Oleh : Lisa Agustin (Aktivis Muslimah)
LPG dikeluhkan langka di berbagai tempat. Hal itu terkait dengan kebijakan baru terkait perubahan mekanisme distribusi LPG yang mewajibkan pengecer beralih menjadi pangkalan resmi untuk bisa mendapatkan stok gas melon untuk dijual. Walaupun kebijakannya telah dibatalkan oleh Presiden, namun penataan mata rantai penjualan gas melon subsidi tetap berjalan. Para pengecer dihimbau untuk mendaftarkan diri sebagai subpangkalan supaya mendapatkan stok gas resmi dari Pertamina.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung mengatakan, pengecer yang ingin tetap menjual elpiji bersubsidi harus terdaftar sebagai pangkalan atau subpenyalur resmi Pertamina. (Tribunnews.com, 2/2/2025)
Pemberlakuan kebijakan ini dinilai pengamat akan menimbulkan masalah baru. Jika kita mencermati lebih dalam, tingginya harga eceran gas melon di tingkat pengecer adalah dampak dari kebijakan pembatasan konsumen gas melon yang mengakibatkan kelangkaan stoknya di pasaran, serta disparitas harga antara LPG subsidi dan nonsubsidi. Maka wajar saja, secara hukum ekonomi masyarakat akan lebih memilih membeli gas melon subsidi daripada gas LPG nonsubsidi walaupun ketersediaannya terjamin.
Dampak kebijakan ini juga akan akan menyulitkan sebagian masyarakat yang menjalankan bisnisnya sebagai pengecer. Menurut Dosen Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi, bahwa larangan menjual gas melon bagi pengecer dapat mematikan usaha mereka, mengingat modal untuk menjadi pangkalan resmi tidaklah kecil. (Tempo.co, 4/2/2025)
Kapitalisasi LPG
Otak-atik kebijakan distribusi migas bertujuan untuk mengkapitalisasi migas sebagai lahan bisnis. Dalam paradigma sistem ekonomi kapitalisme sekuler, subsidi adalah beban APBN. Sehingga perubahan kebijakan terkait distribusi LPG adalah sebuah keniscayaan dalam sistem ekonomi kapitalisme. Karena salah satu sifat sistem ini adalah memudahkan para pemilik modal besar untuk menguasai pasar dari bahan baku hingga bahan jadi.
Inilah wajah asli sistem kapitalisme. Negara tidak berfungsi sebagai ra’in (pengurus) rakyatnya, tetapi sebagai regulator yang hanya membuat regulasi (kebijakan). Berhubung kebijakan yang diterapkan hari ini dibuat oleh manusia, maka ia didesain untuk menguntungkan para penguasa dan kroni-kroninya.
Sistem ini juga meniscayakan adanya liberalisasi (migas) di hulu dengan memberi jalan bagi korporasi mengelola SDA yang sejatinya milik rakyat. Melalui UU Minerba dan UU PMA para pemilik modal (kapitalis) bisa menguasai hulu sampai hilir untuk mengelola SDAE secara legal. Satu-satunya pihak yang diuntungkan dari penataan distribusi gas ini adalah para kapitalis. Sedangkan rakyat sang pemilik sejati sumber daya tambang itu hanya bisa gigit jari dan merasakan kesulitan untuk mendapatkannya.
Demikianlah jahatnya sistem kapitalisme dalam pengelolaan SDAE milik umum sehingga hanya menguntungkan segelintir kapitalis (oligarki) dan penguasa, sedangkan rakyat berkubang dalam nestapa. Lalu pertanyaannya, adakah kebijakan yang mampu mengatasi permasalahan distribusi LPG ini? Jawabannya ada. Sistem Ekonomi Islam bisa mengatasinya.
Konsep Sistem Ekonomi Islam
Islam sebagai aturan kehidupan manusia, memiliki paradigma yang khas dalam memberlakukan kebijakan di masyarakat. Penguasa dalam kepemimpinan Islam memiliki kewajiban untuk melayani kepentingan rakyat berdasarkan syariat Islam. Imam al-Bukhari meriwayatkan hadis dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa Nabi saw pernah bersabda:
الإِÙ…َامُ رَاعٍ ÙˆَÙ…َسْئُولٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ
Pemimpin yang memimpin manusia laksana penggembala. Dia bertanggung jawab atas (urusan) rakyatnya. (HR al-Bukhari).
Supaya negara mampu mewujudkan pelayanan kepada rakyatnya, syariah Islam telah mengatur kepemilikan menjadi 3 bagian, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Dalam hal ini, migas termasuk kepemilikan umum (collective property). Hadis Rasulullah saw. bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Dalam kitab Nizhamul Iqthishadiy Fil Islam karya Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani disebutkan, kepemilikan umum (collective property) semisal minyak, tambang besi, tembaga dan sebagainya adalah kekayaan yang harus dieksplorasi dan dikembangkan dalam rangka mewujudkan kemajuan taraf perekonomian umat. Sebab, kekayaan tersebut adalah milik umat, sementara negara memiliki otoritas untuk mengembangkan dan mengelolanya. Karena itu, apabila negara telah mengupayakan pemenuhan kekayaan tersebut serta berusaha memikul tugas melayani umat, lalu masing-masing individunya bekerja dan berupaya mencari rezeki, maka kekayaan yang dipergunakan untuk memenuhi seluruh kebutuhan primer dengan cara menyeluruh serta untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder atau tersier tersebut niscaya benar-benar akan terpenuhi.
Itulah sebabnya pengelolaan migas tidak boleh diserahkan kepada individu ataupun swasta. Negara sebagai raa'in (pengurus) akan menguasai sektor hulu dan akan memastikan ketersediaannya di pasar agar tidak terjadi kelangkaan dan memberikan kebebasan kepada rakyat di sektor hilir. Dengan demikian negara bisa memudahkan rakyat untuk mengakses berbagai kebutuhannya akan layanan publik, fasilitas umum dan sumber daya alam yang merupakan hajat publik, termasuk migas.
Jadi, sangat jelas tergambar adanya kontradiksi kebijakan dalam pengelolaan migas dalam sistem kapitalisme dan Islam. Dalam sistem ekonomi kapitalisme, kesejahteraan rakyat tidak merata dan menyusahkan. Hanya dengan pengelolaan sistem ekonomi Islam, segala hasil kekayaan SDAE dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat secara adil dan merata. Semoga sistem ekonomi Islam segera terwujud di tengah-tengah umat. Wallahu alam.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar