Oleh : Ai Sopiah
Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menjatuhkan sanksi kepada delapan pejabat Kantor Pertanahan Tangerang memang perlu diapresiasi. Sebanyak delapan pejabat dicopot sebab terlibat dalam kasus pagar laut di perairan Tangerang, Banten. Dari delapan pejabat yang disanksi berat, enam pegawai diberi sanksi pemberhentian.
Mencopot pejabat internal seharusnya cuma menjadi langkah awal. Pemerintah tak boleh puas hanya dengan menjatuhkan sanksi etik kepada para pejabat di level daerah. Hal ini harus dilanjutkan dengan melakukan tindakan penegakan hukum pidana. Indikasi adanya pelanggaran hukum dan maladministrasi dalam pembangunan pagar laut yang punya Surat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertipikat Hak Milik (SHM) sudah terang-benderang.
Pasalnya, hampir sebulan kasus ini bergulir, belum ada nama-nama yang diumumkan untuk dilidik aparat penegak hukum. Tidak pula ada pengumuman resmi soal pelaku pemagaran laut di Tangerang. Padahal, Kementerian ATR/BPN sudah membuka nama-nama korporasi pemegang SHGB dan SHM, yakni PT Intan Agung Makmur, PT Cahaya Inti Sentosa, serta bidang lain milik perorangan. Bahkan, sudah ada puluhan HGB yang dicabut karena terbukti ilegal dan menyalahi aturan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tak jauh berbeda. KKP menyampaikan secara tegas bahwa pagar laut itu tak memiliki izin dasar Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Tetapi KKP justru menyatakan cuma mampu memberikan denda administratif pada pelaku jika kelak terbukti. Mereka mengeluarkan perhitungan denda sebesar Rp18 juta per kilometer atas pembangunan pagar laut sepanjang 30 km di Tangerang, Banten. (Tirto online, 31/1/2025).
Belakangan ini diketahui bahwa kasus pagar laut tidak hanya terjadi di Tangerang. Di daerah lain, seperti Bekasi, Surabaya, Bali, dan Makassar juga ditemukan keberadaan pagar bambu serupa yang tertancap di laut.
Khusus kasus pagar laut di Tangerang, Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Pung Nugroho Saksono mengatakan, pemagaran laut tersebut ilegal jika merujuk izin dasar Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Sebabnya, pagar tersebut berada di Zona Perikanan Tangkap dan Zona Pengelolaan Energi yang diatur Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang DKP Provinsi Banten 2/2023. Selain itu, menurutnya, pemagaran juga tidak sesuai dengan praktik internasional di United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Alasannya, keberadaan pagar laut itu berpotensi menimbulkan kerugian bagi nelayan dan merusak ekosistem pesisir.
Sayangnya, meski kasus pagar laut di sejumlah daerah itu menunjukkan adanya pelanggaran hukum, kasus ini tidak segera ditindaklanjuti dan dibawa ke ranah pidana. Andai tidak viral, pemerintah seolah-olah membiarkan dan malah mengambinghitamkan pihak lain dan mengalihkan kasus.
Praktisi hukum yang juga pengamat kebijakan publik Yus Dharman mengatakan, pemagaran atau pematokan laut merupakan kejahatan korporasi. Ia meminta pelaku jangan berdalih bahwa pemagaran laut yang sebenarnya merugikan nelayan itu bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN). Ia juga menegaskan, hanya pejabat yang tidak memiliki hati nurani yang berani menerbitkan Hak Guna Bangunan (HGB) di atas laut dengan melanggar banyak aturan. Semestinya jika hendak mereklamasi laut, harus diikuti dengan feasibility study (studi kelayakan) terlebih dahulu berkaitan dengan lingkungan hidup, juga kalkulasi dampak negatif yang mungkin timbul akibat reklamasi terhadap kehidupan sosial ekonomi rakyat.
Ia berharap pemerintah memastikan tiap pembangunan zona pesisir memenuhi persyaratan hukum dan tidak merugikan ekosistem maupun masyarakat lokal. Ia menegaskan, sebagai negara maritim, laut adalah jantung kedaulatan Indonesia. Kasus pagar laut di Tangerang menunjukkan lemahnya pemerintah menjaga aset strategis tersebut.
Maraknya penyalahgunaan kekuasaan yang dihalalkan oleh sistem saat ini menunjukkan bahwa kekuasaan telah menjadi alat kezaliman terhadap pihak yang lemah, dalam hal rakyat. Atas nama kapital, penguasa lebih memihak pengusaha. Bahkan, banyak dari penguasa yang memiliki peran ganda sebagai pengusaha. Pada postur kabinet saat ini, konsep seperti itu sangat jelas terlihat. Tidak hanya di Indonesia, sistem kekuasaan yang demikian itu terjadi di banyak negara sekuler kapitalisme.
Ini menegaskan bahwa kekuasaan tersebut tidak mencerminkan as-sulthan an-nashira (kekuasaan yang menolong) sebagaimana Islam mensyariatkan mengenai kekuasaan dan amanah jabatan yang tidak lain adalah untuk mengurus urusan rakyat. Di dalam Al-Qur’an, Allah mengajarkan doa kepada Nabi Muhammad Saw.
ÙˆَÙ‚ُÙ„ْ رَّبِّ اَدْØ®ِÙ„ْÙ†ِÙŠْ Ù…ُدْØ®َÙ„َ صِدْÙ‚ٍ ÙˆَّاَØ®ْرِجْÙ†ِÙŠْ Ù…ُØ®ْرَجَ صِدْÙ‚ٍ ÙˆَّاجْعَÙ„ْ Ù„ِّÙŠْ Ù…ِÙ†ْ Ù„َّدُÙ†ْÙƒَ سُÙ„ْØ·ٰÙ†ًا Ù†َّصِÙŠْرًا
“Katakanlah, ‘Tuhanku, masukkanlah aku dengan cara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku dengan cara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong."(QS. Al-Isra’ : 80).
Atas dasar ini, sudah semestinya negara berperan sebagai pengurus (raa’in) dan pelindung (junnah) bagi rakyatnya. Rasulullah Saw. bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari).
Dalam rangka mengurus urusan rakyat itu, negara Islam (Khilafah) akan menerapkan tata aturan menurut syariat Islam Kaffah. Khilafah adalah negara mandiri dan bebas dari sandera kepentingan tertentu. Khilafah tidak tunduk kepada manusia, alih-alih para kapitalis, melainkan hanya tunduk kepada aturan Allah dan Rasul-Nya karena kedaulatan hanya ada di tangan hukum syarak. Dengan ini, pengaruh gurita kepentingan seperti taipan maupun kapitalis lainnya sebagaimana dalam korporatokrasi bisa dicegah.
Di sektor ekonomi, sebagaimana dalam kitab An-Nizhamu al-Iqtishadiyi fii al-Islam karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, Khilafah menerapkan sistem ekonomi Islam yang menjaga harta individu umat dan menjamin distribusi harta kepada individu per individu. Sistem ekonomi Islam juga mengatur konsep kepemilikan harta dan membaginya menjadi tiga, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Perihal laut, keberadaannya adalah termasuk harta kepemilikan umum yang jika dikuasai oleh individu jelas menghalangi individu lain untuk bisa mengakses dan memanfaatkannya.
Jika ada pihak-pihak yang berusaha memprivatisasi laut sebagaimana kasus pagar laut, Khilafah akan tegas menindak tiap pelanggar hukum tanpa pandang bulu. Ini sebagaimana dalam hadis, “Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, mereka biarkan (tidak dihukum). Namun, jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Amanah kekuasaan ini bisa menjadi beban pemangkunya di dunia sekaligus bisa mendatangkan siksa bagi dirinya di akhirat apabila salahguna memegang kekuasaan. Maka tanggung jawab dan amanah itu penting untuk dipegang dengan sebaik-baiknya. Demikianlah mari kita wujudkan kehidupan sesuai aturan dengan mengkaji dan berdakwah Islam Kaffah.
Wallahua'lam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar