Oleh: Nur Hidayati (Lisma Bali)
Dikutip dari www.cnbcindonesia.com. Kementrian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat, sepanjang tahun 2024 jumlah pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilaporkan mencapai 77.965 orang. Angka ini melonjak 20,21 persen dibandingkan tahun 2023 yang tercatat sebanyak 64.855 orang.
Kemenaker juga mendata jika PHK terbesar terjadi di wilayah Jakarta diikuti oleh Provinsi Jawa Tengah dan Banten. Jumlah pekerja yang terkena PHK mencapai ratusan orang. Hal ini bukan hanya masalah angka, melainkan sekelompok manusia yang kehilangan sumber penghasilan. Walaupun ada laporan penurunan jumlah PHK di Jawa Barat, namun tetap saja di balik kata penurunan tersebut ada puluhan ribu orang yang kehilangan tempat mencari nafkah, dan puluhan ribu manusia terancam tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak. Padahal kebutuhan memenuhi hidup layak adalah hak rakyat.
Masifnya badai PHK saat ini seharusnya membuat rakyat sadar jika akar masalah PHK bukan problem individu pekerja seperti kurangnya softskill dan sejenisnya, melainkan hal ini menunjukkan adanya hak masyarakat yang terabaikan oleh negara yang disebabkan oleh sistem ketenagakerjaan yang salah. Saat ini, sistem ketenagakerjaan diatur menggunakan paradigma ideologi kapitalisme. Di mana dalam sistem ini pekerja dianggap sebagai salah satu komponen produksi yang harus meminimalisir pengeluaran demi mengurangi ongkos produksi agar perusahaan atau industri mencapai keuntungan yang lebih besar. Selain itu, kapitalisme juga mengasumsikan jika tanpa modal, maka kegiatan produksi tidak akan berjalan. Sistem kapitalisme menekankan pada kepemilikan pribadi atas alat produksi, pasar bebas, dan minimnya intervensi negara dalam kegiatan ekonomi.
Jadi, penguasa alias pemilik modal memiliki kebebasan untuk mengelola tenaga kerja, menetapkan kebijakan perekrutan dan menentukan PHK berdasarkan kebutuhan bisnis dan keuntungan, bukan berdasarkan jaminan kesejahteraan tenaga kerja. Negara juga dimandulkan perannya sebagai pengurus kebutuhan rakyat. Kapitalisme membuat negara tidak terlibat langsung dalam penciptaan lapangan kerja dan kesejahteraan pekerja. Badai PHK akan terus terjadi manakala rakyat tetap berada dalam ideologi kapitalisme. Hal ini berdampak buruk bagi masyarakat khususnya pekerja, karena mereka terus dibayang-bayangi dengan ketidakpastian pekerjaan.
Satu-satunya cara memutus badai PHK ini adalah dengan menghadirkan sistem yang shahih dan sudah terbukti mampu mengatur ketenagakerjaan dengan benar. Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab Nizhomul Iqthisadhi fil Islam menjelaskan bahwa dalam sistem Islam kesejahteraan diukur berdasarkan prinsip terpenuhinya kebutuhan setiap individu dan masyarakat. Hal ini juga berlaku bagi sistem ketenagakerjaan. Jadi, dalam Islam para pekerja tidak dianggap sebagai faktor produksi yang harus ditekan pengeluarannya. Para pekerja adalah pihak yang disewa tenaganya untuk perusahaan dalam melakukan suatu pekerjaan. Hal inilah yang dijelaskan oleh Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab Nizhomul Iqthisadhi fil Islam bab ijarah. Dalam bab ini dijelaskan pula tentang mekanisme penetapan gaji standar pekerja dalam Islam berdasarkan manfaat tenaga dan pemerintah tidak perlu menetapkan UMR (Upah Minimum Rata-rata). Sehingga tidak akan terjadi eksploitasi pekerja oleh majikan.
Di sisi lain, Islam juga menyediakan lapangan pekerjaan. Dalam sistem ekonomi Islam, negara hanya boleh membangun sektor riil seperti pertanian, perindustrian, dan jasa. Dari sektor ini kegiatan ekonomi didorong untuk berkembang maju, karena sektor tersebut membutuhkan para pekerja belum lagi sektor pengelolaan SDA. Dalam Islam SDA dikelola secara mandiri oleh negara sesuai dengan syariat Islam. Pengelolaan SDA pasti membutuhkan tenaga ahli dan terampil sehingga membuat terbukanya lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Beberapa mekanisme inilah yang akan menjamin kesejahteraan para pekerja dan pelaku utama yang harus merealisasikannya adalah negara. Dan yang bisa mewujudkan semua itu hanyalah negara khilafah.
Wallahu A'lam Bishowab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar