Oleh : Ai Sopiah
Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, menyoroti kesejahteraan dan standar keselamatan sopir truk sebagai salah satu penyebab berulangnya kecelakaan maut di jalan tol, seperti yang terjadi di Gerbang Tol (GT) Ciawi, Selasa (4/2/2025) malam.
"Profesi sopir adalah pekerjaan yang paling tidak diminati. Banyak dari mereka memilih menjadi sopir karena tidak memiliki pilihan lain. Mereka bahkan sering kali mendapatkan SIM tanpa melalui ujian yang layak," ujarnya.
"Hanya sekitar 10% pengemudi yang benar-benar memahami aturan berkendara, baik untuk truk tunggal, gandeng, maupun trailer. Banyak dari mereka yang tidak tahu bagaimana menggunakan gigi yang tepat saat melewati jalan menurun atau menanjak. Bahkan, ada yang menghemat bahan bakar dengan meluncurkan kendaraan dalam posisi netral, tanpa memahami risiko besar yang ditimbulkan," tambahnya.
Agus juga menyoroti kesejahteraan sopir yang masih di bawah ideal. Ia juga mengkritik sistem kerja vendor yang tidak memperhatikan kesejahteraan sopir.
"Upah sopir banyak di bawah UMR, sementara jam kerja sangat panjang. Mereka dipekerjakan tanpa memperhitungkan waktu istirahat yang cukup. Begitu selesai satu perjalanan, langsung disuruh berangkat lagi tanpa peduli apakah mereka lelah atau tidak" jelasnya.
"Sebagian besar truk yang mengangkut barang bukan milik perusahaan produksi, melainkan milik vendor. Para vendor ini hanya memikirkan target pengiriman tanpa mempertimbangkan kondisi sopir" tambahnya.
Sebagai perbandingan, Agus mencontohkan standar keselamatan bagi pilot. "Pilot memiliki aturan ketat terkait waktu istirahat, bahkan harus tidur telentang di tempat tidur, bukan di kursi atau kolong bagasi seperti yang sering dialami sopir bus dan truk" jelasnya. (Beritasatu online, 6/2/2025).
Lemahnya pengawasan, buruknya dalam pelayanan di sistem ini. Pengamat keselamatan transportasi dari Pertamina Training & Consulting, Erreza Hardian, mengatakan jumlah kendaraan yang senantiasa bertambah memunculkan bahaya-bahaya baru di jalan raya. Ia menyoroti potensi bahaya dari angkutan yang mengangkut barang berupa cairan, seperti gerakan sloshing (gerakan bebas dari fluida cair di dalam sebuah wadah) bisa sangat kuat dan sulit diprediksi, terutama saat wadah bergerak atau berubah kecepatan. Menyayangkan edukasi dan pelatihan terkait penanganan muatan cair masih sangat minim. Menurutnya, kebanyakan pengemudi truk tidak memiliki pemahaman yang cukup sehingga berisiko tinggi mengalami hilang kendali, terutama saat pengereman mendadak atau di jalan berliku.
Ia mengkritik peran perusahaan yang belum optimal memastikan keamanan transportasi dan keselamatan pengemudinya. Ketika terjadi kecelakaan, pihak yang selalu disalahkan adalah pengemudi. Aparat sangat jarang mengusut dan memeriksa perusahaan transportasi yang terlibat kecelakaan.
Korps Lalu Lintas (Korlantas) merilis data kecelakaan lalu lintas pada periode Januari-Oktober 2024, terdapat 220.647 kasus kecelakaan lalu lintas (laka lantas) dengan 22.970 di antaranya mengakibatkan korban meninggal dunia. Kecelakaan didominasi oleh kendaraan sepeda motor dengan jumlah 169.559 kasus, angkutan barang 22.609 kasus, dan angkutan orang (bus) 17.651 kasus. Meski kendaraan sepeda motor mendominasi, namun belakangan ini kecelakaan yang melibatkan angkutan barang makin sering terjadi. Ini menandakan permalasahan seputar pengawasan regulasi transportasi dan keselamatan perlu dievaluasi secara menyeluruh.
Dari fakta di atas, kecelakaan lalu lintas sejatinya berkaitan dengan kinerja negara dalam melakukan pengawasan terhadap korporasi transportasi, regulasi kelayakan pengemudi dan kendaraan, serta pelayanan terhadap pengguna jalan dalam menjamin keselamatan mereka.
Pada aspek pengawasan, regulasi yang ada belum cukup untuk mengawasi kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya. Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) pernah mengungkap sejumlah temuan terkait kecelakaan besar yang terjadi pada 2024. Terdapat enam kecelakaan sepanjang 2024 yang telah diinvestigasi, di antaranya kecelakaan beruntun di KM 92 Tol Cipularang, Jawa Barat. Kecelakaan ini melibatkan truk trailer dengan kelebihan muatan sebesar 18% yang juga diduga rem blong.
KNKT mengatakan kegagalan pengereman ini akibat tidak adanya regulasi wajib untuk perawatan rem secara preventif. Regulasi terkait manajemen waktu seperti jam kerja dan istirahat bagi sopir atau pengemudi kendaraan juga belum diatur secara jelas. UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan banyak diberlakukan pada sopir yang seringkali menjadi tersangka atau pemicu kecelakaan.
Dan ujian SIM yang kurang layak, kompetensi dan pengetahuan pengemudi seputar lalu lintas, beban kerja berat, serta kendaraan layak jalan yang belum diatur secara rinci, bahkan ada potensi terjadi kecurangan.
Sudah jamak diketahui, terkadang SIM bisa didapatkan secara instan tanpa melalui uji kelayakan dengan memberikan sejumlah uang kepada aparat yang bertugas. Celah curang seperti ini masih banyak dipraktikkan sebagian masyarakat karena aparat atau petugas memberi peluang praktik ini.
Di sisi lain, negara juga lemah dalam mengawasi perusahaan transportasi untuk benar-benar memastikan kendaraan yang mereka miliki layak jalan serta melakukan perawatan secara intensif. Pihak korporasi kerap tidak melakukan pembaruan mesin atau perawatan dengan alasan biayanya besar dan tidak murah. Pengabaian terhadap aspek ini sangat riskan dan berbahaya, baik bagi pengemudi ataupun pengguna jalan.
Selain itu, penegakan hukum juga masih lemah. Investigasi yang dilakukan sering kali hanya sampai pada tahap pemeriksaan sopir kendaraan. Boleh jadi sopir lalai tersebab beban kerja yang terlalu berat, kendaraan yang dikemudi kurang layak, kelebihan muatan, serta tuntutan setoran yang membuat sopir ugal-ugalan karena mengejar waktu. Semua aspek ini membutuhkan peran negara dalam melakukan kontrol dan pengawasan berkala kepada perusahaan.
Selain itu, buruknya pelayanan terlihat dari belum terjaminnya keselamatan pengguna jalan, yakni masalah infrastruktur jalan. Ini tampak dari ketakadaan jalur penghentian darurat yang layak dan kurangnya fasilitas jalan, berupa jalan bergelombang dan berlubang. Namun masyarakat sering kali hanya diperingati untuk berhenti terhadap jalan yang berlubang.
Negara seharusnya memperbaiki jalan-jalan rusak agar pengguna jalan terjamin keselamatannya. Jika jalan tidak rata dan penerangan gelap, kecelakaan bisa saja terjadi. Semua ini menjadi tanggung jawab negara memberikan infrastruktur jalan dan fasilitas publik yang layak dan aman. Sayangnya negara belum melakukan pelayanan tersebut secara optimal.
Islam memandang bahwa jalan adalah kebutuhan publik dan memiliki kegunaan untuk masyarakat luas sehingga membutuhkan perhatian khusus. Perbaikan jalan harus dilakukan berkala untuk mencegah terjadinya kecelakaan. Infrastruktur jalan adalah salah satu kewajiban negara dalam menyediakan fasilitas publik yang bisa dimanfaatkan masyarakat dengan layak dan aman. Sebagaimana sabda Nabi saw.:
فَاْلإِمَامُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Pemimpin (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR. Al-Bukhari).
Negara Islam (Khilafah) benar-benar harus memastikan seluruh wilayah baik di perkotaan, perdesaan, bahkan yang terpencil sekalipun dapat memperoleh infrastruktur jalan yang bagus dan aman, termasuk dengan lampu penerangan jalan yang baik dan cukup aman bagi pengendara di jalan raya.
Khilafah akan membiayai secara penuh pembangunan infrastruktur jalan. Dananya berasal dari kas baitulmal yang terdiri dari harta fai, ganimah, ‘usyur, khumus, jizyah, kharaj serta pengelolaan barang tambang. Anggaran Khilafah yang bersumber dari harta ini dibelanjakan untuk kepentingan dan kemaslahatan umum, seperti anggaran belanja untuk kantor-kantor pemerintah, santunan bagi para penguasa, gaji tentara dan pegawai, persediaan air, serta pembangunan jalan, sekolah, perguruan tinggi, masjid, dan rumah sakit yang sangat dibutuhkan bagi seluruh umat. (Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah, Al-Amwal fii Daulah al-Khilafah, Bab Harta Milik Umum dan Jenisnya, hlm. 99).
Pada masa kekhalifahan Islam, pembangunan infrastruktur berjalan dengan pesat. Jalan-jalan di kota Bagdad, Irak saat itu sudah terlapisi aspal pada abad ke-8 M. Pembangunan jalan beraspal itu dibangun di masa pemerintahan Khalifah Al-Mansur pada 762 M. Sedangkan Eropa baru membangun jalan pada abad ke-18 M. Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah mendanai pembangunan infrastruktur melalui anggaran khusus di baitulmal. Kaum muslim dan warga Khilafah pada saat itu dapat memanfaatkan jalan dan infrastruktur publik lainnya dengan fasilitas yang baik, serta tanpa dipungut biaya alias gratis.
Hendaknya, penguasa negeri ini belajar bagaimana tanggung jawab seorang pemimpin terhadap keselamatan rakyatnya, pada masa Khalifah Umar bin Khaththab ra. sangat memperhatikan rakyatnya, “Seandainya seekor keledai terperosok di kota Bagdad niscaya Umar akan dimintai pertanggungjawabannya, seraya ditanya, ‘Mengapa tidak meratakan jalan untuknya?”
Sudah saatnya penguasa negri ini mencontoh dan mengikuti Rasulullah Saw. dan para sahabat. Jika hal demikian sesua, maka kesejahteraan rakyat akan terjamin dan terlindungi. Maka mari kita bersama kita mengkaji Islam Kaffah dan berjuang menegakkan kembali kehidupan Islam dan mengganti sistem kufur dengan sistem Islam.
Wallahua'lam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar