasilan maksimal Rp10 juta per bulan. Selain itu, iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) yang dibayarkan oleh BPJS Ketenagakerjaan juga akan mendapatkan diskon 50 persen selama enam bulan untuk meringankan beban perusahaan dan pekerja.

Kebijakan peningkatan PPN menjadi 12% di tengah situasi ekonomi yang tidak stabil seperti saat ini, jelas akan menambah beban pada masalah ekonomi yang sudah ada dan dapat menghasilkan efek domino. Meskipun barang pokok tidak terpengaruh oleh kenaikan PPN ini, dampaknya dapat memicu kenaikan harga barang pokok lainnya sebagai upaya untuk menyeimbangkan pendapatan dan pengeluaran akibat kebijakan tersebut.
Kenaikan PPN 12% juga akan berpotensi menurunkan daya beli dan konsumsi masyarakat. Dengan pendapatan yang tetap, tetapi pengeluaran yang meningkat, masyarakat cenderung akan mengurangi belanja dan menahan pengeluaran mereka. Apabila hal ini terus berlanjut, pendapatan para produsen, penjual, dan pedagang juga akan mengalami penurunan seiring dengan menurunnya daya beli masyarakat.

Pajak merupakan sumber utama pendapatan negara dalam sistem kapitalisme, yang menyebabkan penguasa terus mencari cara untuk memungut pajak dari rakyat. Selama pajak dapat menghasilkan pendapatan, kenaikan pajak dan berbagai tarif akan menjadi praktik umum bagi penguasa dalam sistem kapitalisme. Di Indonesia, terdapat berbagai jenis pajak, termasuk Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

Pada hakikatnya, pajak dianggap sebagai bentuk pemalakan rakyat dengan alasan membangun negara secara kolektif. Namun, kebijakan yang diambil oleh penguasa seringkali tidak mencerminkan kepentingan rakyat. Meskipun mereka mendapatkan gaji dari hasil kerja keras masyarakat melalui pajak, kinerja penguasa di negeri ini masih jauh dari harapan akan amanah dan keadilan.

Dalam pandangan Islam, seorang pemimpin memiliki tanggung jawab besar terhadap orang-orang yang dipimpinnya. Pemimpin diwajibkan memiliki karakteristik kepemimpinan yang mencakup keadilan, kebijaksanaan, amanah, dan rasa tanggung jawab. Konsep ini diibaratkan seperti seorang penggembala. Dalam sebuah hadis, Rasulullah ï·º bersabda, "Imam itu adalah seperti penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya" (HR Bukhari dan Ahmad dari Abdullah bin Umar ra.).

Sebagai seorang penggembala (raa’in), pemimpin bertugas untuk melayani, membimbing, mengarahkan, serta memastikan bahwa kebutuhan rakyatnya terpenuhi agar mereka dapat berkembang dengan baik. Kiasan ini menegaskan bahwa pemimpin memiliki tanggung jawab untuk mengurus kebutuhan rakyat yang mempercayainya.

Tanggung jawab pemimpin dalam memenuhi berbagai kewajiban sebagai penguasa tercermin jelas dalam hadis-hadis yang dijelaskan oleh Rasul ï·º. Beberapa sifat penting seorang penguasa di antaranya adalah kekuatan, ketakwaan, kelemahlembutan terhadap rakyat, dan kemampuan untuk menjaga hubungan baik. Rasulullah ï·º menekankan bahwa seorang penguasa haruslah memiliki kekuatan, karena orang yang lemah tidak layak mengemban tugas tersebut. Kekuatan yang dimaksud mencakup kekuatan karakter (asy-syakhshiyah), yang terdiri dari kekuatan pikiran (al-’aqliyah) dan kekuatan jiwa (an-nafsiyah).

Ketika seorang pemimpin memiliki rasa takwa kepada Allah, merasakan ketakutan kepada-Nya, dan selalu menyadari bahwa dirinya berada dalam pengawasan-Nya baik secara diam-diam maupun terbuka, hal ini akan melindunginya dari perilaku tirani terhadap rakyat. Namun demikian, sifat takwa tidak menghalanginya untuk bersikap tegas dan disiplin, karena dalam menjaga hubungan dengan Allah, ia selalu mematuhi perintah dan larangan-Nya. Sebagai seorang penguasa, menegakkan kedisiplinan dan ketegasan merupakan bagian dari tugasnya. Oleh karena itu, Allah Ta’ala memerintahkan pemimpin untuk bersikap lembut dan tidak membebani rakyat. Rasulullah ï·º bersabda, “Ya Allah, barang siapa memimpin umatku, lalu dia menyusahkan mereka maka susahkanlah dia. Barang siapa memimpin umatku, lalu dia bersikap lemah lembut terhadap mereka maka bersikaplah lemah lembut terhadapnya.” (HR Muslim) (Taqiyuddin an-Nabhani, Syakhshiyah Islamiyah, Juz II, hlm. 158).

Negara khilafah memiliki sumber pemasukan yang berasal dari baitulmal. Dalam kitab An-Nizham al-Iqtishady fi Al-Islam yang ditulis oleh Taqiyuddin an-Nabhani, dijelaskan bahwa sumber pemasukan tetap baitulmal mencakup fai, ganimah, anfal, kharaj, jizyah, dan penerimaan dari hak milik umum dalam berbagai bentuk, serta penerimaan dari hak milik negara, usyur, khumus, rikaz, tambang, dan harta zakat. Namun, zakat ditempatkan pada bagian khusus baitulmal dan tidak dapat diberikan kepada selain delapan ashnaf (golongan) yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Tidak ada bagian dari zakat yang boleh dialokasikan untuk hal-hal di luar delapan ashnaf tersebut, baik untuk urusan negara maupun urusan masyarakat.

Penerapan kewajiban pajak dalam Islam disesuaikan dengan ketentuan syariat yang mengatur umat muslim. Apabila suatu kegiatan merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh umat, dan pelaksanaannya memerlukan dana, maka negara diperbolehkan memberlakukan pajak kepada orang-orang kaya untuk mendukung pelaksanaan kewajiban tersebut.

Adapun negara diperbolehkan menarik pajak dalam situasi berikut: Untuk kebutuhan wajib baitulmal: Pajak digunakan untuk membantu fakir miskin, ibnusabil, serta pelaksanaan jihad yang menjadi kewajiban syariat.

Untuk pengeluaran wajib terkait kompensasi: termasuk pembayaran gaji pegawai negeri, tentara, dan pengeluaran lain yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan tugas negara.

Untuk kebutuhan mendesak demi kemaslahatan umum: seperti pembangunan infrastruktur, misalnya jalan, masjid, sekolah, rumah sakit, serta kebutuhan lain yang dianggap esensial bagi masyarakat dan tidak dapat ditunda.

Dalam kondisi darurat atau bencana: misalnya saat terjadi paceklik, bencana alam, atau ancaman serangan musuh yang memerlukan respons cepat untuk melindungi umat.

Untuk melunasi utang negara: khususnya jika utang tersebut terkait pelaksanaan kewajiban negara yang bersifat mendesak dan syar’i sebagaimana disebutkan dalam poin-poin sebelumnya.

Penting dicatat bahwa pajak dalam Islam hanya diambil ketika kas negara (baitulmal) tidak mampu memenuhi kebutuhan mendesak tersebut. Penarikan pajak bersifat sementara dan tidak menjadi mekanisme rutin seperti pada sistem kapitalisme.

Dalam sistem Islam yang menyeluruh (kafah), negara khilafah menempatkan pemenuhan kebutuhan rakyat sebagai prioritas utama. Kebijakan yang diambil mengedepankan kemaslahatan dan kesejahteraan umat, dengan sumber pemasukan yang berasal dari berbagai sektor, bukan menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Sistem ini mencerminkan kepemimpinan yang amanah dalam mengelola urusan umat, meringankan beban mereka, serta memberikan bantuan dalam kondisi kesulitan ekonomi.

Wallahualam bissawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar