#KaburAjaDulu: Antara Kekecewaan Rakyat, Abainya Negara, dan Islam sebagai Harapan


Oleh : Dyah Pitaloka, S.Hum. (Media Analyst)

Belakangan ini, media sosial diramaikan oleh tren #KaburAjaDulu yang mencerminkan keinginan generasi muda untuk meninggalkan Indonesia. Tren ini muncul sebagai bentuk ekspresi kekecewaan terhadap berbagai persoalan dalam negeri, mulai dari ketidakpastian ekonomi, sulitnya mendapatkan pekerjaan, kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada rakyat, hingga lemahnya penegakan hukum. Akibatnya, tagar ini menjadi simbol perlawanan generasi muda terhadap sistem yang mereka anggap gagal memenuhi harapan mereka.

Dalam pandangan Islam, harapan generasi muda adalah hal yang harus menjadi perhatian bersama. Islam tidak membiarkan umatnya berpikir hanya untuk menyelamatkan diri sendiri, tetapi mendorong untuk mencari solusi kolektif dalam menghadapi masalah yang dihadapi masyarakat. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (QS. Ar-Ra’d: 11). Oleh karena itu, kondisi generasi muda yang mengalami kekecewaan harus dijawab dengan solusi yang berlandaskan Islam agar mereka menemukan jalan keluar dari masalah ini dan dapat mewujudkan harapan mereka.


Kekecewaan terhadap Kegagalan Negara dalam Menyejahterakan Rakyat

Tagar #KaburAjaDulu menunjukkan bagaimana generasi muda kecewa dengan kebijakan ekonomi dan politik yang dianggap tidak memberikan masa depan yang lebih baik. Melalui media sosial, mereka dapat melihat kehidupan di negara lain yang tampak lebih menjanjikan, dengan sistem yang lebih stabil dan kesempatan yang lebih luas untuk berkembang.

Salah satu faktor utama yang mendorong keinginan untuk meninggalkan Indonesia adalah rendahnya kualitas pendidikan yang berbanding terbalik dengan banyaknya peluang beasiswa di luar negeri. Selain itu, sulitnya mencari pekerjaan di dalam negeri juga menjadi dorongan besar. Banyak anak muda yang merasa bahwa biaya pendidikan mereka sangat mahal, tetapi gaji yang mereka peroleh setelah lulus justru sangat rendah. Contohnya, ada mahasiswa yang menghabiskan Rp150 juta untuk kuliah, tetapi hanya mendapatkan gaji Rp1,2 juta per bulan setelah bekerja. Kondisi ini tentu dianggap tidak adil.

Selain itu, banyak mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan di luar negeri lebih memilih untuk tetap tinggal di sana setelah lulus. Bahkan, ada yang mencari pasangan dari warga negara asing agar bisa menetap di negara dengan layanan publik yang lebih baik. Melalui media sosial, banyak orang berbagi pengalaman bahwa bekerja di luar negeri memberikan peluang yang lebih besar untuk memiliki rumah sendiri dan menikmati kesejahteraan yang lebih baik.

Sayangnya, negara juga gagal dalam menciptakan lapangan pekerjaan yang cukup. Data menunjukkan bahwa penciptaan lapangan kerja di sektor formal menurun drastis, dari 15,6 juta pekerjaan pada periode 2009—2014 menjadi hanya sekitar 2 juta pekerjaan pada 2019—2024. Sementara itu, jumlah pencari kerja terus meningkat, terutama di tengah bonus demografi yang sedang terjadi. Kondisi ini membuat banyak pekerja harus menerima upah yang rendah dan bekerja dalam tekanan besar, karena mereka takut kehilangan pekerjaan dan sulit mencari pekerjaan lain.

Karena sektor formal tidak mampu menampung tenaga kerja, banyak masyarakat beralih ke sektor informal. Namun, tingginya pajak dan suku bunga pinjaman modal membuat bisnis kecil sulit berkembang. Birokrasi yang rumit juga menjadi kendala besar bagi mereka yang ingin membuka usaha. Akibatnya, banyak anak muda merasa bahwa masa depan mereka di Indonesia tidak menjanjikan.


Fenomena Brain Drain dan Kesenjangan Ekonomi Global

Fenomena brain drain menjadi salah satu dampak dari ketimpangan ekonomi antara negara maju dan berkembang. Brain drain terjadi ketika tenaga kerja terampil memilih untuk bekerja di luar negeri karena kesempatan yang lebih baik. Hal ini menyebabkan negara berkembang kehilangan sumber daya manusia berkualitas yang seharusnya bisa berkontribusi untuk membangun bangsa.

Teori ketergantungan dalam hubungan internasional menjelaskan bahwa negara berkembang sering kali terjebak dalam siklus ketergantungan terhadap negara maju. Sumber daya alam dikuasai oleh negara-negara maju melalui investasi dan eksploitasi, sementara negara berkembang hanya menjadi pasar. Selain itu, negara berkembang sering kali bergantung pada pinjaman luar negeri yang semakin memperkuat dominasi negara maju.

Negara-negara maju seperti Jepang, Amerika Serikat, Uni Eropa, Korea Selatan, dan Singapura saat ini mengalami krisis populasi, sehingga mereka sangat membutuhkan tenaga kerja asing untuk menggerakkan industrinya. Sementara itu, negara berkembang memiliki populasi besar dengan tingkat pengangguran yang tinggi. Akibatnya, banyak tenaga kerja dari negara berkembang yang memilih untuk bekerja di luar negeri meskipun menghadapi tantangan seperti eksploitasi dan lingkungan kerja yang tidak selalu ramah bagi mereka.

Namun, pertanyaannya adalah apakah dengan meninggalkan negara sendiri, masalah akan terselesaikan? Ataukah justru semakin memperkuat ketimpangan global yang sudah ada?


Islam sebagai Solusi Ekonomi dan Politik

Islam menawarkan solusi yang berbeda dalam menangani permasalahan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam bukunya Sistem Ekonomi Islam menjelaskan bahwa sistem ekonomi Islam bertujuan untuk menciptakan distribusi kekayaan yang adil, memastikan kesejahteraan rakyat, dan menghindari praktik ekonomi yang mengarah pada eksploitasi.

Salah satu prinsip utama dalam ekonomi Islam adalah kepemilikan umum atas sumber daya alam, yang harus dikelola oleh negara demi kepentingan rakyat, bukan oleh korporasi atau individu tertentu. Dengan demikian, keuntungan dari sumber daya ini dapat digunakan untuk menyediakan layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur bagi seluruh masyarakat.

Dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap individu mendapatkan kebutuhan dasarnya, seperti makanan, tempat tinggal, dan pakaian. Selain itu, kebutuhan sosial seperti pendidikan dan kesehatan juga harus dijamin oleh negara. Dengan adanya sistem ini, masyarakat tidak perlu bergantung pada utang atau sistem pajak yang membebani mereka.

Salah satu langkah konkret yang diambil dalam sistem ekonomi Islam adalah industrialisasi berbasis kemandirian. Negara didorong untuk mengembangkan industri dalam negeri agar tidak bergantung pada impor dan investasi asing. Dengan demikian, lapangan pekerjaan akan terbuka luas dan tenaga kerja akan mendapatkan upah yang layak.

Selain itu, Islam juga menekankan pentingnya transparansi dalam hubungan kerja. Rasulullah saw. bersabda, "Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya" (HR. ‘Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri). Dengan sistem ini, pekerja tidak akan diperlakukan secara sewenang-wenang oleh perusahaan dan mendapatkan haknya secara adil.


Mengadopsi Gerakan Politik Rasulullah saw.

Sebagai seorang Muslim, kita harus melihat bagaimana Rasulullah saw. melakukan transformasi sosial dan politik. Saat menghadapi ketidakadilan di Makkah, beliau tidak hanya mengeluh atau mencari jalan keluar secara individual, tetapi berusaha mengubah sistem yang ada. Dakwah Rasulullah saw. membangun kesadaran umat dan mengajak mereka untuk berjuang bersama mewujudkan tatanan yang lebih baik.

Hal yang sama seharusnya menjadi inspirasi bagi generasi muda saat ini. Daripada menyerah dan memilih meninggalkan negeri sendiri, sebaiknya mereka mulai mencari solusi nyata untuk memperbaiki keadaan. Dengan mengikuti jejak Rasulullah saw., generasi muda bisa membangun gerakan perubahan yang berlandaskan Islam, bukan hanya untuk memperbaiki kehidupan di dunia, tetapi juga untuk kebahagiaan di akhirat.

Sebagai penutup, harapan untuk hidup lebih baik bukan hanya mimpi. Dengan pemahaman yang benar dan tindakan nyata, kita bisa mewujudkannya. Bukan dengan kabur, tetapi dengan memperjuangkan perubahan yang hakiki.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar