Menanti Janji 100 Hari, Akankah Ditepati?


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

28 Februari 2025 adalah hari yang dinanti banyak orang termasuk aku. Banyak janji yang terlanjur terucap, begitu manisnya. Program Makan Bergizi Gratis (MBG), pemeriksaan kesehatan gratis, penuntasan TBC, pembangunan rumah sakit lengkap di daerah, renovasi 22 ribu sekolah, membangun sekolah unggulan terintegrasi, membangun lumbung pangan nasional daerah dan desa dengan intensifikasi lahan pertanian seluas 80 ribu hektare, cetak sawah baru 150 ribu hektare, dukungan sarana prasarana pendukung, kenaikan gaji ASN (terutama guru, dosen, dan tenaga kesehatan), TNI/Polri dan pejabat lain, juga penghapusan utang UMKM, petani dan nelayan, serta peningkatan UMR dan daya beli masyarakat, dll.

Jika melihat kenyataannya, hingga saat ini banyak sekali kebijakan yang menzalimi rakyat, tetapi dikemas dan diiklankan media partisan seolah-olah pro kepentingan rakyat. Penguasa seperti mati rasa karena tidak peduli atas berbagai penderitaan rakyat yang ada di depan mata. Pemerintah lebih banyak melakukan trial and error, dan kerap melakukan test the water yang sering kali malah memicu kontroversi publik. Semuanya bersifat pragmatis, sarat pencitraan, dan sangat populis otoritarian. Sedikit pihak bisa jadi merasakan manfaatnya. Akan tetapi, dalam konteks solusi problem bangsa secara keseluruhan, apalagi dalam waktu jangka panjang, semuanya masih dipertanyakan, apalagi faktanya belum semua terealisasikan. Begitu pun untuk program-program lain yang sempat dijanjikan. Seperti Semuanya tampak menggiurkan, tetapi sulit diwujudkan, mengingat ada problem besar yang benar-benar menjadi penghalang, salah satunya soal pendanaan.

Program MBG, sejak masih berupa wacana hingga diluncurkan, tampak sangat tidak matang. Alokasi dananya pun terus berkurang, mulai dari Rp15 ribu per anak, menjadi hanya Rp10 ribu per orang. Wajar jika hal ini berpengaruh terhadap komposisi makanan yang disajikan. Alih-alih memenuhi nilai gizi ideal sebagaimana dibutuhkan, menu yang disajikan pun benar-benar memprihatinkan. Susu sapi diganti dengan susu ikan, alih-alih diganti susu kambing yang kualitasnya lebih bagus dari susu sapi. Terbaru ada wacana memasukkan serangga sebagai menu MBG karena dianggap mengandung protein tinggi. Pertanyaannya mau tidak beliau-beliau yang mengusulkan menu tersebut memakannya atau memberikannya kepada anak kandungnya?

Pemerintah saat ini juga ketar ketir soal pendanaan di tengah APBN yang selalu defisit dan tingginya tumpukan utang. Dana APBN yang bisa dialokasikan untuk MBG hanya sebesar Rp71 triliun, itu pun hanya cukup untuk pelaksanaan program hingga Juni 2025. Alhasil, pemerintah harus mencari dana tambahan agar janji politiknya bisa diwujudkan, mulai dari menggaet swasta melalui skema kerja sama, hingga mendorong masyarakat memenuhi kebutuhan secara swadaya. Bahkan ada usulan dari anggota DPR agar anggaran MBG diambil dari cukai rokok, setelah sebelumnya mengumpulkan memakai dana zakat yang sontak membuat gaduh masyarakat.

Survei yang dilakukan pada 16–21 Januari 2025 ini menyimpulkan ada tujuh menteri atau pejabat setingkat menteri yang dianggap memiliki performa terbaik di hadapan masyarakat. Mereka adalah Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menko Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan AHY, Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya, Menteri Agama Nasaruddin Umar, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman; dan Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra.

Disebut mencengangkan karena semua sosok yang disebut ini memiliki catatan tersendiri dalam performa kepemimpinannya. Erick Thohir, misalnya, justru dinilai telah menjadikan BUMN menjadi terlalu politik karena ia isi oleh orang-orang politik. Di bawah kepemimpinannya juga BUMN makin kental orientasi bisnis, padahal tugasnya mengurus layanan publik.

Begitu pun dengan Sri Mulyani. Ia justru dinilai paling bertanggung jawab atas semua masalah keuangan di negeri ini, mulai dari tumpukan utang, defisit APBN dan berbagai kebijakan ekonomi yang memberatkan rakyat. Ia bahkan sempat disebut Said Didu sebagai “Ratu Palak” akibat kebijakannya terkait pajak, termasuk kenaikan PPN 12% yang memicu kontroversi. Meski kemudian objeknya direvisi, tetap saja dampak buruk kebijakannya kadung dirasakan masyarakat banyak.

Demikianlah watak sistem kepemimpinan sekuler kapitalistik. Gap antara penguasa dengan rakyat bisa sedemikian lebar. Apa yang dilakukan penguasa bisa jauh berbeda dengan apa yang diharapkan rakyat, karena penguasa dalam sistem kepemimpinan ini memang tidak bertindak sebagai pengurus rakyat. Namun dengan modal kekuatan politik yang dimilikinya, semua bisa tampak baik-baik saja. Rakyat yang mayoritas pemikirannya masih pragmatis pun sangat mudah dikecoh dengan berbagai program pencitraan dan populis, sehingga bahaya kepemimpinan bercorak sekuler kapitalistik ini tidak mampu mereka baca.

Hari ini, betapa banyak persoalan mencuat ke permukaan yang sejatinya menjauhkan masyarakat dari mimpi kesejahteraan. Kapitalisasi layanan publik, krisis ekonomi, politik, dan moral makin hari makin menguat. Kasus-kasus kriminal, termasuk korupsi, judol, dan pinjol makin ugal-ugalan, tetapi tidak pernah tuntas terselesaikan.

Berbagai bencana pun terjadi di mana-mana, sedangkan mitigasi benar-benar seadanya. Rakyat sendirian berjibaku dengan kesusahan hidup akibat kian sulitnya lapangan kerja dan biaya kebutuhan yang makin serba mahal. Negara alih-alih hadir sebagai pengurus urusan mereka, melainkan justru menjadi sumber masalah dan sumber kezaliman bagi rakyatnya.

Negara juga tidak hadir sebagai pelindung atau junnah bagi umat. Melainkan bertindak sebagai penjaga kepentingan para pemilik modal. Itulah yang tampak dari kisruh pagar laut dan perampasan ruang hidup yang saat ini sedang merebak. Atau tampak dari berbagai kasus proyek mercusuar yang tidak jarang berakhir tanpa juntrungan dan malah meninggalkan jejak tambahan hutang. Nampak negara telah kalah oleh kekuatan para konglomerat, bahkan kerap memosisikan diri sebagai pelayan bagi kepentingan mereka.

Sungguh kekuasaan dalam sistem sekuler kapitalistik memang tidak mengenal kata “dosa”. Mereka alergi terhadap agama yang berbicara soal bernegara. Wajar jika mereka memimpin dan memerintah benar-benar seenak perutnya. Mereka tidak takut jika setiap kesedihan, air mata, dan tangis satu per satu rakyatnya akan menjadi sesalan di akhirat kelak. Mereka juga tidak takut jika setiap maksiat yang dilakukan rakyatnya, serta setiap nyawa yang hilang karena putus asa akan menuntut tanggung jawabnya.

Berbeda dengan sistem kepemimpinan Islam. Al-‘Alamah Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullaahu, seorang mujtahid mutlak abad ini dalam kitabnya yang berjudul Asy-Syakhsiyyah al-Islamiyyah Jilid 2 dengan gamblang menjelaskan bahwa syarak menetapkan fungsi kepemimpinan adalah pengurus alias pelayan sekaligus pelindung umat. Beliau juga menjelaskan tentang profil kepemimpinan yang wajib dimiliki seorang penguasa, sekaligus memaparkan bagaimana hubungan yang harus terjalin antara pemimpin dengan rakyatnya.

Beliau mengatakan, selain harus memenuhi syarat sah kepemimpinan, tanggung jawab umumnya sebagai seorang pemimpin mengharuskan dirinya memiliki karakter yang melekat berupa kepribadian Islam yang kuat, yakni memiliki akliyah hukmin atau akliah negarawan (yakni paham tugas pemerintahan dan terampil menjalankannya) sekaligus memiliki nafsiyah haakim (yakni memiliki sifat-sifat pemimpin seperti adil, berwibawa, berani, bijaksana, tulus dan empati terhadap rakyatnya). Pada saat yang sama, seorang pemimpin juga wajib memiliki ketakwaan yang tinggi sekaligus sifat lemah lembut kepada rakyat yang mencegah dirinya untuk bersikap otoriter atau sewenang-wenang serta bersikap zalim kepada rakyatnya.

Adapun terkait tanggung jawab umum dalam hubungannya dengan rakyat, syarak telah menetapkan setidaknya dua hal. Pertama, seorang pemimpin wajib untuk melingkupi kehidupan rakyatnya dengan nasehat. Kedua, mengharamkan mereka untuk menyentuh harta milik umum yang bisa menyusahkan rakyatnya. Dengan demikian, suasana amar makruf nahi mungkar yang dihidupkan oleh penguasa akan mencegah mereka dan rakyatnya untuk berbuat maksiat. 

Islam memiliki pandangan khas tentang kepemimpinan. Seorang penguasa atau pemimpin adalah pelindung bagi rakyat dan orang-orang yang dipimpinnya. Ia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya. Kelak ia akan dimintai pertanggungjawabannya pada Hari Kiamat atas amanah kepemimpinannya itu. Rasulullah saw. bersabda, “Imam adalah raa’in (penggembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari).

Rasulullah Saw. menggunakan kata “raa’in” (penggembala), bukan kata malik, sulthan, rais, imam dan sebagainya. Artinya, seorang pemimpin adalah orang yang berkewajiban untuk mengayomi, mengawal, dan mendampingi gembalaannya, yakni rakyatnya. Penggembala yang baik tidak harus selamanya berada di depan, tetapi kadang ia harus berada di tengah untuk merasakan kondisi dan kebutuhan gembalaannya. Kadang juga berada di belakang untuk mendorong dan mengawasi jangan sampai ada satu gembalaannya yang tertinggal dari kelompoknya.

Selain itu, pemimpin dalam Islam digambarkan sebagai perisai. Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu junnah (perisai) yang mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya.” (HR Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud).

Imam Ibnu Bathal dalam kitab Syarh Shahih al-Bukhâri menegaskan bahwa junnah (جنة) berarti pelindung dari interaksi manusia satu sama lain. Dengan fungsi penguasa, Allah melindungi kaum yang lemah di antara manusia, yakni pelindung bagi mereka, menjaga harta dan kehormatan-kehormatan orang-orang beriman.

Sedangkan Imam Nawawi mengatakan, “Al-Imam, ia bagaikan perisai atau pelindung, ia akan mencegah musuh-musuh menyerang, dan menjaga manusia yang satu tidak akan menghancurkan manusia yang lain, serta kemurnian Islam akan dijaga.”

Selain itu, kepemimpinan dalam Islam dipahami sebagai tanggung jawab dunia dan akhirat. Artinya, seorang penguasa atau pemimpin di dunia bertanggung jawab atas nasib rakyatnya. Ia wajib menjaga agama rakyatnya supaya tetap dalam keimanan dan ketakwaan kepada Allah taala. Ia juga wajib memelihara agar urusan sandang, pangan, dan papan rakyatnya bisa tercukupi. Demikian juga kebutuhan kolektif mereka, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan tetap terjaga.

Para pemimpin ini juga paham bahwa tanggung jawab mengurus urusan rakyat ini akan dimintai pertanggungjawaban hingga ke akhirat. Rasulullah saw. menegaskan dalam sebuah riwayat hadis, “Tidaklah seorang manusia yang diamanati Allah SWT. untuk mengurus urusan rakyat lalu mati dalam keadaan ia menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga baginya.” (HR. Bukhari).

Hal penting lainnya yang harus dipahami adalah bahwa kepemimpinan atau kekuasaan dalam Islam ditujukan untuk menegakkan hukum Allah SWT. dan amar makruf nahi mungkar. Dalam Islam, rakyat maupun penguasa tidak diberi hak untuk membuat hukum yang lazim digunakan untuk memaksa orang lain.

Hanya saja kepemimpinan seperti ini memang tidak mungkin mewujud dalam sistem kapitalisme yang tegak sekarang. Kepemimpinan ideal seperti ini hanya mungkin tegak dalam sistem yang menerapkan Islam secara kaffah sebagaimana telah terjadi ketika Khilafah tegak sepanjang belasan abad. 

Kita sebagai warga negara Indonesia apalagi sebagai umat Islam, memiliki kewajiban untuk mewujudkan kembali model kepemimpinan ideal yang sudah ditetapkan oleh syariat Islam. Mari bersama-sama kita mewujudkannya dengan mengkaji Islam kaffah bersama kelompok dakwah Islam ideologis.

Wallahu'alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar