Oleh : Intan Marfuah (Aktivis Muslimah)
Tenggarong - Pemerintah kembali mengizinkan pengecer menjual LPG 3 kg setelah sebelumnya dilarang sejak 1 Februari 2025. Sebab, keputusan ini sebenarnya memicu berbagai reaksi dari masyarakat, terutama bagi yang terdampak oleh kebijakan sebelumnya.
Pengecer gas melon, Lisa mengaku lega dengan kebijakan baru bahwa pengecer dapat menjual LPG 3 Kg. “Kalau tidak bisa jual lagi, kami mau makan apa, kami juga bisanya diantarkan 40 tabung, itupun satu minggu sekali. Sekali jual langsung habis gak sampai sehari,” kata Lisa, Rabu (5/2/2025).
Meski pemerintah telah mengeluarkan kebijakan baru, dirinya masih belum sepenuhnya mengetahui tentang sistem baru yang akan diterapkan. “Ada sistem baru semoga tidak susah mengurusnya, kami minta untuk pemerintah menginformasikan ke seluruh pengecer di Tenggarong terkait dengan sistem baru itu,” ujarnya.
Kebijakan ini juga ditanggapi konsumen yang juga sebagai pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Tenggarong, Rika.
Ia mengungkapkan, perubahan aturan ini memberi harapan besar untuk pelanggan. Sebab, jika harus mengantri di pangkalan pasti akan membutuhkan waktu yang lama, pekerjaan pun akan terbengkalai ditambah dengan melengkapi data diri seperti KTP dan lainnya.
“Selama pengecer tak boleh jual LPG 3 Kg saya kesulitan cari gas. Saya jualan dari pagi sampai sore, tidak mungkin di tinggalkan hanya untuk ngantri di pangkalan,” ungkapnya.
Sebelumnya, kebijakan ini diambil pemerintah dengan bertujuan untuk memastikan distribusi gas LPG 3 kg hanya melalui jalur resmi, yaitu Pertamina, Agen, dan Pangkalan.
Pembelian di pangkalan akan dibatasi, yaitu satu tabung per hari untuk rumah tangga dan dua tabung kepada UMKM, dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) atau Nomor Induk Berusaha (NIB).
Dengan kembalinya pengecer diizinkan untuk beroperasi, mereka akan berfungsi sebagai sub-pangkalan, guna menjaga agar harga tetap terkontrol.
"Kami harap kebijakan ini bukan sekadar perubahan aturan, tetapi benar-benar solusi supaya gas melon tetap mudah diakses dengan harga wajar," tutupnya.(Seputarfakta.com,05-Februari-2025)
Mirisnya lagi, kenaikan dan kelangkaan si melon ini tidak terjadi sekali dua kali. Namun, mengapa pemerintah gagal menyediakan kebutuhan pokok akan gas yang murah dan mudah bagi masyarakat? Tampaknya, pemerintah tidak mampu mengatasi masalah persediaan gas, bahkan lebih parah lagi, para pemegang kebijakan seolah kalah dengan para mafia.
Mafia sendiri tidak hanya ada di hulu, tetapi juga ada di hilir. Lahir berbagai kebijakan untuk mengelola SDA, tetapi justru membolehkan pihak asing/swasta melakukan pengelolaan dari hulu hingga hilirnya. Perusahaan-perusahaan asing melakukan pengeboran dan penyulingan, kemudian menjualnya untuk mendapatkan cuan.
Pemegang kebijakan yang tidak mengelola SDA akhirnya membeli hasil jadi dari swasta dan hanya memberikan subsidi kepada masyarakat tidak mampu. Inilah yang dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan keuntungan, terutama para mafia. Akan tetapi, apakah semua masalah ini muncul akibat ulah mafia semata?
Masalah ini jelas tidak muncul begitu saja. Kapitalisme telah memproduksi pribadi-pribadi egois dan memenangkan para kapitalis sebagai penguasa, termasuk para pengusaha. Sekularisme sukses membuang aturan agama dari setiap sendiri kehidupan manusia, hingga menjadikan akal sebagai raja pemutus segalanya.
Dalam konteks ini, akal manusia dipakai untuk melakukan kecurangan dan membuat aturan yang malah melanggengkan kekuasaan para kapitalis. Materialisme juga telah mendorong manusia hanya memikirkan keuntungan materi. Akibatnya, pada seluruh kepengurusan rakyat, termasuk pengelolaan SDA, terjadi privatisasi, swastanisasi, hingga dikuasai oleh asing/swasta.
Regulasi yang ada pun bermasalah. Kebutuhan akan gas seharusnya menjadi hak setiap warga negara. Namun nyatanya, negara membedakan antara miskin dan kaya. Negara memberikan subsidi si melon bagi masyarakat miskin, sedangkan bagi masyarakat kaya, negara menjualnya dengan harga berkali-kali lipat. Lebih parah lagi, si melon yang bersubsidi ini rawan menjadi sasaran para mafia. Harganya yang tergolong terjangkau justru dimanfaatkan dengan menaikkan harga setinggi-tingginya.
Segala kekacauan ini terjadi karena negara mengambil kapitalisme, ideologi yang hanya mengunggulkan kepentingan materi. Mereka hanya memikirkan kepentingan golongannya, alih-alih memikirkan kepentingan seluruh masyarakat.
Persepsi bahwa subsidi membebani negara merupakan pandangan khas ideologi kapitalisme. Di dalam kapitalisme, mekanisme pasar sangat diagungkan. Setiap orang dibiarkan bersaing untuk memperoleh sumber ekonomi tanpa ada campur tangan negara.
Oleh karenanya, negara lepas tangan terhadap pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Rakyat diharuskan mandiri dalam memenuhi kebutuhan pokoknya. Tidak boleh ada subsidi karena akan membuat rakyat menjadi sehingga tidak produktif. Subsidi juga akan membebani APBN sehingga memberatkan negara.
Di dalam kapitalisme negara hanya berfungsi sebagai pengawas. Negara hanya memastikan bahwa mekanisme pasar berjalan lancar, tanpa ada pelanggaran terhadap aturan negara.
Islam mewajibkan negara menjalankan perannya sebagai pengurus kebutuhan rakyat. Negara tidak boleh membiarkan satu saja masyarakat terlalaikan kebutuhannya. Rasulullah saw. bersabda, “Imam/Khalifah itu laksana penggembala dan hanya ialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Hadis ini akan mendorong para pemimpin muslim untuk menjalankan amanah sesuai tuntunan Al-Qur’an dan Sunah. Negara wajib menjamin pemenuhan kebutuhan setiap masyarakat, bukan hanya untuk sebagiannya. Dalam Islam, standar kesejahteraan adalah jika kebutuhan setiap individu sudah tercukupi, salah satunya adalah kebutuhan akan gas untuk keperluan rumah tangga.
Walhasil, negara wajib agar semua masyarakat bisa mendapatkan elpiji dengan harga murah dan cara yang mudah. Di antara beberapa cara Islam dalam memenuhi tuntutan ini adalah sebagai berikut.
Pertama, Islam mengatur harta milik umum berdasarkan hadis, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Negara memiliki hak untuk melakukan pengelolaan SDA, termasuk migas, serta melarang pihak asing/swasta melakukan swastanisasi SDA. Semua SDA akan dikelola oleh negara dan hasilnya akan disimpan di baitulmal negara dan akan disalurkan ke masyarakat yang membutuhkan. Dengan aturan ini, negara secara tegas akan menutup pintu bagi mafia.
Kedua, dalam masalah distribusi, negara wajib menjamin sistem distribusi elpiji bisa sampai ke masyarakat dengan aman, jelas, mudah, dan singkat. Negara bisa memberikan gas secara gratis, negara bisa juga menjualnya secara murah atau sesuai harga pasar. Penerapan Islam secara menyeluruh ini akan mendorong setiap orang menjalankan kewajibannya sehingga tidak ada yang berani berbuat curang karena mereka paham bahwa kelak akan diminta pertanggungjawaban.
Apabila masih ada pihak-pihak yang nekat menjadi mafia, negara punya sistem sanksi yang tegas. Hukuman yang diberikan negara akan membuat para mafia itu takut dan insaf. Selain itu, sistem sanksi Islam akan membuat jera agar yang lain tidak berani melakukan kecurangan.
Ketiga, berkaitan dengan konsumsi, negara tidak akan membedakan harga. Siapa pun akan mendapatkan elpiji dengan harga yang sama. Tidak ada masyarakat yang ingin mendapatkan manfaat lebih karena mereka tahu bahwa kebutuhan pokoknya pasti sudah terpenuhi.
Dengan demikian, hanya Islam yang mampu menyelesaikan masalah kelangkaan dengan sempurna. Islam dalam bingkai Khilafah akan menjaga dan mengatur semua kebutuhan masyarakat. Setiap keputusan negara akan dilaksanakan dengan patuh oleh masyarakat atas dorongan takwa, bukan materi.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar