Performa Hukum di Indonesia, Sudahkah Berkeadilan?


Oleh : Haura (Pegiat Literasi)

Narasi no viral no justice (Jika tidak viral maka tidak ada keadilan) menjadi fenomena di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Hal ini mencerminkan kekecewaan publik pada penegakan hukum, yaitu bagaimana aparat penegak hukum khususnya polisi, baru mengambil tindakan serius ketika suatu masalah sudah meluas beritanya di media sosial.

Kinerja penegak hukum kerap dinilai bekerja tebang pilih dalam menangani kasus yang terjadi di masyarakat, seolah tumpul ke atas namun tajam ke bawah. Seperti kasus yang melibatkan tiga warga rempang yang menolak Proyek Strategi Nasional (PSN).

Pihak kepolisian dengan cepat menindak dan menetapkan tiga warga tersebut sebagai tersangka dalam kejadian penyerangan petugas PT Makmur Elok Graha (MEG).  Mereka dikenakan Pasal 333 KUHP tentang merampas kemerdekaan orang karena menahan petugas PT MEG yang merusak spanduk penolakan PSN Rempang Eco City.

Namun sebaliknya, dalam kasus-kasus yang melibatkan para pembesar, pejabat, konglomerat atau yang memiliki kekuatan baik finansial maupun status sosial seringkali para penegak hukum menutup mata, penindakan kasus lamban bahkan hilang bak ditelan bumi.

Penegakan hukum di Indonesia tidak terlepas dari tiga lembaga penegak hukum yaitu kejaksaan, pengadilan dan kepolisian. Sayangnya ketiga lembaga tersebut seringkali menjadi sorotan dan perbincangan masyarakat atas kinerja buruknya. 

Harus diakui para penegak hukum pada ketiga lembaga ini seringkali tersandung masalah moralitas yang berakibat pada rendahnya profesionalisme dalam penegakan hukum.

Dalam 100 hari masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, penegakan hukum di Indonesia dinilai positif oleh masyarakat. Hal tersebut terungkap dalam rilis Lembaga Survei Indonesia (LSI).

Dikutip dari lama antaranews (9/2/2025) Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan menyatakan "Masyarakat kita menilai 41,6 persen terhadap penegakan hukum sangat baik atau baik. Dia menjelaskan, total 41,6 persen masyarakat yang menilai positif itu terdiri atas 4,7 persen responden menyatakan penegakan hukum berjalan sangat baik dan 36,9 persen lainnya menyatakan baik.

Di sisi lain, terdapat 30,9 persen masyarakat yang menilai penegakan hukum berjalan sedang atau biasa-biasa saja, sementara 21,7 persen menilai buruk dan 3,4 persen menilai sangat buruk.

Menurut Djayadi, temuan itu menjadi catatan baik sekaligus mesti diperhatikan oleh Pemerintah. Hal ini mengingat meski jumlah yang menilai penegakan hukum telah berjalan baik, responden yang menilai buruk juga masih cukup banyak. (antaranews.com)

Data yang dirilis LSI tersebut menunjukan tingkat kepuasan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia mengalami peningkatan 3,2 persen jika dibanding tahun 2024 namun demikian angka penilain postif tersebut masih dibawah 50 persen. Ini pertanda kualitas penegakan hukum di Indonesia masih dinilai lemah.

Dalam agenda Hari Lahir ke-102 NU di Jakarta Pusat, Rabu (5/2/2025), Presiden Prabowo Subianto mengancam akan menindak anak buahnya yang melanggar hukum. Prabowo beralasan, penindakan untuk kebersihan institusi tersebut patut dilakukan demi bangsa dan warga tanah air.

Prabowo kembali mengingatkan aparat pemerintah agar menjaga kesetiaannya untuk masyarakat Indonesia. Prabowo mengaku tidak segan untuk menindak aparat yang berlaku di luar hukum. tirto.id.
Tekad dan keberanian Presiden Prabowo untuk menindak aparat pemerintah yang melanggar hukum dan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah perlu di apresiasi dan didukung penuh oleh segenap lapisan masyarakat. 

Cita-cita tersebut tentulah bukan perkara yang mudah. Pembersihan institusi dan aparat pemerintah agar tidak melanggar hukum tidak bisa dilakukan secara parsial tetapi harus menyeluruh, menyentuh akar permasalahan. 

Perilaku melanggar hukum yang kerap dilakukan para penegak hukum bukan semata kultur atau susana kerja yang buruk namun lebih dari itu sebagai akibat lemahnya hukum yang diterapkan merupakan hukum buatan manusia.  

Hukum buatan manusia mudah diutak atik oleh manusia yang punya kepentingan, hukum dapat diselaraskan dengan nafsu yang dikehendakinya sehingga rawan adanya konflik kepentingan terlebih jika uang lebih berkuasa dari hukum. 

Selain itu, hukum buatan manusia juga tidak memiliki sanksi yang tegas sehingga tidak memberikan efek jera bagi para pelaku pelanggaran termasuk para penegak hukum pun dengan leluasa tanpa ada rasa takut mengulangi pelanggaran yang sama. 

Karakteristik hukum buatan manusia itu lemah sebab manusia bersifat lemah, terbatas, memiliki kekurangan dan saling membutuhkan kepada yang lain. Maka sudah pasti hukum buatan manusia memiliki keterbatasan pula. Apa lagi jika manusia yang membuat hukum tersebut memiliki pemahaman yang salah dan menganggap pemahaman salahnya adalah kebenaran. 

Oleh karenanya manusia tidaklah layak untuk membuat hukum. Selama cita-cita mewujudkan keadilan dan ketaatan hukum bersandar pada hukum buatan manusia niscaya utopis belaka. 

Dalam surat Alfurqon ayat 25 Allah berfirman:
لَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنٰتِ وَاَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتٰبَ وَالْمِيْزَانَ لِيَقُوْمَ النَّاسُ بِالْقِسْطِۚ
Artinya : "Sungguh, Kami benar-benar telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan Kami menurunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil."

Islam mengajarkan kepada manusia bahwa standar dalam mewujudkan keadilan adalah Alquran yang didalamnya terdapat berbagai aturan Allah yang mengatur tata kehidupan manusia mulai dari perkara ibadah, muamalah, sosial, perdata, pidana, sanksi dan lain-lain dijelaskan untuk diterapkan oleh manusia.

Islam menjadikan hukum syara sebagai sumber hukum dan kedaulatan tertinggi karena hukum syara bersumber dari Allah SWT Dzat yang Maha Benar tidak mungkin memiliki kekeliruan, bebas dari kepentingan, sudah lengkap dan memiliki kepastian hukum. Sanksi nya pun memberi efek jera bagi setiap pelaku pelanggaran hukum. 

أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ ۗ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
Artinya : "Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb semesta alam." (Q.S. Al-a’raf ayat 54).

Maka, dalam upaya membersihkan institusi dan aparat pemerintah tidak ada pilihan lain kecuali kembali pada Allah SWT dengan menerapkan hukum syariat dalam kehidupan secara nyata sehingga hukum syariat tidak sekedar teori belaka yang hanya dipelajari pada lembaga-lembaga pendidikan dan menjadi bahan diskusi atau penelitian. 

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Artinya: "Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" [al-Mâ`idah, 5:50]

Kembali kepada hukum Allah pasti membawa kemaslahatan bukan hanya kaum muslim tetapi bagi seluruh umat manusia sebab Alquran Allah turunkan untuk mengatur seluruh manusia di bumi agar menjamin keadilan bagi semua pihak. Wallaahu A'lam bi ash-Shawwaab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar