Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Belum berselang lama dari kebijakan yang dikeluarkan pemerintah atas pengelolaan tambang yang diserahkan kepada ormas, kini pemerintah kembali berencana akan mengeluarkan kebijakan kontroversial. Rencana ini tertuang dalam revisi UU Mineral dan Batubara (Minerba) yang telah ditetapkan sebagai usul inisiatif dari DPR RI melalui rapat paripurna pada Kamis (23-1-2025). Ketua Baleg DPR RI Bob Hasan menyatakan usulan pemberian izin usaha tambang secara lelang atau prioritas pada perguruan tinggi (PT) sejatinya muncul dari pemerintah dengan alasan bisa meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Benarkah demikian?
Peningkatan kualitas pendidikan yang seperti apa yang akan diperoleh dari PT yang mengelola tambang? Secara pragmatis memang dari kacamata ekonomi Kapitalisme sepertinya akan meningkatkan pendapatan PT. Namun jika dikejar dengan pertanyaan lebih lanjut, apakah dengan peningkatan pendapatan tersebut akan dirasakan pula oleh mahasiswa dan dosen, misalnya akan menghapuskan setidaknya mengurangi biaya kuliah yang selama ini dibebankan kepada mahasiswa? Atau akan menaikkan gaji dosen? Jangan-jangan yang terjadi malah KKN. Bukan Kuliah Kerja Nyata, tapi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Belum lagi kerusakan akibat galian tambang. Masalah tersebut belum terselesaikan hingga sekarang. Ditambah biaya yang harus dikeluarkan ketika akan mengelola tambang tidaklah sedikit. Pada akhirnya PT terpaksa bekerja sama dengan pengusaha dan dapat dipastikan pada akhirnya yang untung pengusaha itu lagi, sementara PT hanya kebagian remah dan limbahnya. Ibarat pepatah, "pengusaha yang makan nangka, PT yang kena getahnya".
Pemberian izin tambang sama artinya dengan pemerintah membebankan tanggung jawab finansial PT begitu saja. Ketakbecusan negara menjamin kesejahteraan para akademisi dan mahasiswa diselesaikan dengan cara culas, yakni membiarkan PT menghidupi dirinya sendiri dengan menambang.
Dampak yang akan ditimbulkan jika PT terlibat dalam pengelolaan tambang, yaitu integritas akademik dipertaruhkan, suara kritis kampus makin parau ketika terjadi ketakadilan atau penyalahgunaan wewenang, dan terlenanya kampus pada bisnis hingga melalaikannya dari visi misinya sebagai lembaga pendidikan.
PT bukanlah korporasi yang mengejar keuntungan dan berbisnis layaknya pengusaha. PT adalah wadah pembentukan sumber daya manusia yang kritis, idealis, cerdas, dan inovatif. Apabila kampus bersikeras mewujudkan wacana izin usaha tambang untuk PT, saat itulah kampus sudah kehilangan identitasnya sebagai lembaga pendidikan, yakni disorientasi pendidikan dari mencetak intelektual cerdas dan kritis menjadi intelektual bermental bisnis dengan mengejar profit sebanyak-banyaknya.
Negara seharusnya menjadi pihak pertama dan utama sebagai penyelenggara pendidikan. Namun kenyataannya, negara justru melepaskan tanggung jawabnya dengan membiarkan PT berjalan sendiri secara mandiri, baik dari aspek pembiayaan ataupun kebijakan yang dikeluarkan. Seharusnya, pendidikan adalah hak dasar publik yang dapat diakses seluruh lapisan masyarakat. Namun, pengelolaan sistem pendidikan berparadigma sekuler kapitalistik menafikan itu semua.
Kebijakan menyerahkan pengelolaan tambang kepada ormas atau kampus juga bentuk kelalaian negara sebagai raa’in, yakni pengurus dan pelayan rakyat. Pengelolaan tambang sebagai hajat publik tidak seharusnya diserahkan pada pihak lain dengan dalih memberi kesempatan masyarakat mengelola SDA. Tanggung jawab mengelola tambang dan mengembalikan hasil pengelolaannya kepada masyarakat adalah kewajiban negara. Lagi-lagi, kebijakan ini muncul karena penerapan sistem sekuler kapitalisme yang memberi kebebasan bagi siapa pun untuk menguasai harta milik rakyat, seperti tambang.
Selain itu, wacana menyerahkan izin usaha tambang kepada PT bisa menjatuhkan umat pada keharaman. Islam mengatur bahwa tambang merupakan hak milik umum yang tidak boleh diserahkan penguasaan dan pengelolaannya kepada siapa pun selain negara.
Dalam pandangan Islam, pendidikan bukanlah komoditas yang dimanfaatkan untuk sesuatu yang bersifat komersial dan menghasilkan materi sebagaimana konsep kapitalisme. Pendidikan adalah gerbong pertama menciptakan generasi unggul dan berkualitas. Pandangan inilah yang membuat Islam sangat serius dan memberi perhatian yang besar dalam aspek pendidikan.
Orientasi pendidikan dalam Islam tidak sama dengan kapitalisme yang berorientasi materi semata. Akan tetapi, orientasi pendidikan Islam terkait erat dengan paradigma Islam sebagai akidah dan sistem kehidupan. Pendidikan dalam Islam merupakan upaya terstruktur dan sistematis untuk menyukseskan misi penciptaan manusia sebagai hamba Allah dan khalifah Allah di muka bumi.
Dalam Islam, pendidikan tidak sekadar beriorientasi mengejar lulusan siap kerja dan mencari cuan. Namun, orientasi lulusannya haruslah berimbang antara dunia dan akhirat. Pada aspek dunia, mereka dibekali saintek, keterampilan, dan semua hal yang dibutuhkan agar berdaya guna di tengah masyarakat. Ilmunya digunakan untuk sebesar-besar kemaslahatan umat.
Pada aspek akhirat, ia akan tumbuh menjadi generasi yang memiliki kepribadian mulia. Hal ini dibuktikan dengan lahirnya ilmuwan-ilmuwan muslim yang tidak hanya pandai ilmu saintek, tetapi juga cakap dalam ilmu agama (Islam). Pendidikan Islam juga mendorong para lulusan bermental pemimpin peradaban. Sistem pendidikan Islam ditujukan membentuk generasi ber-syakhshiyah Islam, yakni memiliki pola pikir dan pola sikap yang sesuai dengan tuntunan Islam. Salah satu upaya mewujudkan semua itu ialah menjadikan PT sebagai wadah membentuk SDM ber-syakhshiyah Islam.
Dalam kitab Usus at-Ta’lim fi Daulah al-Khilafah hlm. 87, Syekh Abu Yasin rahimahullah menjelaskan, “Pendidikan tinggi adalah pendidikan yang sistematis setelah sekolah. Tujuan pendidikan tinggi adalah penanaman dan pendalaman kepribadian Islam secara intensif pada diri mahasiswa perguruan tinggi, bagi yang telah sempurna pembinaannya di jenjang pendidikan sekolah. Peningkatan kualitas kepribadian ini ditujukan agar para mahasiswa bisa menjadi pemimpin dalam memantau permasalahan-permasalahan krusial bagi umat, termasuk kemampuan mengatasinya, yaitu permasalahan yang diharuskan dalam Islam atas kaum muslim untuk mengatasinya dengan risiko hidup atau mati.”
Islam menetapkan layanan pendidikan harus diberikan secara gratis. Pembiayaan pendidikan mulai dari tingkat dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi ditanggung negara melalui baitulmal. Seluruh pemasukan negara Khilafah, baik yang dimasukkan di dalam pos fai dan kharaj maupun pos milkiyyah ‘amah, yaitu SDA, termasuk pertambangan, dapat diambil untuk membiayai sektor pendidikan.
Jika pembiayaan dari dua pos tersebut mencukupi, negara tidak akan menarik pungutan apa pun dari rakyat. Jika harta di baitulmal habis atau tidak cukup untuk menutupi pembiayaan pendidikan, kewajiban pembiayaan tersebut dibebankan kepada kaum muslim hingga terpenuhi. Ini karena hak mendapatkan layanan pendidikan tidak ditentukan berdasarkan ada tidaknya harta, tetapi kewajiban negara atas kemaslahatan yang harus dipenuhinya kepada rakyat (Disarikan dari kitab Nizham al-Iqtishadiy fil Islam hlm. 537-538 yang ditulis oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah).
Adapun terkait izin pengelolaan tambang, Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah dalam kitab Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah hlm. 92—93 menerangkan bahwa barang tambang yang jumlahnya banyak dan (depositnya) tidak terbatas tergolong pemilikan umum bagi seluruh kaum muslim sehingga tidak boleh dimiliki oleh seseorang atau beberapa orang. Tidak boleh diberikan kepada seseorang ataupun beberapa orang tertentu. Demikian juga tidak boleh memberikan keistimewaan kepada seseorang atau lembaga tertentu untuk mengeksploitasinya. Jadi harus dibiarkan sebagai milik umum bagi seluruh kaum muslim dan mereka berserikat atas harta tersebut. Negaralah yang wajib menggalinya, memisahkannya dari benda-benda lain, meleburnya, menjualnya atas nama mereka (kaum muslim), dan menyimpan hasil penjualannya di baitulmal kaum muslim.
Dalil yang dijadikan dasar untuk barang tambang yang (depositnya) berjumlah banyak dan tidak terbatas sebagai bagian dari pemilikan umum adalah hadis yang diriwayatkan dari Abidh bin Hamal al-Mazaniy, “Sesungguhnya dia bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah maka beliau memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, berkata salah seorang laki-laki yang ada di dalam majelis, ‘Apakah Anda mengetahui apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah Anda berikan itu laksana (memberikan) air yang mengalir’. Akhirnya beliau bersabda, ‘(Kalau begitu) tarik kembali darinya.’” (HR. Tirmidzi).
Demikianlah, Islam menetapkan aturan yang menyeluruh perihal paradigma pendidikan, pembiayaan pendidikan, hingga tata cara mengatur tambang sebagai harta milik umum. Indonesia juga bisa seperti itu asalkan mengganti sistem yang dipakai saat ini dengan sistem Islam. Mari bersama-sama kita mewujudkannya.
Wallahua'lam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar