Islam Sebagai Perisai Perlindungan Anak dari Kekerasan Seksual


Oleh : Silfiyani Rosida, S.IP (Pemerhati Kebijakan Politik, Penulis)

Seorang anak berusia 14 Tahun di Kecamatam Tanah Grogot, Kabupaten Paser menjadi korban pelecehan seksual. Kejadian terungkap setelah ibu korban melapor ke kepolisian. Modus pelaku menjalankan aksinya yaitu dengan mengundang korban dan memintanya untuk memijat badannya. Korban di beri uang Rp 20.000,00 dan tiga teman korban lainnya di beri uang masing-masing Rp 2.000,00. Usai memberikan uang pada korban dan rekannya. Korban kemudian memijat tubuh MW, saat memijat tersebut pelaku melakukan pelecehan pada korban dengan menyentuh bagian sensitifnya. Ibu korban mengetahui tindakan ini dari tetangganya yang melihat korban sedang memijat pelaku, pada saat itu juga pelaku menyentuh bagian vital korban. (korankaltim.com)

Kementrian PPPA menyebut bahwa prevalensi kekerasan seksual terhadap anak pada 2024 lebih tinggi di banding 2021 lalu, menunjukan bahwa kekerasan sesksual terhadap anak semakin meningkat. Prevalensi kekerasan seksual pada anak laki-laki 13-17 tahun sebesar 3,65% pada 2021, naik menjadi 8,34% pada 2024. Sedangkan Prevalensi kekerasan seksual pada anak perempuan dengan usia yang sama berkisar 8,43% pada 2021, naik menjadi 8,82% pada 2024. Indonesia sudah darurat kekerasan seksual pada anak. Saat ini Indonesia berada pada peringkat 10 besar dunia untuk kasus anak-anak yang menjadi korban kejahatan atau kekerasan seksual.

 
Masalah yang Tidak Pernah Selesai

Semakin meningkatnya kasus kekerasan seksual berarti menandakan ada yang salah disistem atau kondisi saat ini, harusnya jika penanganannya benar, maka kasus kasus ini berkurang bahkan berhenti tapi faktanya justru hampir setiap hari kita melihat kondisi semacam ini. Maka perlu kita menganalisa lebih mendalam apa yang sebenarnya terjadi? apakah sudah tepat solusi yg ditawarkan dg segala program-program yg ada?

Titik kritis yang semestinya menjadi alarm bersama adalah bahwa kasus kekerasan seksual tersebut sejatinya muncul akibat pola pikir liberal (serba bebas). Ini karena pola pikir liberal memang dibiarkan tumbuh subur sebagai konsekuensi tegaknya sistem demokrasi dengan akidahnya, yakni sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Bagi demokrasi, kebebasan berperilaku adalah salah satu pilarnya sehingga segala sesuatu yang lahir dari demokrasi tidak akan jauh dari warna sekuler.

Sistem ini juga gagal melindungi anak dari kekerasan seksual karena dalam sistem ini tidak ada nilai nilai moral yang kuat dan sistem hukum yang tegas, hilangnya standar moral dalam masyarakat, maraknya konten pornografi, hukum yg lemah tidak memberi efek jera, sehingga anak anak terus menjadi korban. 

Keberadaan media (terlebih media sosial) juga diposisikan sebagai instrumen untuk menderaskan ide-ide liberal seperti pornografi dan pornoaksi secara langsung di gawai masing-masing individu. Ini adalah faktor yang turut mempercepat terjadinya kekerasan seksual. Begitu pula lemahnya filter media yang nyatanya diperparah oleh tipisnya kadar keimanan individu, menunjang abainya keterikatan mereka pada standar halal-haram.

Negara juga tampak lemah dan tidak berdaya menghadapi derasnya arus konten pornografi yang bertebaran dalam bentuk aplikasi digital. Saat ini banyak aplikasi ebook yang menyediakan bacaan seperti novel, komik, dan sejenisnya yang menerbitkan konten dewasa. Beberapa aplikasi tersebut menampilkan gambar dan adegan negatif yang sangat rentan dan mudah diakses pembaca yang terkategori anak-anak. Belum ada ketegasan dan kebijakan negara dalam hal ini. Meski negara sudah melakukan pemblokiran konten bermuatan pornografi sebanyak 1,97 juta (17-9-2023), tetap saja masih banyak yang eksis. Ini karena pornografi menjadi industri yang menjanjikan bagi para pelaku bisnis, termasuk bagi content creator serta aktor yang terlibat di dalamnya.

Kegagalan negara dalam memberikan perlindungan kepada generasi dan masyarakat sejatinya bersumber pada paradigma sekuler kapitalisme. Kehidupan sekuler kapitalisme yang serba bebas menjadikan aspek apa pun menjadi komoditas yang dapat menghasilkan materi, tanpa melihat halal haram. Sistem kapitalisme sekuler mengembangbiakkan kebebasan tanpa batas. Maka diperlukan perubahan mengakar dalam sistem hari ini 

 
Mencari Solusi yang Tepat

Dalam pandangan Islam, negara memiliki peran sentral dalam menjaga dan melindungi generasi dan masyarakat dari kejahatan. Rasulullah ï·º menjelaskan, penguasa bertanggung jawab atas rakyatnya sebagai pengurus dan pelayan urusan umat. Dari Abdullah bin Umar ra., Nabi ï·º bersabda, “Ingatlah, setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Imam yang memimpin manusia adalah pemimpin dan dia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya….” (HR Bukhari).

Negara perlu menjamin hak anak anak terpenuhi termasuk mendapat pendidikan yang layak dan lingkungan yang baik, sesuai dengan syariat islam. Negara perlu menegakkan sistem sanksi yang tegas, negara akan mengeluarkan undang-undang yang mengatur informasi sesuai dengan ketentuan hukum-hukum syariat. Sistem sanksi Islam yang tegas dan menjerakan akan mengukuhkan peran negara sebagai pengurus (raa’in) dan perisai (junnah) rakyat dari kejahatan dan kemaksiatan.

Kekerasan seksual terhadap anak hanya akan tersolusikan secara tuntas dengan adanya sistem Islam yang menerapkan aturan Islam secara menyeluruh. Islam berasal dari Allah, Sang Khalik, Sang Mudabbir, Sang Pembuat aturan. Hanya aturan-Nya yang mampu menjadi solusi tuntas atas semua masalah manusia. 

Adapun untuk penerapan aturan Islam, butuh setidaknya tiga hal, yakni keimanan yang kuat dari individu-individu keluarga muslim, kepedulian dari anggota masyarakat, dan adanya negara yang menerapkan syariat Islam dan sanksi yang tegas.

Wallahualam bissawab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar