Oleh : Wulan Safariyah (Aktivis Dakwah)
Dalam sepekan terakhir, kelangkaan Gas subsidi atau LPG 3 kilogram, hampir merata di seluruh kota-kota besar, atau pun kecil, masyarakat di berbagai daerah mengalami kesulitan dalam memperoleh gas LPG 3 kg, yang dikenal sebagai "gas melon".
Kelangkaan LPG 3 kilogram yang terjadi diberbagai wilayah, termasuk di Kelurahan Pasar Manggis, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan. Berdasarkan pantauan Beritasatu.com di salah satu pangkalan LPG 3 kilogram, stok gas melon subsidi itu sudah langka sejak seminggu terakhir.
Pemilik pangkalan gas LPG 3 kilogram Merry (56) mengatakan, kelangkaan ini karena stok yang diberikan agen terbatas, kemudian diperparah oleh masa libur panjang Isra Mikraj dan Imlek, yang menghambat proses pendistribusian gas ke pangkalan-pangkalan. (Beritasatu.com)
Kelangkaan ini juga menyebabkan antrean panjang di sejumlah tempat. Bahkan, di Pamulang, Tangerang Selatan, seorang ibu meninggal dunia saat mengantre untuk mendapatkan LPG 3 kg. Namun, setelah ditelusuri, diketahui bahwa ibu tersebut meninggal bukan karena antrean, melainkan akibat serangan jantung. (detik.com)
Penyebab Kelangkaan LPG
Sejumlah wilayah di Indonesia mulai merasakan gas LPG 3 kilogram langka di pasaran. Lantas apa penyebab gas LPG 3 kilogram langka? Diketahui, per 1 Februari 2025, pengecer tidak lagi diperbolehkan menjual gas LPG 3 kilogram.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung mengatakan, pengecer yang ingin tetap menjual LPG bersubsidi harus terdaftar sebagai pangkalan atau subpenyalur resmi Pertamina. (Tribunnews.com)
PT Pertamina Patra Niaga mengimbau warga untuk membeli LPG 3 kilogram di pangkalan resmi. "Bagi masyarakat, pembelian di pangkalan resmi LPG 3 kilogram tentu lebih murah harganya dibandingkan pengecer, karena harga yang dijual sesuai dengan HET yang ditetapkan pemerintah daerah masing-masing wilayah," ujar Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Heppy Wulansari dalam keterangan tertulisnya, Minggu (2/1/2025). (Kompas.com)
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan menata mata rantai penjualan Liquefied Petroleum Gas (LPG) khususnya untuk jenis bersubsidi yakni LPG 3 kilogram. Dengan penataan ini, penyaluran LPG 3 kilogram ini dinilai bisa tepat sasaran. Yang akan ditata salah satunya adalah mendorong pengecer atau penjual LPG 3 kilogram menjadi pangkalan resmi milik PT Pertamina (Persero). Hal itu disampaikan langsung oleh Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung. (cnbcindonesia.com)
Kebijakan Memicu Kontroversi
Kebijakan yang ditetapkan ini justru memicu kontroversi di kalangan masyarakat, LPG 3 kilogram dikeluhkan langka di berbagai tempat. Hal itu terkait dengan perubahan sistem distribusi LPG 3 kilogram yang mewajibkan pengecer beralih menjadi pangkalan resmi untuk bisa mendapatkan stok gas melon untuk dijual.
Kebijakan ini tentu menyulitkan masyarakat bahkan dapat mematikan bisnis pengecer bermodal kecil dan memperbesar bisnis pemilik pangkalan atau yang memiliki modal besar.
Perubahan tersebut adalah keniscayaan dalam sistem ekonomi kapitalisme, karena salah satu sifat sistem ini adalah memudahkan para pemilik modal besar untuk menguasai pasar dari bahan baku hingga bahan jadi. Pemilik modal akan diuntungkan dengan kebijakan ini.
Dalam sistem kapitalisme juga meniscayakan adanya liberalisasi sumber daya alam seperti gas dan minyak dikelola oleh korporasi swasta atau negara dengan orientasi keuntungan. Negara hanya sebagai pembuat regulasi untuk memenuhi kepentingan para pemilik modal. Sehingga kebijakan ekonomi pun tak berpihak kepada kepentingan rakyat. SDA yang sejatinya milik rakyat, negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan gas dan minyak pada perorangan/perusahaan.
Gas merupakan hajat hidup orang banyak yang seharusnya wajib disediakan oleh negara tanpa terkecuali. Hal semacam ini semakin menunjukkan bahwa negara abai dalam mengurusi kebutuhan rakyat. Bagaimana seharusnya peran negara dalam menjamin distribusi migas?
Pengelolaan Migas Dalam Islam
Islam memiliki pengaturan yang khas dalam mengatur migas, dimana migas merupakan bagian dari SDA. Hal ini diatur berdasarkan sistem ekonomi Islam dengan adanya mekanisme kepemilikan. Kepemilikan dalam Islam mencakup milik individu, milik negara dan milik umum.
Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Hadis di atas menyebutkan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak seperti hutan, laut, danau, perairan serta tambang dan migas termasuk dalam kepemilikan umum atau milik umat, bukan milik individu atau milik negara. Sehingga negara tidak boleh menyerahkan pengelolaannya perorangan/perusahaan.
Islam mewajibkan negara untuk mengelola sumber daya alam (migas) tersebut untuk kepentingan atau kemaslahatan seluruh rakyat, sesuai dengan fungsi negara sebagai raa'in (pemelihara urusan rakyat). Dalam hal ini sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh dalam pengelolaan migas. Negara tidak akan membiarkan ada pihak manapun menarik keuntungan hingga rakyatnya terzalimi.
Adapun pengelolaannya sebagai berikut, karena minyak dan gas tidak dapat dimanfaatkan secara langsung. Maka, harus melalui tahapan proses pengeboran, penyulingan dan sebagainya serta memerlukan usaha keras dan biaya untuk mengeluarkannya, maka negaralah yang mengambil alih pengelolaannya mewakili kaum muslim. Kemudian menyimpan hasil pendapatannya di Baitul Mal (tempat/pos penyimpanan harta) kaum muslim.
Negara adalah yang memiliki hak dalam pendistribusian hasil pendapatan sumber daya alam salah satunya migas, sesuai hukum Syara' (aturan Islam) dalam rangka mewujudkan kemaslahatan kaum muslim.
Demikianlah, mekanisme Islam dalam mengelola SDA (migas) sebagai kepemilikan umum. Negara bertanggung jawab dalam mengatur dan mengurusnya karena hasilnya akan dikembalikan lagi untuk kemaslahatan umat. Dengan itu, masyarakat akan mendapatkan kemudahan mengakses berbagai kebutuhan hidup, seperti layanan publik, fasilitas umum dan sumber daya alam (migas) yang merupakan hajad hidup. Karena jaminan kebutuhan yang telah diurus oleh negara.
Wallahu ‘alam bisshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar