Harapan Orang Tua Sekaligus Pendidik yang Sejujurnya


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

Sebagai orang tua sekaligus pendidik, jujur merasa miris dengan kebiasaan anak jaman sekarang, balita hingga remaja.Bagaimana tidak? Kebanyakan dari mereka telah ketergantungan media sosial (medsos). Ada yang sekedar scroll, nonton, bikin konten, main game, bahkan tidak sedikit pula yang terjerumus ke dalam judi online berkedok game sampai terjerumus ke dalam pinjaman online. Tidak hanya itu, yang menjadi korban dan pelaku pelecehan seksual online juga banyak. Astaghfirullah!

Kemudahan Paylater juga turut mempengaruhi gaya hidup anak-anak dengan seenaknya belanja online. Banyak para orang tua yang mengeluhkan tiba-tiba harus membayar paket yang ternyata dipesan anaknya tanpa sepengetahuannya. Ada juga yang top up dengan memakai no rekening orang tuanya yang memang telah disambungkan dengan handphone.

Sebagai orang tua sekaligus pendidik, jujur sedikit terobati dengan rencana Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi) untuk membatasi akses internet berdasarkan usia. Menkomdigi Meutya Hafid menyampaikan, kebijakan itu dalam rangka mempercepat aturan perlindungan anak di ruang digital. Pembatasan akses internet untuk anak telah disahkan melalui penandatanganan Surat Keputusan (SK).

SK itu berisi pembentukan tim kerja khusus yang akan mengkaji aturan mengenai pembatasan tersebut. Tim kerja yang dimaksud terbentuk dari sejumlah lembaga pemerintah, yaitu KemenPPPA, Kemenkes, Kemenkomdigi, serta Kemendikdasmen.

Selain itu, terdapat lembaga nonpemerintah yang juga dilibatkan dalam tim kerja tersebut, seperti perwakilan akademisi, tokoh pendidikan anak, lembaga pemerhati anak Save The Children Indonesia, lembaga psikolog, lembaga perlindungan anak yang diwakili Kak Seto, dan lainnya.

Dalam arus kapitalisme, kemajuan teknologi dan media sosial seperti pisau bermata dua, bisa memberi manfaat maupun membawa bahaya bagi penggunanya. Pada dasarnya, media sosial bisa memberi dampak positif jika tujuan penggunaannya dalam rangka memudahkan manusia dalam berkomunikasi, menjalin pertemanan, berbagi informasi, bahkan bisa mendakwahkan Islam secara luas dan masif.

Sayang, penggunaan media sosial justru lebih banyak memiliki dampak negatif ketimbang positifnya, khususnya bagi anak-anak dan remaja. Terlebih dengan literasi rendah, anak-anak sangat rentan menghadapi risiko penggunaan media sosial karena mereka belum memiliki kematangan proses berpikir untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan.

Inilah akibat paradigma sekuler kapitalisme yang mendominasi tujuan hidup manusia. Paradigma sekuler kapitalisme menjadikan kebebasan sebagai gaya hidup yang dijajakan secara masif. Segala sesuatu yang menghasilkan uang dan banyak diminati akan diproduksi secara terus menerus.

Sebagai orang tua sekaligus pendidik, jujur berharap ada solusi lebih dari sekedar kebijakan pembatasan media sosial untuk memutus secara fundamental akses anak-anak terhadap konten-konten negatif dan berbahaya. Sebabnya, masih ada kemungkinan anak-anak mengakses dengan cara lain, seperti mengaktifkan aplikasi VPN atau menyamarkan usia mereka.

Dari beberapa aplikasi semacam bacaan novel dan komik yang disukai anak-anak dan remaja, konten dewasa atau porno juga dibiarkan terbit begitu saja. Jika ada pembatasan akses konten, kebanyakan hanya memberi peringatan dan sebatas imbauan.

Sebagai orang tua sekaligus pendidik, jujur menilai nilai-nilai kapitalis sekuler yang diadopsi dari sistem kapitalisme ini menjadi biang kerok munculnya konten negatif dan kejahatan dunia maya yang mengintai anak-anak. Terdapat banyak faktor yang berkelindan, baik ekonomi, pergaulan, hukum, bahkan politik yang mengakibatkan maraknya kejahatan pada anak di dunia maya.

Sebagai orang tua sekaligus pendidik, jujur inginkan solusi yang diambil adalah solusi Islam. Sebab, dalam Islam, media sosial dapat bermanfaat dalam banyak hal, selama dalam koridor yang dibenarkan syariat Islam. Apa pun teknologinya, jika menggunakan paradigma Islam, akan memberi dampak positif dan kemaslahatan bagi umat manusia. Negara akan memberikan dukungan, baik dalam bidang pendidikan dan finansial demi tercapainya kemaslahatan bagi umat manusia.

Sebagai orang tua sekaligus pendidik, yakin negara Islam (Khilafah) akan menerapkan sistem pemerintahan dan politik ekonomi berdasarkan syariat Islam. Secara tidak langsung, kebijakan politik ekonomi terkait erat dengan pembentukan generasi berkualitas. Sebagai contohnya, kebijakan politik dengan menyaring dan memblokir konten-konten porno atau muatan yang mengandung gaya hidup bebas dilakukan melalui Departemen Penerangan. Lembaga ini bertugas melakukan pengawasan terhadap kerja media massa, baik media cetak, elektronik, maupun digital. Tujuannya, menjaga generasi dari pengaruh negatif media yang merusak.

Khilafah juga akan membangun sistem pendidikan yang berasas akidah Islam. Sistem pendidikan Islam berfokus pada pembentukan pola sikap dan pola pikir generasi agar sesuai dengan Islam. Dengan akidah yang kuat, tiap peserta didik akan memiliki visi misi hidup yang berorientasi akhirat. Akidah adalah standar bagi mereka dalam menilai dan menimbang aktivitas yang bermanfaat atau tidak.

Terhadap perkara wajib dan sunah, mereka akan lebih mengutamakannya ketimbang perkara mubah. Para peserta didik juga akan mampu meninggalkan segala bentuk keharaman. Dengan sistem ini pula akan terbentuk pendidikan keluarga yang menjadikan akidah Islam sebagai pedoman utama dalam mendidik anak.

Khilafah mendorong produksi tayangan dan media untuk menyiarkan nilai-nilai Islam. Infrastruktur dan sistem keamanan digital akan diberikan secara merata hingga pelosok desa. Khilafah juga berperan mengedukasi sekaligus memfasilitasi sarana yang dibutuhkan masyarakat dengan literasi digital yang dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Taala.

Khilafah memanfaatkan teknologi untuk kemaslahatan umat manusia. Bahkan, Khilafah akan mengembangkan teknologi ini dengan memberdayakan SDM yang mumpuni. Dengan visi misi yang tepat, teknologi akan menjadi salah satu mercusuar berkembangnya peradaban Islam yang mendunia.

Penerapan sistem sanksi Islam akan memberikan hukuman kepada siapa saja yang menyalahi serta bertentangan dengan visi misi pendidikan Islam. Pemberlakuan sistem sanksi Islam akan memberikan efek jera bagi pelaku/pelanggar syariat serta mencegah seseorang berbuat kriminal.

Tiap perbuatan tercela menurut syariat Islam dikategorikan sebagai kejahatan, sebagaimana penjelasan Syekh Abdurrahman al-Maliki rahimahullah dalam kitab An-Nizham al-Uqubat wa al-Ahkam al-Bayyinat fiil Islam, hlm. 3, “Ketika syariat telah menetapkan bahwa perbuatan itu tercela, maka sudah pasti perbuatan itu disebut kejahatan. Hal itu tanpa memandang tingkat tercelanya, yakni tanpa memperhatikan besar kecilnya kejahatan. Hukum syarak telah menetapkan perbuatan tercela sebagai dosa yang harus dikenai sanksi. Demikianlah, dosa itu substansinya adalah kejahatan. Kejahatan (jarimah) adalah tindakan melanggar aturan yang mengatur perbuatan-perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Rabbnya, dengan dirinya sendiri, dan hubungannya dengan manusia yang lain.”

Aktivasi kontrol serta pengawasan masyarakat akan berjalan seiring dengan suasana akidah Islam dalam diri tiap individu. Masyarakat akan saling menasihati dalam kebaikan, serta mencegah anggota masyarakat lainnya berbuat maksiat.

Demikianlah, Islam memiliki cara pandang yang khas dalam melindungi dan menyelamatkan generasi dari kerusakan. Islam tidak menutup diri dalam memanfaatkan kecanggihan teknologi dan digitalisasi. Hanya saja, Islam memiliki mekanisme aturan yang komprehensif baik dari aspek penerapan hukum, pencegahan, penanganan, pengontrolan, dan pengawasan dalam arus digitalisasi agar tidak terbawa dampak negatif yang ditimbulkan dari teknologi tersebut. 

Sebagai orang tua sekaligus pendidik, jujur membutuhkan peran penguasa sebagai raa’in wal junnah, pengurus sekaligus pelindung. Seorang penguasa atau pemimpin adalah pelindung bagi rakyat dan orang-orang yang dipimpinnya. Ia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya. Kelak ia akan dimintai pertanggungjawabannya pada Hari Kiamat atas amanah kepemimpinannya itu. Rasulullah Saw. bersabda, “Imam adalah raa’in (penggembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari).

Rasulullah Saw. menggunakan kata “raa’in” (penggembala), bukan kata malik, sulthan, rais, imam dan sebagainya. Artinya, seorang pemimpin adalah orang yang berkewajiban untuk mengayomi, mengawal, dan mendampingi gembalaannya, yakni rakyatnya. Penggembala yang baik tidak harus selamanya berada di depan, tetapi kadang ia harus berada di tengah untuk merasakan kondisi dan kebutuhan gembalaannya. Kadang juga berada di belakang untuk mendorong dan mengawasi jangan sampai ada satu gembalaannya yang tertinggal dari kelompoknya.

Selain itu, pemimpin dalam Islam digambarkan sebagai perisai. Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu junnah (perisai) yang mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud).

Imam Ibnu Bathal dalam kitab Syarh Shahih al-Bukhâri menegaskan bahwa junnah (جنة) berarti pelindung dari interaksi manusia satu sama lain. Dengan fungsi penguasa, Allah SWT. melindungi kaum yang lemah di antara manusia, yakni pelindung bagi mereka, menjaga harta dan kehormatan-kehormatan orang-orang beriman termasuk menjaga generasi dari pengaruh buruk media sosial.

Dua peran yang menyatu dalam satu kepemimpinan ini hanya akan terwujud ketika ada negara Khilafah Islamiah. Oleh sebab itu mari bersama-sama kita campakkan sistem rusak demokrasi kapitalisme dan menggantinya dengan sistem Islam dengan cara mengkaji Islam kaffah bersama kelompok dakwah Islam ideologis.

Wallahu'alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar