PPN 12%, Beban Baru Bagi Rakyat


Oleh: Tini Wartini, S.Pd.

Awal Januari 2025, Pemerintah telah memberi “kado pahit” bagi rakyatnya dengan kenaikan PPN dari 11% menjadi 12%. Alasan Pemerintan memberlakukan PPN naik di antaranya adalah untuk memperkuat pendapatan yang diterima oleh negara, mendukung pembiayaan pembangunan untuk infrastruktur, sektor pendidikan, kesehatan, dan program sosial. Juga untuk menekan defisit anggaran pasca pandemi.

Pengumuman ini tentu memicu berbagai reaksi dari banyak kalangan baik para ahli ekonomi, konsumen, sampai pedagang. Karena PPN yang baru dikhawatirkan akan menekan daya beli masyarakat dan memperparah kondisi ekonomi pasca pandemi. Walaupun disisi lain Pemerintah telah menyiapkan antisipatif dengan memberikan konpensasi soaial untuk kelompok rentan. 

Sekalipun kenaikan PPN ini diberlakukan secara selektif hanya untuk barang dan jasa premium, namun sesungguhnya imbasnya akan dirasakan oleh semua kalangan. Para ekonom sepakat bahwa kenaikan pajak pasti akan meningkatkan harga-harga barang. Karena para pengusaha yang terkena pajak ini akan menaikkan harga jual barang yang diproduksi akibat biaya produksi meningkat. Sehingga terjadi penurunan daya beli, pendapatan tidak meningkat, dan banyaknya orang kehilangan pekerjaan akan memungkinkan berdampak pada masalah kriminalitas. Sebab, kondisi tersebut akan memicu orang untuk melakukan aksi kriminalitas agar dapat bertahan hidup.

PPN merupakan salah satu sumber penerimaan pajak terbesar dalam APBN Indonesia. Menurut data hingga 2023, PPN berkontribusi cukup besar dan penyumbang utama sekitar 30-35% total penerimaan pajak Indonesia. Pajak didefinisikan sebagai kontribusi wajib setiap warga negara yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang. Untuk itu, warga negara akan mendapatkan kompensasi secara tidak langsung dalam bentuk hasil-hasil pembangunan dan pembiayaan untuk kepentingan umum yang menjadi prioritas negara.

Dalam sistem ekonomi kapitalisme, pajak merupakan sumber penerimaan utama. Kontribusi pajak dalam pendapatan negara mencapai 80,32% (BPS, 2023), sebuah angka yang sangat besar dan lebih besar dibanding Singapura yang relatif tidak memiliki SDA sebanyak Indonesia. Indonesia yang memiliki kekayaan alam melimpah justru penerimaan dari sektor nonpajaknya hanya 20%.

Padahal, negeri ini kaya akan SDA yang jika dikelola dengan baik, dapat digunakan untuk kepentingan rakyatnya. Dengan demikian, alasan bahwa kenaikan pajak ini untuk memperkuat penerimaan negara sangat sulit diterima, mengingat kondisi saat ini persentase penerimaan pajak sudah sangat besar. Masalahnya, negeri ini telah menyerahkan pengelolaan kepada asing. Alhasil, alih-alih memberi kemudahan kepada rakyatnya, yang terjadi justru rakyat hidupnya kembang kempis dipaksa merogoh saku lebih dalam. Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya, dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih." (QS. Asy-syura: 42).

Lalu ke mana SDA yang melimpah ,seperti kekayaan barang tambang, hutan, hasil laut yang jumlahnya menduduki peringkat dunia? Siapa yang menikmati kekayaan alam Indonesia? Jika kekayaan alam yang dimiliki Indonesia tidak menjadi pos terbesar penerimaan negara, wajar jika rakyat akan terus-menerus ditekan untuk meningkatkan pendapatan negara. 

Dalam Syariat Islam dikenal adanya pajak, yaitu dengan istilah dharibah. Akan tetapi penerapan dan pengaturannya sangat berbeda secara diametral dengan konsep pajak dalam sistem kapitalisme. Pajak diambil semata-mata untuk membiayai kebutuhan yang telah ditetapkan oleh Syariat. 

Dalam Khilafah, pajak bukanlah sumber tetap dan utama pendapatan Negara, bahkan dapat dikatakan merupakan alternatif terakhir ketika kondisi keuangan Negara sedang genting. Sumber pendapatan utama Negara menjadi hak kaum muslim dan masuk ke baitulmal diantaranya fai, ghanimah, khumus, anfal, jizyah, kharaj, ‘usyur, harta milik umum yang dilindungi Negara misalnya barang tambang, harta milik Negara, zakat, harta haram pejabat dan pegawai Negara, harta orang yang tak memiliki hak waris dan harta orang murtad. Inilah pendapatan tetap Negara yang diatur dalam Syariat Islam. Penguasa dianggap melanggar syariat jika melakukan pungutan yang tidak sesuai.

Syariat Islam telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos, ada atau tidak adanya harta di baitulmal. Jika ada harta, maka akan dibiayai oleh baitulmal. Jika tidak ada, kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum muslim. Karena, jika belum terpenuhi , bisa menyebabkan dharar bagi seluruh warga Negara. Untuk menghilangkan dharar ketika di baitulmal tidak ada harta, maka Khalifah boleh menggunakan alternatif berupa pungutan pajak.  

Selain ketika harta di baitulmal kosong, ketetapan yang berkaitan dengan pungutan pajak dalam Syariat Islam ada hal-hal yang harus diperhatikan. Pertama warga Negara yang dipungut pajak adalah warga Negara muslim. Artinya warga Negara nonmuslim tidak diwajibkan membayar pajak. Juga warga muslim dari kalangan orang kaya atau mampu sehingga tidak boleh dikenakan pada seluruh warga Negara sebagaimana yang terjadi saat ini. Dengan demikian pajak dalam Islam tidak akan dirasakan sebagai bentuk kedzaliman. Kedua harus ada alasan syar’i yang melandasi pungutan pajak yaitu memenuhi kewajiban yang dibebankan kepada dua pihak sekaligus yaitu Negara dan umat.   

Contoh kewajiban yang dibebankan kepada Negara dan umat diantaranya pembiayaan jihad, pembangunan industri senjata, nafkah fakir dan miskin, membayar gaji tentara, pegawai negeri, hakim dan guru. Juga pembiayaan ketika kondisi darurat seperti banjir, gempa, tsunami, topan, invasi musuh dan lain-lain. Jika hal itu merupakan kewajiban Negara namun bukan kewajiban umat, maka Negara tidak boleh memungut pajak. Artinya pajak dalam Syari’at Islam bersifat insidental. 

Dengan pengelolaan keuangan yang diatur APBN Syari’ah, maka Negara memiliki pos pendapatan yang sangat banyak. Misalnya, jika SDA dikelola oleh Negara tidak diserahkan kepada pihak asing dan swata, tentu hasil yang didapat akan berlebih. Karena Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa contohnya hutan terluas, gas alam, batu bara, emas, nikel, dan sebagainya. 

Sayangnya, potensi kekayaan alam yang seharusnya menjadi kepemilikan umum justru diserahkan pada pihak asing dan swasta, maka manfaatnya tidak dapat dirasakan oleh seluruh rakyat, melainkan hanya pada individu-individu tertentu. Padahal, jika tunduk pada pengaturan ekonomi Islam, kepemilikan itu tidak hanya kepemilikan individu dan negara, tetapi ada juga kepemilikan umum. Hikmah dengan adanya kepemilikan umum adalah dapat menjamin distribusi kekayaan dan dapat dinikmati oleh semua warga negara.

Penguatan keuangan negara tidak lain dengan tunduk pada ketentuan syariat, yakni pengelolaan keuangan (penerimaan dan belanjanya) harus sesuai dengan syariat. Allah Swt telah memberikan pengaturan yang terbaik dan memastikan bahwa semua kekayaan alam pasti cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia di dunia, selama manusia patuh pada aturan-Nya. Berlepas diri dari pengaturannya justru akan membuat kehidupan susah dan sempit, bahkan mengundang azab-Nya. 

Sudah sepatutnya para penentu kebijakan berhati-hati terhadap peringatan Rasulullah SAW tentang pemimpin yang menyusahkan atau memberatkan rakyaknya. Rasulullah SAW bersabda, “Ya Allah, siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia menyusahkan mereka maka susahkanlah ia. Siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia berlaku lembut kepada mereka, maka berlaku lembutlah kepadanya.” (HR. Muslim dan Ahmad). Wallahualam bisssawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar